Mohon tunggu...
Hastuti Ishere
Hastuti Ishere Mohon Tunggu... Administrasi - hamba Allah di bumiNya

Manusia biasa yang senang belajar dan merantau. Alumni IPB yang pernah menempuh pendidikan di negeri Kilimanjaro. Bukan petualang, hanya senang menggelandang di bumi Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tiga Perempat Puasa dan Safar Perdana Menuju Afrika

4 Juli 2015   10:01 Diperbarui: 4 Juli 2015   10:01 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

 

Malam itu, hampir enam tahun yang lalu. Seminggu menjelang Idul Fitri. Saya tak sempat tarawih. Pokoknya ba’da isya saya sudah harus ke bandara. Malam itu pertama kalinya saya naik pesawat, tujuan ke luar negeri, sekaligus ke luar benua. Pesawat berangkat lewat tengah malam. Maka perut saya pun masih penuh bekas berbuka ditambah dengan menu nasi kari di pesawat yang dihidangkan pramugari. Intinya, masih aman terkendali.

Subuh terlewat. Hampir jam enam pagi saat saya terbangun dan posisi pesawat masih menuju bandara internasional Dubai. Sepuluh jam penerbangan kurang lebih. Puasa nggak ya? Puasa apa tidak ya? Ketar-ketir sesaat berakhir dengan keputusan tetap puasa. Meskipun ada rukhsah bahwa orang safar (bepergian) boleh tak puasa. Hitung-hitung uji stamina dan keimanan. Aihh. Croissant, strawberry jam, dan teman-temannya di baki hidangan sarapan pagi tak tersentuh.

Menuju jam 7 pagi pesawat sampai di bandara Dubai. Sesaat istirahat, sholat dhuha, jalan-jalan sedikit dan cuci mata yang banyak, bersiaplah kami menuju tujuan berikutnya: Nairobi. Sekitar jam 9 pagi waktu Dubai pesawat bertolak. Menjelang makan siang, katering pesawat pun dihidangkan.

Beef or chicken?”

Chicken.” Jawab saya singkat.

Pesanan sudah di meja. Sudah puasa tetapi kenapa tetap terima makanan? Namun begitu saya tak berani menyentuh apalagi membuka si jatah ransum pesawat. Tatapan saya terpaku pada sosok di depan saya. Meski hanya tampak bagian belakangnya, itupun sepertiganya, saya berasumsi kalau dia laki-laki muslim. Makanannya juga sudah ada di depan mata namun tak disentuh. Ia tidur rupanya.  Seolah merasa mendapat rekan senasib seperjuangan. Lanjuttt…puasanya. Meski jujur saja harum dan penampakan makan siang di depan mata sungguh menggoda.

Delapan jam lebih kurang waktu penerbangan. Daratan bandara JKIA mulai nampak jelas. Menjelang pendaratan, perut berkecamuk. Tubuh ini terlalu sensitif dengan perbedaan tekanan. Turbulensi angin, peralihan dari perbedaan ketinggian yang bikin jantung mencelos, serta daya adaptasi fisiologis tubuh akibat perbedaan jam biologis, bla bla bla.

Susah payah menelan air liur demi mencegah isi perut keluar. Apa daya saya sukses muntah. Puasa batal tetapi mual berlanjut. Setengah batal dong? Sebuah istilah setengah gila mencuat di benak antara teler dan sadar.

Senja di langit Nairobi cerah. Tak demikian dengan kondisi perut kosong yang justru makin mual kalau diisi. Sejak muntah tak sekalipun  minat memasukkan apapun ke mulut. Enek. Tak puasa tapi puasa, begitulah adanya. Semata-mata demi mempertahankan sisa stamina. Perut kosong kalau diisi malah keluar lagi kalau perjalanan belum mencapai tujuan paling final. Keanehan yang nyata sekaligus ada.

Masih satu jam lebih kami harus menunggu di JKIA untuk penerbangan berikutnya menuju Kilimanjaro. Pesawat bertolak sekitar jam 6 sore waktu setempat dan sampai jam tujuh kurang seperempat menurut itinerary. Badan masih sehat meski lemas semakin meraja. Setidaknya penerbangan kali ini hanya 45 menit lamanya. Demikian salah satu cara menenangkan hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun