Mohon tunggu...
Hastuti Ishere
Hastuti Ishere Mohon Tunggu... Administrasi - hamba Allah di bumiNya

Manusia biasa yang senang belajar dan merantau. Alumni IPB yang pernah menempuh pendidikan di negeri Kilimanjaro. Bukan petualang, hanya senang menggelandang di bumi Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Sarapan dan Kewarasan

1 Februari 2014   07:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Bicara tentang sarapan, sejak kecil saya dibiasakan oleh orang tua untuk selalu sarapan. Baik ketika saya tinggal bersama orang tua apalagi ketika saya jauh dari orang tua. Mungkin ini satu dari sekian faktor yang membuat saya jadi rajin sarapan: faktor kebiasaan.

Sejak lulus SD, saya memulai karir sebagai ‘pelajar negeri’. Itu istilah buatan saya seorang. Gambaran tentang  diri saya yang mulai masuk sekolah negeri. Dengan kata lain, TK dan SD saya adalah sekolah swasta. Saya masuk SMP negeri yang saat itu terbilang masuk urutan sekolah favorit. Pada fase ini, saya sudah tinggal tidak bersama orang tua (kandung). Saya tinggal bersama famili. Syukurlah famili saya yang satu ini, Mbak Juli, cukup cerewet. Dia bisa nyap-nyap kalau saya ketahuan tidak sarapan.

“Mbak, aku berangkat dulu ya.”

“Oh mau berangkat. Sudah sarapan belum?”

“Ntar aja, Mbak. Takut telat.”

Apakah balasan Mbak Juli?  Tadaaa ….

“Oh gitu. Ya udah buang aja nasinya. Udah dimasakin malah nggak mau sarapan.”

Kalimat bernada kalem ini bak jamu brotowali. Hitam, pahit terasa di hati dan pikiran, tetapi cespleng menerbitkan nafsu makan. Kalau tidak manjur, itu namanya saya yang keterlaluan banget dan berpotensi dicap ‘durhaka bin mbalelo’. Itu sarap namanya. Padahal beliau adalah kakak sepupu saya, bukan ibu saya. Setiap pagi beliau bela-belain bangun dan masak pagi-pagi. Semua demi memastikan semua orang di rumahnya sarapan, bergizi, meskipun akhirnya dia sendiri sarapan dengan tidak kenyang. Jadi kalau saya tidak patuh, saya sarap namanya. Faktor kedua agar rajin sarapan: harus ada yang mengingatkan bahwa sarapan bukan sekadar ngopi atau makan gorengan.

Berkat omelan tiap pagi beliau, saya pun masuk di SMA negeri yang terbilang favorit. Demikian pula ketika lulus SMA, saya diterima di IPB tanpa tes. Setelah lulus dari IPB, saya kemudian mendapat beasiswa full-tuition ke luar Indonesia.

Sungguh omongan orang tua selalu bermanfaat meski kadangkala terdengar pahit. Sarapan bukan hanya sarana berbakti kepada orang tua. Sarapan juga sebuah bentuk tanda syukur . Yang paling penting, sarapan adalah bukti bahwa kita mensyukuri diberi otak serta organ jasmani lainnya oleh Sang Pencipta dengan memberinya asupan glukosa setelah semalaman dipuasakan. Faktor ketiga agar rajin sarapan: sarapan artinya memberi makan banyak organ, terutama otak, bukan sekadar biar tak sakit maag.

Hidup sarapan, bukan hidup makan.

Jakarta, 31-01-2014

Salam PerantauPembelajarPenikmatHidup

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun