Pemenuhan kebutuhan hidup secara ekonomi adalah bagaimana mengatur pemasukan dan pengeluaran. Ini hanya definisi amatir non-ekonom macam saya. Jadi jangan digugat ya. Kalau sumber pemasukan yang ada tak sebanding dengan pengeluaran, berhutang adalah salah satu jalan keluar termudah. Tapi kemudian berhutang bisa melahirkan aneka motif.
Mari kita mencoba sebuah contoh. Seorang bapak menerima kabar kalau anaknya lulus ujian masuk sebuah PTN. Penghasilan hariannya yang hanya seorang tukang becak jelas hanya cukup untuk makan sehari-hari, itu pun kadang kurang. Maka sang bapak pun memilih berhutang untuk menutupi biaya masuk PTN sang anak.
Hidup di zaman sekarang memang menuntut biaya yang tinggi. Jangan bayangkan kehidupan sekarang seperti masa prasejarah yang mengandalkan dari berburu dan meramu. Gratis mendapatkan suplai lauk dan aneka sayuran dan buah-buahan di hutan sudah tak cocok lagi. Zaman yang semakin berkembang membuat tuntutan kualitas hidup yang memadai. Bukan lagi sekedar pemenuhan dasar primer yang terpenuhi, melainkan juga tuntutan pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier yang semakin tinggi.
Ambil contoh urusan mengisi perut. Sekarang bukan hanya mengenyangkan yang jadi prioritas. Penampakan hidangan, rasa, bahkan tempat hidangan tersebut disajikan jadi prioritas. Maka jangan heran ada yang rela merogoh kocek demikian dalam demi seuprit makanan atau cemilan. Mungkin sebagian dari kita ada yang merasa 'jatuh harga diri' (baca: gengsi) kalau tiap hari makan di warteg sedangkan teman-teman kita sudah mencapai level, setidaknya, kafe apalagi restoran. Padahal kebutuhan primer adalah sekedar mengganjal perut demi mengisi energi. Ini sudah terpenuhi dengan makan ala warteg.
Prinsip ekonomi pun sudah terterapkan sekaligus. Namun mengapa ada yang bela-belain sekedar minum kopi di kafe yang harga secangkirnya bisa mencapai puluhan kali lipat ngopi di warung kopi biasa? Kebutuhan sekunder dan tertier bermain di sini. Ada yang demi mengangkat prestise, ada yang memang penasaran, ada yang memang kebanjiran uang. Kalau yang berkecukupan, bukan masalah. Bagi yang kantongnya pas-pasan, tentu bisa bikin keuangan berantakan. Eits, tunggu dulu. Siapa bilang yang hidupnya berkecukupan pun tak punya beban hutang?
Saya punya seorang teman asli Vietnam. Sebut saja Nguyen. Nguyen berasal dari keluarga berada. Rumahnya penuh perabotan luks. Tapi selama dia hidup di negaranya sampai belajar ke Afrika bareng saya, ada saja temannya yang dihutangi olehnya. Dulu waktu masih kuliah di Vietnam, teman saya dari Solo yang juga teman sekelasnya saat itu juga pernah dihutangi. Setelah lulus, teman saya yang dari Solo ini menagih. Ibu Nguyen lah yang kemudian membayarnya. Saat di Afrika, semua teman sekelasnya (termasuk saya) sudah pernah dihutangi. Sayangnya, sampai dia balik lagi ke negaranya, hutangnya pada saya (dan mungkin yang lainnya) belum dibayar.
Orang bijak bilang: tanam sesuatu hari ini untuk warisan anak cucu nanti. Rasanya agak trenyuh di hati kalau bukannya dapat warisan, tapi anak cucu kita malah dapat gundukan hutang. Tak ada yang melarang berhutang. Tapi kalau cuma karena kebablasan hidup jor-joran apalagi sampai terbawa liang kubur rasanya gimanaa gitu. Reputasi dipertaruhkan, hidup tak nyaman. Mari berhutang dengan jaminan keyakinan mampu membayar. Kalaupun risikonya besar, berhutanglah untuk hal yang memang darurat. Ibaratnya, kalau memang harus bunuh diri, jangan untuk mati konyol, tapi untuk menumbuhkan tunas baru yang lebih baik. Bak pohon pisang yang hanya berbuah sekali, demikian pula hidup ini. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H