Akhir-akhir ini kita melihat bagaimana negara kita melawan virus Covid-19 dengan berbagai cara salah satunya dengan digalakkan vaksinasi Covid-19 di seluruh daerah indonesia. Bahkan diberikan target oleh pemangku jabatan tertentu untuk bisa memvaksinasi bawahan-bawahannya, sehingga terkadang terkesan bahwa setiap dinas - dinas mempunyai tupoksi baru yang diberikan oleh atasannya. Bahkan ada yang jabatannya akan terancam jika capaian vaksinasi di lingkup kerjanya tidak mencapai target yang sudah ditentukan.
Kita lihat juga sekarang pembatasan-pembatasan di beberapa tempat tertentu bagi orang yang belum divaksinasi. Ada pula yang mempunyai cara jika tidak melakukan vaksinasi maka tidak bisa mengisi KRS (Kartu Rencana Studi) di beberapa universitas, kuliahnya saja masih daring, tetapi sertifikat vaksin menjadi syarat untuk mengisi KRS, tidak hanya sampai disitu jika menolak untuk di vaksin bisa dipidanakan dengan dasar undang undang kekarantinaan karena menolak vaksin dapat dianggap tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Tercantum pada Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (“UU 6/2018”), di mana sanksinya sebagai berikut: Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta. Selain itu, di DKI Jakarta terdapat peraturan daerah yang mengancam pidana denda bagi setiap orang yang menolak vaksinasi dalam Pasal 30 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019 (“Perda DKI 2/2020”) yang berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5 juta.
Melihat sanksi - sanksi di atas sungguh mengerikan rasanya jika kita enggan untuk di vaksin dan sepertinya memang vaksinlah satu satunya jalan agar selamat dari sanksi sanksi tersebut, sudah di tengah terpuruknya ekonomi masyarakat mau didenda pula lagi kita dengan jumlah yang fantastis itu yang ngerinya lagi mau dipenjarakan sanak saudara kita karena tidak vaksin seakan akan pilihan yang ada hanyalah vaksin atau pidana, vaksin atau tidak bisa kemana mana ,vaksin atau denda begitulah yang membayangi masyarakat selama ini dan apakah itu sesuai dengan nilai nilai hak asasi manusia
Beberapa orang berpendapat bahwa ini memang harus dilakukan, karena kita sedang dalam kondisi darurat sehingga vaksinasi sah-sah saja dipaksakan. Menurut saya, itu melanggar hak asasi manusia serta melanggar konsep yang selama ini sudah diagung-agungkan juga oleh negara ini. Jadi, di satu sisi negara memperjuangkan nilai-nilai hak asasi manusia tapi di satu sisi negara membolehkan hak asasi itu dilanggar karena alasan darurat. Lalu pertanyaan timbul bagi saya pribadi, seumpamanya saja terjadi darurat militer atau kita dalam kondisi perang boleh tidak melanggar hak asasi manusia?
Padahal setiap tindakan medis yang kita mau terima itu harus ada informed consent dari si penerima layanan serta setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya dan setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Tapi kita seperti tidak punya pilihan lain selain melakukan vaksinasi, bahkan bagi orang yang sudah terkena Covid-19 tetap juga harus divaksin. Kita ketahui bersama dari beberapa sumber pada dasarnya orang yang sudah terkena Covid-19 itu memiliki imunitas yang lebih baik terhadap virus itu sendiri dibandingkan yang disuntikkan melalui vaksin Covid-19, tetapi hal ini tidak membuat bagi penyintas Covid-19 bebas dari kewajiban vaksin. Belum lagi jumlah suntikan yang diterima bertambah terus jumlahnya, mulai dari yang pertama, kedua, lalu booster ketiga, sekarang ada pula isu-isu booster keempat.
Hal yang sangat mengecewakannya lagi, setelah kita terpaksa untuk melakukan vaksin dengan harapan "Sudahlah, tidak apa-apa, ini demi kebaikan bersama dan kebaikan diri sendiri agar terbebas dari Covid-19 dan selamat dari pertarungan melawan Covid-19", bukan sedikit pula yang sudah vaksin kedua tapi tetap meninggal dunia juga karena Covid-19. Bukankah ini membuat masyarakat jadi berpikir buat apa kita vaksin di luar keinginan kita toh meninggal juga, lebih baik tidak divaksin berdasarkan keinginan sendiri ya kalau meninggal ini karena pilihan sendiri.