“Haaan, ayo cepetaaan.”
Hani buru-buru mengenakan jaketnya. Sekali lagi gadis itu memandangi bayangan dirinya di cermin. Tak sampai semenit dimatikannya lampu kamar dan dikuncinya dari luar.
“Yuk. Aku udah siap nih. Plus laper hehehe.” jawab Hani sambil terkekeh-kekeh memandangnya.
Mau tak mau gadis itu tersenyum. Hani langsung menghambur masuk ke kamarnya, menjatuhkan dirinya di kasur, tengkurap, dan sibuk membuka-tutup ponsel jadul berdesain clam-shell milik si gadis. Gadis itu masih sibuk menyematkan peniti di jilbabnya. Hani memandanginya penasaran, tetapi hanya sesaat, lalu asyik dengan ponsel lagi.
“Yuk.” ajak gadis itu akhirnya.
“Yuk ngapain?” Hani bertanya balik sambil berlagak bodoh. Sekali lagi Hani memandangnya sambil senyum dan terkekeh.
“Udah ayok buruan. Tadi katanya laper.”
Hani langsung bangkit dan berdiri di koridor. Gadis itu mengunci kamarnya yang persis bersebelahan dengan kamar Hani. Keduanya kemudian melewati gerbang dan menghilang di balik kegelapan malam yang baru datang. Hanya perlu lima menit bagi dua perempuan beda usia itu untuk sampai ke trotoar. Semenit, lima menit, hingga tak sampai sepuluh menit keduanya sudah berada di angkot. Mereka tak banyak bicara. Gadis itu sibuk dengan Blackberry-nya dan Hani sibuk memandangi pemandangan di luar. Sekitar 20 menit perjalanan dengan angkot yang hampir penuh, keduanya turun di sebuah pusat pertokoan. Pusat pertokoan yang juga dipenuhi dengan pusat jajanan. Hani sudah kangen mengunyah burger di sana.
“Mbak nggak beli?” tanya Hani saat tiba di franchise kecil itu.
“Nggak. Aku tunggu di pecel lele ya.” kata si gadis sambil menunjuk sebuah warung pecel lele di seberang.
“Yaah, kok mbak nggak beli sih?” Hani kecewa. Dia sudah terlanjur membayangkan keduanya akan makan burger di salah satu meja sambil ngobrol.