Mohon tunggu...
Hasya AimanNadhir
Hasya AimanNadhir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Permasalahan Gender di Indonesia

15 April 2022   14:06 Diperbarui: 15 April 2022   14:10 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Permasalahan politik bukan hanya persoalan hak pilih saja melainkan turut masuk ke ruang privat sebagai identitas perempuan dan status kewargaannya. Kehadiran sosok perempuan ini diharapkan mampu membawa kepentingan perempuan dalam kepentingan bangsa dan negara, maka dari itu cara satu-satunya untuk kepentingan perempuan dapat terpenuhi dalam hal bermasyarakat adalah dengan cara memberikan ruang bagi representasi perempuan di parlemen.

Permasalahan Perempuan di Masa Ini

Sebetulnya penggambaran permasalahan perempuan di masa kini juga terdapat sebagian gambaran mengenai permasalahan perempuan di masa lalu yang belum kunjung terselesaikan. Masih berhubungan mengenai penjelasan permasalahan diatas sebagai pedoman permasalahan perempuan di masa lalu, masalah yang terjadi di masa kini berkembang menjadi lebih kompleks, terdapat beberapa kasus yang menjadi permasalahan bagi perempuan di masa kini, yaitu :

  • Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual kurang mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
  • Pekerja perempuan cenderung memiliki upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.
  • Representasi politik yang memiliki gender perempuan sangat sedikit berada di parlemen.
  • Jumlah kontribusi pada pengambilan keputusan suara yang melibatkan suara perempuan masih tergolong sedikit.
  • Terjadi pelecehan seksual di lingkungan kerja perempuan.

Permasalahan yang kerap kali muncul ini berasal dari kondisi politik dimana perempuan ini belum terwakili secara proporsional, mengapa disebut demikian? Dilansir dari Yayasan Jurnal Perempuan, bahwa jumlah wanita yang menduduki jabatan eselon I dan II departemen hanya 5,5% atau 843 atau setara 15.332 orang. Lalu yang kedua juga berasal dari kondisi sosial dan ekonomi, dalam perjalanan menuju era masyarakat industry dengan keadaan krisis yang berkepanjangan wanita juga mendapat tekanan untuk menanggung beban keluarga, Kementrian Pemberdayaan Perempuan melakukan penelitian dan hasilnya menujukkan bahwa 60% perempuan Indonesia harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya (Kompas 4 juli 2000). Dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah banyak pekerja yang dimanifestasikan kepada keterampilan buruh. Sementara, buruh ini masuk kepada kelompok vulnerable (kelompok rentan) dimana pelecehan seksual dan kriminalitas di kawasan industri juga menunjukkan frekuensi yang sangat tinggi.

Kondisi di Indonesia

Kondisi di Indonesia masih sangat melekat dengan buadaya partiarki dimana pola pikir patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki, perempuan pun digambarkan sebagai suatu pihak yang tidak memiliki keahlian serta kemandirian di semua bidang dan salah satunya adalah politik. Mengutip Siti Nurul Hidayah dalam detik news, “Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, patriarkisme kadung menjadi tradisi dan budaya yang diwariskan turun-temurun, lalu dianggap sebagai sesuatu yang wajar belaka. 

Bahkan, perempuan yang nyaris selalu menjadi pihak pesakitan alias korban atas budaya patriarki tersebut pun lebih sering hanya menerimanya sebagai kodrat. Budaya patriarki kian mendapat pembenarannya ketika penafsiran ajaran agama pun dalam banyak hal lebih berpihak pada kepentingan laki-laki.” Berdasarkan kutipan tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa hal patriarki ini sudah ada dari jaman dahulu, yang mana masyarakat pun sudah mewajarkan aksi patriarki tersebut akan tetapi seharusnya hal ini tidak diwajarkan karena hanya akan membuat eksistensi perempuan terinjak oleh kekuasaan atau dominasi laki-laki karena perempuan pun pasti memiliki beberapa keahlian yang tidak kalah hebat dengan kaum laki-laki.

Dilansir dari News Detik, institusi politik ini tidak sepenuhnya memiliki komitmen yang penuh mengenai pemberdayaan perempuan, jika bisa diambil contoh yaitu pencalonan bakal anggota legislatif yang dilakukan oleh partai politik itu hanya semata-mata sebagai formalitas semata agar memenuhi syarat pemilu saja bahkan pada level rekrutmen ini perempuan masih menjadi pilihan kedua bagi parpol. 

Mengapa bisa demikian karena partai politik menilai dan belum meyakini bahwa perempuan bisa menaikan elektabilitas partai politik tersebut bahkan akibatnya dari pemilu yang satu ke pemilu yang lainnya peta kekuasaan mengenai keterwakilan yang dilakukan oleh perempuan seringkali tidak nampak di ruang publik dan tidak mengalami perubahan hingga memperlihatkan tren yang negative jadinya. Menurut Siti Musdah Mulia (2010), partisipasi politik perempuan masih rendah itu dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman dikotomis dari ruang publik serta domestik. Politik ini seringkali dianggap sebagai sebuah ruang publik yang sangat tabu bagi perempuan, bahkan politik pun sering disamakan dengan kemandirian, kebebasan berekspresi, serta agresivitas, yang seringkali dikaitkan dengan citra laki-laki.

Membahas isu gender yang sedang marak dibahas di Indonesia, terutama mengenai RUU TPKS yang akhirnya telah disahkan kemarin pada Selasa, 12 April 2022 dalam Rapat Paripurna DPR RI. Hal ini dapat setidaknya sedikit demi sedikit mengurangi permasalahan gender di Indonesia. Berbicara mengenai representasi perempuan di parlemen sudah dibahas dalam UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikam keterwakilan perempuan sebesar minimal 30%. 

Sebenarnya, perempuan memiliki peranan yang kuat bagi perkembangan politik di Indonesia, sayangnya banyak peluang yang terbungkam diakibatkan oleh tangan-tangan yang merendahkan posisi perempuan. Berdasarkan dari pemaparan diatas untuk menjawab mengenai praktik politik yang terselubung yaitu mengenai persoalan penindasan kepada kaum perempuan di dalam ranah privat sehingga tidak adanya peran perempuan dalam representasi politik itu ternyata dapat terjawab salah satunya dikarenakan masih banyaknya close recruitment terhadap kader-kader partai politik nya yang mana membuat kaum-kaum perempuan pun tersingkirkan dari kursi parlemen, serta contoh lainnya yaitu pada pencalonan bakal anggota legislatif yang dilakukan oleh partai politik itu hanya semata-mata sebagai formalitas semata agar memenuhi syarat pemilu saja lalu mengapa perempuan juga dianggap demikian karena partai politik menilai dan belum meyakini bahwa perempuan bisa menaikan elektabilitas partai politik tersebut.

Sumber : 

Harian Kompas, Edisi bulan Juli danAgustus 2000.

S

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun