Urbanisasi merupakan suatu proses alamiah dari kegiatan mobilitas penduduk. Urbanisasi dapat dianalisakan menjadi 2 konteks. Pada konteks pertama di mana perpindahan penduduk dari desa ke kota. Faktor yang secara umum dapat menjelaskan mengapa terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota adalah motivasi. Keinginan penduduk untuk berpindah ke kota merupakan reaksi atas pengharapan hidup yang lebih baik. Urbanisasi yang perkembangannya tidak dikontrol pada suatu wilayah akan berhadapan dengan batas daya tampung perkotaan.
Adanya urbanisasi yang berlebih ini telah menimbulkan berbagai masalah di Indonesia. Tidak hanya menimbulkan masalah di kota yang dituju namun juga menimbulkan masalah di desa yang ditinggalkan. Masalah yang terjadi kota antara lain yaitu kepadatan penduduk, meningkatnya pencari kerja, meningkatnya angka kemiskinan. Di desa juga akan timbul masalah diantaranya berkurangnya sumber daya manusia karena penduduknya telah pergi ke kota, desa akhirnya tidak mengalami perkembangan yang nyata. Dijelaskan pada uraian diatas bahwa faktor penyebab timbulnya urbanisasi yang paling kuat adalah faktor ekonomi (menjadi motif utama), selain itu disusul dengan faktor tingkat pendidikan.
Pada umumnya, tahap awal urbanisasi akan menimbulkan keuntungan karena banyaknya tenaga kerja dengan kualifikasi yang beragam dan upah yang relatif rendah, yang akan menggerakkan perekonomian wilayah (Parnwell, 1993:120). Di sisi lain, tenaga kerja yang  oversupply akan timbul efek negatif. Selain banyaknya pengangguran karena jumlah tenaga kerja yang terlalu banyak, masalah yang mengikuti lainnya adalah masalah yang berkaitan dengan pelayanan dan kenyamanan kota.
Menurut data BPS, tingkat urbanisasi nasional pada tahun 2000 adalah 36,46% naik menjadi 40.48% di tahun 2005. Tingkat urbanisasi ini diperkirakan akan naik menjadi 48,41% di tahun 2015 serta naik menjadi 52,20% ditahun 2020. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total.Misalnya saja di Jawa Barat yang merupakan salah satu provinsi memiliki angka urbanisasi di atas nasional. Pada proyeksi urbanisasi tahun 2010 Jawa Barat memiliki tingkat persentase 66,2 % dan diperkirakan akan bertambah 5,8% setiap periode.
Suatu wilayah dengan tingkat urbanisasi yang tinggi telah menimbulkan permasalahan ekonomi perkotaan, yaitu tingginya tingkat pengangguran. Meningkatnya pengangguran ini menunjukan bahwa perkembangan sektor formal tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja sehingga urbanisasi dengan sendirinya mendorong pertumbuhan sektor informal.
Pertumbuhan sektor informal yang muncul di perkotaan di Indonesia seharusnya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Cepatnya pertumbuhan tenaga kerja di perkotaan disebabkan pertumbuhan alami tenaga kerja di kota dibarengi dengan peningkatan tenaga kerja dari pendatang. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi menurunnya sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian, dikarenakan tenaga kerja sektor pertanian di desa pindah ke kota dan lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan yang tidak produktif. Begitu juga urbanisasi karena dorongan mencari pekerjaan sejalan dengan kondisi ketenagakerjaan di perdesaan. Berdasarkan Sakernas 2008, tingkat setengah pengangguran daerah perdesaan tercatat dua kali lipat dari daerah perkotaan (41 % dibanding 21%).
Faktor penyebab pengangguran adalah seseorang meninggalkan pekerjaannya untuk mencari kerja yang lebih baik atau lebih sesuai dengan keinginannya, perkembangan teknologi, tidak dapat berkompetisi dalam persaingan yang ketat, kemunduran perkembangan ekonomi suatu daerah akibat dari pertumbuhan pesat daerah lain.
Dalam tiga tahun kebelakang, persebaran penganggur menurut provinsi memiliki pola yang hampir sama dengan persebaran penduduk usia kerja, angkatan kerja dan penduduk yang bekerja, yakni terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama di beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jumlah penduduk usia kerja di Provinsi Jawa Barat terus meningkat, demikian pula angkatan kerja dan penduduk yang bekerja. Menurut BPS, pada bulan Agustus 2014 jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) adalah 33.465.346 orang, mengalami pertumbuhan 1,95 persen dibandingkan keadaan penduduk usia kerja pada bulan Agustus 2013. Jumlah angkatan kerja mencapai 21.006.139 orang, bertambah 385.529 orang dibandingkan keadaan Agustus 2013 (20.620.610 orang). Namun demikian, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja pada Agustus 2014 mengalami penurunan sekitar 0,05 persen; pada Agustus 2013 tercatat TPAK 62,82 persen, sedangkan pada Agustus 2014 62,77 persen. Penduduk yang bekerja pada Agustus 2014 sebanyak 19.230.943 orang, bertambah 499.000 orang dibandingkan Agustus 2013 dengan jumlah penduduk bekerja 18.731.943 orang. Di sisi lain, jumlah penganggur pada bulan Agustus 2014 mengalami penurunan 6,39 persen atau berkurang 113.471 orang jika dibandingkan keadaan Agustus 2013.
Dengan demikian, data dari BPS menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Jawa Barat pada bulan Agustus 2014 juga menurun sekitar 0,71 persen dibandingkan Agustus 2013, yaitu dari 9,16 persen menjadi 8,45 persen. Pada tahun 2010 Tingkat penganggur terbuka (TPT) paling besar terdapat di Provinsi Banten, yakni mencapai 14,15 persen, paling besar ke dua DKI Jakarta, yakni mencapai sebesar 11,32 persen, dan paling besar ke tiga adalah Provinsi Jawa Barat, yakni mencapai sebesar 10,57 persen.
Menurut Asep, permasalahan perkotaan yang muncul pada kota-kota besar di Indonesia menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola perkotaan. Kebijakan terkait dengan urbanisasi, pada dasarnya kebijakan yang terkait dengan mobilitas penduduk dan pembangunan perkotaan. Terkait dengan mobilitas penduduk dan pembangunan perkotaan, secara konseptual perlu memadukan dua kebijakan, yaitu pengembangan urbanisasi perdesaan dan pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru. Mengenai hal tersebut perlu adanya dukungan dan kerjasama dari berbagai pemilik kepentingan. Hal yang paling penting dalam problematika tersebut adalah perlunya kemauan politik yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah, serta didukung dengan peran serta dari legislatif sebagai pengawas atas implementasi dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Menurut penjabaran di atas nyatalah bahwa penduduk semakin mengkota. Meningkatnya proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan dapat berarti bahwa penduduk memiliki mobilitas tinggi dari perdesaan ke perkotaan, atau pembangunan daerah semakin pesat yang pada gilirannya mengubah suatu daerah dari berciri perdesaan menjadi ciri perkotaan.  Perlu ditambahkan bahwa kawasan yang saat ini sudah menjadi wilayah perkotaan akan menjadi kawasan metropolitan. Dalam kaitan ini peran regulasi ketransmigrasian di Indonesia, harus mampu menunjukkan revitalisasi yang positif. Hal utama dalam rekruitmen calon tarnsmigran adalah calon harus memahami akan kepentingan pengembangan daerah tujuan. Sumber daya manusia yang ada dipaksa menyesuaikan terhadap tujuan kebijakan pengembangan daerah melalui penempatan penduduk yang tepat.Permasalahan yang tidak ada habisnya ini dapat dikurangi dengan pelatihan terhadap tenaga kerja dan pemerataan pembangunan antara kota dan desa sehingga tidak ada kesenjangan ekonomi maupun sosial yang akan terjadi.
oleh : Hasya Aghnia - 3614100015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H