Tak ada yang menyangka keempat pembicara yang didaulat, kompak mengenakan busana dengan satu benang merah: warna merah. Entah memang mereka semua sedang sehati. Entah panitia sembunyi-sembunyi memberi instruksi. Acara Kompasiana Nangkring kali ini membuat saya merasa terharu. Bukan karena edisi perdana, tetapi lebih adanya ajakan langsung secara pribadi oleh salah satu pembicara terdaulat: Aulia Gurdi. Buat saya yang sering muter-muter karena bingung arah, ini termasuk dukungan moril yang signifikan. Niat yang benar, cara yang benar meski kurang menguasai, akan dibantuNya agar menjadi nyata. Sederhana saja logika yang selalu menjadi dasar motivasi saya menghadiri setiap acara kopdar. Pembicara pertama mengungkapkan kisahnya dengan runtut, mengharukan, dan membuat mata yang bersangkutan berkaca-kaca. Demikian seorang Aulia Gurdi mengungkap sepenggal kisah tentang buah hatinya yang spesial. Mata berkaca-kaca kembali saya temukan ketika seorang mantan pengguna narkoba Lovema Syafei, bercerita bagaimana ia bisa keluar dari dunia hitam tersebut. Dua narasumber lain, Okky Madasari dan Abdul Khalik, membeberkan tips dan trik bagaimana meramu kisah-kisah inspiratif tadi menjadi sesuatu yang menarik sekaligus marketable. Sungguh kombinasi yang mantap. Sambil diwarnai dengan foto-foto dan percakapan dengan beberapa Kompasianer, saya demikian terbuai hingga lupa kalau dunia sedang berputar. Bukan bermaksud lebay, saya hanya berusaha memberi petunjuk bahwa berada dalam kumpulan orang artinya kita berada di tengah kepungan aneka karakter. Ada yang manis, ada pula yang oportunis. Demikian asyiknya saya berfoto ria dengan Si Ponsel Pintar dan berbincang-bincang, saya tinggalkan Si Ponsel Jadul beserta beberapa properti berharga lain di dalam pouch pocket saya tanpa pengawasan. Kejadiannya sebenarnya berlangsung sangat singkat, saya saja yang sadarnya agak telat. Jadi, saya tak berhak menyalahkan orang apalagi rumput yang bergoyang ketika saya kemudian merasa kehilangan pouch pocket tersebut. Berkali-kali saya memanggil Si Ponsel Jadul yang berada dalam mode getar. Tak ada respon tetapi jelas tersambung. Si pouch pocket bukan cuma mewadahi Si Ponsel Jadul saja, tapi termasuk juga kawan-kawannya: kartu ATM, KTP, modem, card reader, memory card, bahkan uang receh dan lembaran uang kertas seratus ribuan. Rencananya selepas menghadiri acara, saya ingin mampir ke Blok M berbelanja jilbab titipan teman saya di Kilimanjaro sana yang kisahnya pernah saya catat di sini. Rencana saya yang satu ini terpaksa ditunda. Saat ada orang yang memutuskan untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan, mbak Afriska Ambarita dan Om Katedra Rajawen memutuskan menjadi sukarelawan bersama saya ikutan mencari. Mereka berdua adalah dua dari sekian kompasianer yang sebelumnya cuma saya kenal namanya. Mereka berdua bahkan rela membalik-balik bantal kursi, melongok-longok kolong meja, dan memberi saran berguna demi membuat saya menemukan kembali si ponsel jadul, si pocket pouch, dan properti lain di dalamnya. Mbak Afriska Ambarita berkali-kali menanyai apakah sudah ketemu kepada saya yang hilir mudik seperti setrikaan sambil menempelkan ponsel lain di telinga. Pak Katedra Rajawen yang bahkan tak bisa makan siang karena menu yang tak ramah vegan itu tetap memperlihatkan wajah penasaran dan kembali mencari-cari di area yang diduga menjadi TKP. Belum lagi pandangan dan pertanyaan serupa dari kompasianer lain macam Pak Thamrin Dahlan dan Pak Iskandar Harun. Mereka memang tak sampai ikut melongok-longok ke kolong meja, tapi perhatian mereka lewat pertanyaan singkat sudah cukup menunjukkan kepedulian mereka. Belum lagi ponsel Anazkia yang sempat saya gunakan cukup lama untuk memanggil Si Ponsel Jadul saya tanpa protes bahkan terkesan pasrah dan untungnya tidak marah. Dua kali berita kehilangan itu diumumkan, tak ada hasil. Bagaimana hati saya tak jungkir balik kalau begini caranya? Rasa hati yang tadinya ingin marah dan kesal karena tega-teganya ada yang melakukan tindakan tersebut kepada saya, dengan mudahnya berganti dengan rasa bersyukur. Saya sendiri heran dan sempat bertanya pada diri sendiri. Ada apa ini sebenarnya? Karena saya tahu saya bukanlah manusia berhati malaikat seratus persen. Manusia bisa berencana, namun Tuhanlah yang menentukan. Minta diumumkan kepada MC sudah, memberi konfirmasi kepada pihak pengelola kafe juga sudah, meminta kerelaan para kompasianer agar mereka mau memeriksa dalam bawaan mereka juga sudah. Namun hasilnya tetap saja nihil. Ini artinya sudah takdir bahwa barang-barang tersebut harus berpindah tangan meski dengan cara yang tidak menyenangkan. Sambil berjalan kaki menuju terminal Blok M bersama mbak Afriska Ambarita, Pak Thamrin Sonata, dan satu kompasianer lain (maaf sekali saya lupa namanya) membuat saya bertekad menjadikan insiden kehilangan itu bukan sebagai bencana pasca Perang Dunia. Saya hanya menjadikan itu bak sebuah setruman gara-gara memegang kabel tak berisolasi memadai dengan tangan agak basah. Ada unsur keteledoran dari pihak saya sekaligus unsur mengambil kesempatan dari si 'pengaman barang-barang'. Klop toh? Hubungan sebab-akibat sudah jelas-jelas diperlihatkanNya kepada saya, asal saya mau berpikir. Apa yang saya alami saat itu bukan apa-apanya dibandingkan uji nyali berkali-kali seorang Aulia Gurdi. Beliau sudah diuji nyali berkali-kali dengan kategori tingkat tinggi: menyangkut nyawa sang buah hati. Aulia Gurdi dan Lovema Syafei bahkan harus berjuang lebih dari sekali. Pertama, berjuang menghadapi konflik hidup masing-masing. Kedua, berjuang melawan perasaan dalam rangka menuliskannya. Ketiga, berjuang lagi memaparkannya di hadapan para kompasianer sambil menahan airmata agar tak tumpah ruah. Buat saya mereka patut diberi piagam bertuliskan certified by God and human beings dalam hal lulus manajemen dan kecerdasan emosi lewat cara bersyukur tingkat mahir. Inilah sebetulnya hikmah titik balik yang saya dapatkan dalam acara ini. Ketika saya diberikan contoh lewat kisah orang, hari itu juga Tuhan menyuruh saya praktik langsung hikmah kisah titik balik mereka. Tak mudah awalnya meminimalisir semua rasa tak menyenangkan itu. Saya hanya mencoba menempatkan diri sendiri seolah-olah sedang pada posisi Aulia Gurdi yang belum jua menemukan sang buah hati yang hanyut di Kali Ciliwung, atau posisi seorang Lovema Syafei yang harus menyaksikan sahabatnya meninggal karena overdosis, atau bahkan posisi seorang Pak Tjip Effendi yang ditipu hingga ratusan juta rupiah plus ancaman akan dibunuh segala. Dibandingkan itu semua, kehilangan barang-barang senilai sejutaan yang saya alami jelas bukan apa-apanya. Tak harus ikut training formal dan khusus macam training ESQ untuk bisa berempati dan bersyukur bukan? Tuhan tak pernah ingkar janji ketika membuat firman yang maknanya: setiap orang diberi ujian hidup sesuai kemampuannya. Maka dari itulah, musibah kehilangan yang saya alami dalam acara Kompasiana Nangkring kali ini, membuat saya merasa jadi lebih mudah mengikhlaskan. Meski modem dan simcardnya ikutan raib, toh Tuhan masih mengizinkan saya memiliki Si Ponsel Pintar yang menyimpan foto-foto bersama kompasianer dan memungkinkan saya untuk tetap bisa berinternet. Di balik kehilangan itu, saya menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga: pertambahan tali silaturahim dan tips mengelola emosi. Banyak orang yang bisa mengekspresikan rasa simpati, tetapi tampaknya tak banyak yang mampu mengaplikasikan empati dengan sepenuh hati. Kalau mengingat-ingat bagaimana Mbak Afriska Ambarita dan Pak Katedra Rajawen melongol-longok kolong meja dan membuka-buka bantal, rasanya ini adalah anugerah yang harus saya syukuri. Jadi saya cuma berdoa saja semoga Tuhan akan mengganti yang sudah pergi dengan yang jauh lebih baik. Bukankah para pembicara yang mengungkapkan cerita titik baliknya juga sudah membuktikan kalau orang sabar dan pantang menyerah jidatnya (eh?), rejekinya, dan kadar sabarnya juga lebar? Biarlah beberapa barang berharga saya itu berpindah tangan dengan cara kurang mengenakkan. Masa lampau jelas tak bisa diubah, tapi masa depan pasti belum ternoda. Tuhan sudah menjamin akan menggantinya dengan yang jauh lebih baik kalau tetap mau berusaha dan bersyukur. Saya sempat membuat tweet yang meskipun tidak menang tapi sempat di-retweet oleh akun @kompasiana dan @khacil serta membuat saya sendiri jadi lebih termotivasi: semua org bs cerita, tapi tak semua cerita ditulis, menggugah, dan membuat org mau menulis Luapkan sejuta perasaan akan sebuah pengalaman pahit dengan menuliskan hikmahnya, bagikan, dan rasakan bagaimana Tuhan membalik dan membayar semuanya dengan sesuatu yang jauh lebih manis dan berharga. (Makna Titik Balik ala Hastuti Ishere) Ini sekilas dokumentasi yang saya ambil saat acara Kompasiana Nangkring Titik Balik yang lalu. [caption id="attachment_292416" align="aligncenter" width="300" caption="bersama Mbak Vema dan salah satu putrinya, Mbak Aulia Gurdi, Maria Margareta, dan Mbak Afriska Ambarita"][/caption] [caption id="attachment_292417" align="aligncenter" width="300" caption="bersama Pak Tjip Effendi dan istri serta Mbak Aulia Gurdi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H