Mohon tunggu...
Hastomi Al Furqoni
Hastomi Al Furqoni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Civil engineer. Menyukai hiking dan traveling. Tinggal di kota hujan, selatan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kekejaman yang Tidak Pernah Jepang Akui

5 Oktober 2013   17:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:57 4709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Resensi Buku: Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer, Pramoedya AT

Ini adalah sebuah catatan yang sangat memilukan dan menyayat hati. Bagi generasi saya yang pengetahuan sejarahnya hanya didapat dari buku-buku pelajaran sekolah, banyak sekali peristiwa-peristiwa sejarah yang tidak saya ketahui. Salah satunya adalah yang dituturkan Pram dalam buku ini: gadis-gadis Indonesia yang dijanjikan disekolahkan di Tokyo, namun malah dijadikan budak seks oleh tentara Jepang.

Para sejarawan mengaggap fakta ini adalah salah satu tragedi kemanusiaan terburuk di abad 20. Ini adalah catatan tentang bagaimana tentara Jepang merampas masa depan gadis-gadis Indonesia. Ini adalah tentang bagaimana tentara Jepang merampas kehidupan mereka, memisahakan mereka dari orang tuanya, keluarganya, cita-citanya dan kehidupannya.

Buku berjudul Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer ini adalah salah satu catatan Pram selama dibuang di pulau Buru. Sebagian besar bukan pengalaman pribadi Pram, namun berupa catatan-catatan dari wawancaranya dengan teman-temannya sesama pembuangan. Berdasarkan penuturan teman-temannya selama di pulau Buru, banyak ditemukan wanita-wanita asal Jawa hidup di pedalaman Buru. Belakangan diketahui bahwa mereka adalah sebagian wanita yang dibuang oleh Jepang di pulau Buru, setelah kekalahan Jepang dalam perang Pasifik. Selain itu, Pram juga mewawancarai para saksi dan korban, dan juga berusaha mendata wanita-wanita di Jawa yang dibawa oleh Jepang pada tahun 1943.

Kejadian ini dilatarbelakangi perang Pasifik (Perang Asia Timur Raya) antara Sekutu dan Jepang yang memperebutkan kawasan Asia, khususnya kepulauan di samudera Pasifik. Perang tersebut menyebabkan hubungan darat dan laut menjadi sulit sehingga tentara Jepang sulit mendapatkan wanita penghibur yang biasanya didatangkan dari Korea Selatan, Cina dan Jepang sendiri. Akibatnya, gadis-gadis Indonesia menjadi korban: dikirimkan ke garis terdepan sebagai wanita pengibur.

Pendudukan Jepang di Indonesia berlangsungsejak Maret 1942 sampai Agustus 1945. Pada masa pendudukan Jepang, keadaan masyarakat sangat sulit. Sandang dan pangan sangat sulit untuk didapatkan. Setiap hari orang mati di jalan-jalan karena kelaparan. Baju pun hanya satu yang melekat di tubuh. Masyarakatdipaksa romusha bahkan sampai nyawa melayang (idem dengan cerita yang saya dengar dari kakek buyut saya).

Pada masa sulit seperti itulah Jepang menghembuskan desas-desus ini: Jepang memberikan kesempatan kepada pemuda-pemudi Indonesia untuk belajar ke Tokyo dan Shonanto (sekarang Singapura). Tujuannya agar nanti para pemuda-pemudi itu dapat mengabdikan diri dalam kemerdekaan. Memang posisi Jepang saat itu tertekan karena perang Pasifik, sehingga menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Disebut desas-desus karena memang kabar itu hanyalah kabar dari mulut ke mulut. Tidak ada pernyataan resmi dari Jepang. Pram yang saat itu berusia 18 tahun dan bekerja sebagai juru ketik di kantor berita Domei mengaku tidak pernah menulis sepatah kata pun tentang hal itu. Ia juga sempat menanyakan kepada rekan-rekannya sesama juru ketik dan hasilnya tidak satupun yang pernah menuliskan sepatah kata pun tentang berita itu. Hal inimenunjukkan bahwa Jepang memang dengan sengaja tidak mau mengumumkannya secara resmi untuk alasan tertentu. (Kelak akan diketahui bahwa Jepang dengan sengaja tidak resmi mengumumkannya agar tidak ada bukti akan kejahatan mereka di masa depan).

Pram menyimpulkan bahwa walaupun dijanjikan untuk disekolahkan di Tokyo, gadis-gadis tersebut kenyataannya dengan terpaksa mengikuti keinginan Jepang. Siapa orangtua yang ingin melepas anak gadisnya berlayar dalam kondisi perang? Mereka –paraorang tua dan gadis- tidak lain melakukannya karena takut dengan tentara Jepang. Pada masa itu semua keinginan Jepang harus dipatuhi, dan tidak ada masyarakat yang berani melawan.

Para saksi menyatakan bahwa gadis-gadis itu dijemput di rumah mereka lalu dikumpulkan di suatu tempat sebelum diberangkatkan. Mereka ditempatkan dalam rumah berpagar tinggi dan mereka dilarang berkomunikasi dengan dunia luar. Para gadis itu dipilih yang masih muda dan cantik untuk memenuhi hasrat para tentara Jepang. Hal ini pun dibenarkan oleh para saksi, baik yang pernah melihat mereka saat dikumpulkan di satu rumah, maupun para saksi di pulau Buru yang mengaku melihat sisa-sisa garis kecantikan di wajah wanita-wanita Jawa yang mereka temui di pedalaman Buru.Setelah dikumpulkan, mereka dibawa dengan kapal.

Apakah gadis-gadis itu mengetahui bahwa mereka ditipu oleh Jepang? Berdasarkan penuturan saksi, awalnya mereka percaya dengan janji tentera Jepang untuk menyekolahkan mereka di Jepang. Namun semakin lama, mereka pun menyadari juga bahwa mereka telah tertipu oleh tentara Jepang. Sebagian frustasi bahkan ada yang mencoba bunuh diri. Tapi apalah daya, mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Hingga akhirnya mereka mengalami kebiadaban tentara Jepang: mereka harus melayani tantara Jepang yang sedang beristirahat di garis belakang pertempuran. Perlakuan yang sungguh kejam dan melewati batas kemanusiaan.

Setelah kekalahan Jepang pada bulan Agustus 1945, mereka dibiarkan terlantar. Mereka dibiarkan di tempat yang jauh dari asalnya, tanpa tanggung jawab, tanpa terima kasih, tanpa pesangon, tanpa fasilitas dari tentara Jepang. Mereka dibiarkan, dilepaskan begitu saja, diserahkan pada naluri hidup mereka masing-masing untuk bertahan. Selain itu pemerintah RI yang telah merdeka pada saat itu pun tidak memberi perlindungan karena; tidak ada bukti otentik, RI masih berjuang dengan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan, banyak pertentangan kepartaian pada masa-masa awal pemerintahan. Lengkaplah penderitaan mereka menjadi orang buangan. Ditinggalkan Jepang tanpa apapun dan tidak diberi perlindungan oleh negara sendiri.

Selain tidak bisa pulang karena tidak memiliki kekuatan, mereka secara psikologis malu untuk kembali kepada keluarga mereka. Walaupun saat itu ia mampu itu mengirim surat (mereka tentu ingat alamat keluarganya) tidak ada catatan dari keluarga yang pernah menerima surat.

Begitulah nasib wanita-wanita tersebut. Dibuang jauh dari tempat asalnya tanpa ada sedikitpun pesangon, dalam keadaan lemah, dan mengalami depresi yang sangat dalam. Tiada pilihan bagi mereka selain menerima keadaan apa adanya.

Pada bagian selanjutnya buku ini, Pram menuturkan catatan-catatan dari para buangan di pulau Buru yang secara kebetulan atau secara sengaja bertemu dengan para wanita Jawa yang hidup di pedalaman Buru. Wawancara Pram dan teman-temannya dilakukan pada tahun 1978 (naskah buku ini ditulis Pram pada tahun 1979), artinya wanita-wanita tersebut pada saat itu sudah berusia sekitar setengah abad. Para wanita tersebut dapat dilihat dari fisik dan perilakunya yang berbeda dengan masyarakat asli Buru. Catatan Pram juga menjelaskan secarai detail kehidupan pedalaman Buru, bahasa, adat dan komunikasi para buangan dengan penduduk setempat.

Pawa gadis yang sebagian dibuang di pulau Buru oleh Jepang, di sana mereka mau tidak mau harus berbaur dengan penduduk lokal yang primitif --diperjualbelikan oleh masyarakat gunung yang memang adatnya memperjualbelikan wanita. Bayangkan gadis-gadis muda tersebut, yang umumnya gadis Jawa yang terpelajar, harus hidup dalam kehidupan gunung yang primitif dan tanpa fasilitas memadai

Gadis-gadis itu harus hidup dalam kesengsaraan, dan hanya bisa mengingat-ingat keluarga dan kehidupan yang mereka tinggalkan. Tidak tersisa airmata untuk itu. Mereka pasrah dengan keaadaan mereka yang seperti itu. Sampai akhir hayat mereka hidup di pembuangan, tanpa hubungan lagi dengan keluarga yang ditinggalkan.

***

Sampai hari ini pemerintah Jepang menolak untuk meminta maaf kepada para korban perbudakan seks pada perang dunia II. Pemerintah Jepang menolak dengan alasan tidak ada bukti akan terjadinya hal itu. Perdana Menteri Jepang saat ini Shinzo Abe sendiri pernah menyatakan hal tersebut (Lihat Tautan).

Saat ini tahun 2013, artinya 70 tahun sudah berlalu sejak gadis-gadis malang tersebut diangkut pada tahun 1943. Korban tentara Jepang bukan hanya gadis-gadis Indonesia, tapi juga dari Cina, Korea, Asia Tenggara dan Jepang sendiri. Protes pun masih sering kita dengar di Cina, Korea dan Jepang. Namun pemerintah Jepang bergeming. Mereka besikukuh tidak mengakuinya.

Bagaimanapun perang hanya menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan. Dan kekejaman tentara Jepang tidak mungkin terlupakan. Maka bersyukurlah kita semua dan gadis-gadis yang sekarang lahir dalam era kemerdekaan.

***

Detail Buku:

Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer

Toer, Pramoedya Ananta

Jakarta; KPG, 2001

ix +218 ; 14 cm x 21 cm

ISBN : 979-9023-48-3

Cetakan ke-6, Februari 2009.

[caption id="attachment_292754" align="alignnone" width="300" caption="Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, Pramoedya AT"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun