Mohon tunggu...
Hasyim MAH
Hasyim MAH Mohon Tunggu... wiraswasta -

Berusaha mengusung wacana nasionalisme, pluralisme dan kepedulian pada alam ini dengan disertai pemikiran yang bijak dan arif... Begitu maunya...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sang Pencerah: Pesan Tentang Perubahan

1 Oktober 2010   17:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:48 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanung Bramantyo, salah satu sutradara nasional yang terkemuka saat ini kembali muncul dengan film yang boleh dibilang agak berani, Sang Pencerah, yang berkisah tentang sejarah pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Dibilang agak berani karena film ini dibuat dengan setting di akhir abad 19. Kita tahu bahwa masih sedikit film Indonesia yang berani mengambil setting di waktu yang lalu karena akan mempersulit diri sendiri dalam mempersiapkan properti masa lalu.

Beda dengan dunia film di Hollywood yang memang sudah banyak penyedia properti untuk setting dunia di tahun kapanpun yang kita mau. Di Indonesia, kita masih sering kesulitan dalam pengadaan setting masa lalu baik dari sisi pakaian, bangunan atau kendaraan. Kondisi ini seringkali membuat film nasional ber-setting masa lalu akhirnya menjadi berbiaya tinggi. Namun, hal ini tentunya hanya berlaku bagi pembuat film yang “serius”. Karena untuk film “biasa”, latar belakang yang tidak sesuai seringkali diabaikan.

Di film ini, tampak sekali bahwa Hanung berusaha keras agar setting tampak seperti jaman dulu. Pembangunan secara fisik bisa kita lihat sampai pembuatan tugu Yogya, masjid agung Yogya sampai tiruan Ka’bah ketika menceritakan Ahmad Dahlan pergi haji ke tanah suci. Namun, karena tidak semua setting bisa dibuat secara nyata, maka ada beberapa latar belakang yang terpaksa dibuat secara digital. Dan sayangnya, gambar digital ini pun masih kurang sempurna sehingga tetap menjadi nilai minus dalam film ini. Makanya tak heran jika orang “digital” yang kritis sekelas Roy Suryo pun langsung menilai film ini dari sisi ini.

“Tampaknya next time Hanung Bramantyo perlu lebih cermat dalam detail-detail, khususnya sejarah Yogya di film tersebut,” kata Roy Suryo seperti dikutip di Kapanlagi.com.

Soal bahasa, film ini sedikit kurang bersahabat bagi orang yang kurang mengerti budaya atau bahasa Jawa. Di beberapa adegan, film ini masih menggunakan bahasa Jawa. Dan meski di beberapa dialog bahasa Jawa itu dilengkapi terjemahan bahasa Indonesia, tapi beberapa di antaranya tidak, sehingga sangat mungkin tidak bisa ditangkap maksudnya oleh orang di luar Jawa.

Tentang Pemeran

Meski ada 2 debutan dalam film ini, namun mayoritas pemeran dalam film ini sudah dikuasai oleh pemain berpengalaman seperti Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Ikranegara, Sujiwo Tejo, Zaskia A Mecca sampai Dennis Adhiswara.  Sedangkan 2 pemain debutan tersebut adalah Ihsan Idol dan Giring Nidji.

Penampilan secara keseluruhan tak ada yang mengecewakan meski juga tak ada yang terlalu istimewa. Justru yang terlihat paling menonjol malah penampilan dari Giring yang lumayan bagus. Debut Giring yang bagus ini mengingatkan kita akan debut Ariel Peterpan dalam film Sang Pemimpi yang juga lumayan bagus saat itu.

Sedikit peran yang mengganggu malah justru muncul dari penampilan Zaskia yang tak lain adalah istri dari sang sutradara. Entah apa karena Hanung tahu keahlian Zaskia dalam menumpahkan air mata, yang jelas di film ini Zaskia terlihat terlalu dieksploitasi air matanya. Adegan menangis dari Zaskia tampak sering sekali hingga sedikit mengganggu.

Sebuah Cerita Tentang Perubahan

Film ini pada dasarnya bercerita tentang sejarah KH Ahmad Dahlan. Namun harus diakui bahwa film ini gagal menggambarkan sosok Ahmad Dahlan secara total. Bisa jadi, kekurangan ini disebabkan kurangnya referensi tentang Ahmad Dahlan. Yang pasti, peran Ahmad Dahlan di sini terkesan bukan orang yang sangat pandai. Ahmad Dahlan di sini lebih kita tangkap sebagai orang yang baik hati yang ingin merubah lingkungannya, begitu saja, tak lebih dari itu.

Namun, di luar sosok pribadi Ahmad Dahlan sendiri, film ini menunjukkan sekaligus mengajarkan kepada kita tentang sulitnya merubah budaya masyarakat untuk menjadi lebih baik. Perjuangan ini seringkali berakibat negatif pada diri kita atau keluarga kita.

Dan kalau kita mau jujur, kondisi masyarakat kita saat ini tak jauh beda dengan masa saat itu. Banyak sekali yang perlu diperbaiki dalam kehidupan masyarakat kita. Tinggal kita sekarang mau atau tidak melakukan perubahan itu. Tinggal kita sekarang mau atau tidak melakukan perjuangan seperti yang dilakukan KH Ahmad Dahlan pada masanya.

Mungkin, apa yang kita perjuangkan tidak bisa sebesar yang dilakukan KH Ahmad Dahlan. Mungkin juga apa yang kita perjuangkan tidak sampai tercatat di buku sejarah. Namun, perjuangan ini tetap harus kita lakukan, setidaknya agar hidup kita sendiri bisa lebih berarti.

Best Quote:

Seperti biasa, review film saya selalu saya lengkapi dengan cuplikan kalimat yang diucapkan di dalam film.

“Itulah agama, kalau kita tidak mempelajarinya dengan benar, itu akan membuat resah lingkungan, dan jadi bahan tertawaan.” Kalimat ini dikatakan Ahmad Dahlan ketika ditanya tentang definisi agama oleh muridnya, Hisyam (saat muda, diperankan oleh Joshua Suherman). Saat itu Hisyam disuruh memainkan biola padahal dia tidak bisa sama sekali memainkan biola. Entah, apakah kalimat ini asli dari ucapan KH Ahmad Dahlan atau improvisasi skenario, yang jelas kalimat ini seperti berusaha menyampaikan pesan kepada golongan Islam garis keras yang lagi marak akhir-akhir ini.

“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari hidup dalam Muhammadiyah.” Kalimat ini disampaikan Ahmad Dahlan pada murid-muridnya ketika ada yang bertanya tentang upah jika masuk organisasi. Kalimat ini sampai sekarang dijadikan salah satu slogan yang selalu dipakai oleh Muhammadiyah untuk menata niat ketika akan masuk organisasi.

Mojokerto, 1 Oktober 2010

Hasyim MAH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun