Tulisan ini tidak menjelaskan tentang kehalalan segelas kopi. Namun, hanya menuliskan obrolan yang tak sengaja saya dengar, sepekan yang lalu di pelataran sebuah masjid di Jakarta.
Sambil menunggu suami yang masih sholat Ashar, di dalam masjid, saya membeli siomay dan makan di pelataran masjid. Tak jauh dari saya, ada 2 orang pria yang sedang mengobrol. Yang satu pedagang minuman teh dan kopi, satunya lagi pemuda yang akan membeli kopi. Sepertinya kedua pria tersebut sudah saling mengenal.
Pemuda: "Gue beli kopi dong segelas”
Pejual kopi: “Dapet dari mana lo duitnya?”
Pemuda: “Gue baru malakin orang, dapet tuju rebu”
Penjual kopi: “Lho, lo gimana sich? Ga halal tuch duit palakan...”
Pemuda: “Halal donk, gue khan tadi malak orang mintanya lima rebu, dia ngasihnya tuju rebu. Berarti halal”
Penjual kopi: “Terserah lo dech. Emangnya buat beli apa’an sich?”
Pemuda: “Gue pengen banget empek-empek yang di sono. Harganye lima rebu”
Penjual kopi: “Ah elo, ya udah, sini gue bikinin kopi, dua ribu ya... tapi gue ga tau dech uang elo halal apa enggak...”
Pemuda: “Ya udah, gue haus banget nich. Ga tau dech gue jadi apa enggak beli empek-empek. Jadi ga enak gue... halal kagak ya duit gue...? Gue minum dulu aja dech...”
Obrolan kedua pria tadi, menjadi renungan tersendiri, untuk saya khususnya. Mungkin karena kedua pria tersebut “tongkrongannya” di masjid, sehingga untuk membelanjakan uang yang didapatkannya pun, mereka mempertimbangkan apakah uang tersebut halal ataukah tidak.
Terimakasih, ya Pak dan Mas yang baik. Kalian berdua, tanpa sengaja telah memberikan satu materi kuliah luar biasa sepekan yang lalu di Universitas Kehidupan. Saya pun harus belajar banyak untuk kembali mempertimbangkan saat menerima atau membelanjakan sesuatu, tak sekedar kehalalannya, namun juga ke-thoyib-annya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H