Mohon tunggu...
Hasto Kristianto
Hasto Kristianto Mohon Tunggu... lainnya -

Wasekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)

Selanjutnya

Tutup

Politik

SBY, Akil, dan Bangkrutnya Demokrasi Kita (Bagian-I)

12 Oktober 2013   16:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:38 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_271789" align="alignnone" width="640" caption="(Pemilu 2009, Kekacauan DPT dan Politik Pencitraan Massif Di Masa Pemilu 2009 Harus Jadi Pembelajaran Kita Memilih Pemimpin Bangsa, Sumber Photo Didapat Dari : Karawang Info)"][/caption] Akar di dalam demokrasi sesungguhnya dibentuk oleh Partai, Partai adalah sekolah politik pertama bagi seorang kader dalam bermain politik, Partai adalah latihan dimana seseorang harus terampil berpolitik dan pada akhirnya politik adalah penyumbang terpenting peradaban sebuah bangsa. Tapi bagaimana bila kemudian politik didegradasi pengertiannya, direduksi maknanya dari sebuah alat pembangun peradaban jadi hanya sekedar tempat jual beli barang. Politik menjadi sebuah sikap yang rendah bukan lagi pertarungan idealisme, gagasan dan narasi-narasi sejarah sebuah bangsa tapi politik direndahkan maknanya menjadi "Lu ada duit, Gue ada barang" inilah yang kemudian menjadi akar kebangkrutan politik Indonesia yang kemudian merambat menjadi sikap apolitis di segala lini, rakyat tidak mau lagi terlibat dalam soal-soal negara, rakyat hanya menjadi penonton pasif yang kesepian ditengah pembicaraan politik yang kerap tidak diterima oleh akal sehat. Tertangkapnya Akil Mochtar membuat saya berpikir, "Ada apa dengan demokrasi kita?"  Dikotak katik seperti apapun "Konstitusi adalah Nyawa kita bernegara" ini yang harus digarisbawahi, bagaimana bisa sebuah 'nyawa' dipermainkan dan dihina dengan duit sogokan dan hancurnya moralitas. Bagi saya kasus Akil Mochtar seperti muara dari kasus yang bermula pada kecurangan Pemilu secara massif di tahun 2009.  Tidak mungkin kita mengamati sebuah kerusakan yang tersistematis bila kita tidak memperhatikan dimana kerusakan itu terjadi pada wilayah awalnya. Sebelum kita masuk ke soal Akil Mochtar, mari kita analisa dulu apa yang terjadi pada tahun 2009, kita dialektika-kan keadaan itu dengan kondisi demokrasi kekinian kita yang rusak. Politik transaksional saat ini sudah mengubah bentuk Partai, dari Partai yang dibangun untuk belajar bermasyarakat menjadi Partai Politik yang elektoral,  fungsi Partai tereduksi hanya sekedar menjadi mesin pemenangan pemilu. Hal ini karena pengaruh dari  global reproduction of American Politic. Reproduction of America politic ini terjadi  melalui liberalisasi politik dan ekonomi pasca krisis moneter tahun 1997. Partai Demokrat adalah contoh paling gamblang dari Partai Elektoral.PD dibentuk secara diam-diam sebagai kendaraan politik bagi SBY. Ia  tidak dibangun dari idealisme, dan tidak memiliki tradisi perlawanan terhadap rejim otoriter Orde Baru. Ia murni partai Elektoral. Partai yang berorientasi pada suara, pada mesin coblosan, tidak ada yang namanya 'kesejarahan kader dan sekolah kader'. Uniknya ada yang aneh dalam Pemilu 2009 bahwa Partai Demokrat mengalami kenaikan suara sampai 300%. Dengan  sistem multipartai seperti di Indonesia, dengan intensitas persaingan yang tinggi, sebenarnya TIDAK MEMUNGKINKAN bagi Parpol seperti partai Demokrat untuk mengalami kenaikan 300% tersebut Ada apa dengan ini? Kemenangan Partai Demokrat 300% adalah buah dari bekerjanya “Politik Menghalalkan Segala Cara”, yang dilaksanakan dengan strategi  khusus, yang dirasionalisasikan melalui politik citra dan bandwagon effect. Dalil Tim SBY: kemenangan dapat diperoleh sejauh seluruh persyaratan (rancangan pemenangan pemilu) terpenuhi, termasuk melakukan hal apapun untuk menang. Mereka memang menjalani apa itu 'kelengkapan prosedural' tapi tidak mengindahkan apa yang disebut dengan etika. Ini sama dengan film 'Wall Street 2 (Money Never Sleeps) bahwa memang seluruh transaksi memenuhi prosedur perdagangan di Pasar Modal, tapi apakah itu juga memenuhi etika dalam bertarung secara fair?  Inilah juga yang terjadi pada Penipuan Pemilu Massif tahun 2009. Sumber dana dalam kemenangan Politik 2009 mereka diarahkan pada struktur "Manipulasi Psikologis"  dimana manipulasi itu mengarah kepada beberapa soal :  Bandwagon effect, Politik Pencitraan, Intervensi Survey dan yang terakhir adanya sembilan opsus.  Ada beberapa model manipulasi yang digunakan, seperti Manipulasi Kasar ala Afrika dan Manipulasi pengelabuan alam pikir ala Amerika Serikat. Seperti Pemilu tanpa nomor urut dan hitungan kompleks yang akibatnya mudah dimanipulasi ini adalah Pemilu African Style. Lalu ada juga Bandwagon Effect melalui pencitraan hasil survey (Prakondisi) dan pencitraan media secara massif. Selain itu ada juga penggunaan instrumen negara seperti : Penyusupan Agen Partai ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Polisi dan Tentara ini adalah model Afrika. Dan terakhir Manipulasi Pemilih (Operasi DPT) dan Manipulasi IT (Pembenar dari manipulasi pemilih). Bandwagon Effect Dalam kasus Kemenangan Partai Demokrat Di Tahun 2009 BANDWAGON EFFECT, efek ikut ke pihak yang “dipersepsikan kuat”, atau efek ikut-ikutan sebagai naluri perkawanan. Sebutan Bandwagon Effect dimulai dalam tradisi kampanye Amerika Serikat yaitu pada tahun 1848 ketika Dan Rice, sirkus terkenal dan populer, menggunakan kereta musik dalam kampanye politik. [caption id="attachment_271791" align="alignnone" width="600" caption="(Leadwagon Circus, Kampanye Yang Mampu Menarik Massa Ikut-Ikutan, Sumber Photo : American History Campaign)"]

1381569571783250175
1381569571783250175
[/caption] Pada Tahun 1900 kampanye presiden William Jennings Bryan, bandwagons telah menjadi standar dalam kampanye.  Bandwagon dipergunakan untuk menarik orang dan asal bergabung dan sukses tanpa mempertimbangkan  keterkaitan mereka. Tahun 1980, NBC News mengumumkan hasil jajak pendapat perilaku pemilih di belahan Timur Amerika Serikat, dimana Ronald Reagan menang di timur, beberapa jam sebelum bilik suara di amerika bagian barat ditutup.  Bandwagon effect efektif bekerja di Amerika bagian Barat. Cara ini pun diterapkan SBY tahun 2004. Quick Count Papua diumumkan, ketika Indonesia bagian barat masih melakukan pencoblosan. Selama pemilihan presiden AS 1992, Vicki G. Morwitz dan Carol Pluzinski melakukan penelitian. Relawan bisnis diberi hasil jajak pendapat nasional dan menunjukkan bahwa Bill Clinton memimpin. Mereka yang  memilih Bush berubah pikiran setelah melihat hasil jajak pendapat tersebut. Selain Bandwagon Effect, kemenangan Demokrat juga diperkuat oleh struktur belanja iklan yang besar, nilainya paling raksasa dibandingkan dengan Partai lain. Berikut saya lampirkan data belanja iklan pada Pemilu 2009, menurut AC NIelsen : Selama September-November 2008, belanja iklan partai politik: Partai Demokrat    : Rp 15,5 miliar/bulan. Partai Gerindra       : Rp 8 miliar/bulan Partai Golkar           :  Rp. 5 miliar/bulan PKS                              :Rp 2 miliar/bulan PDI Perjuangan       :Rp 1,5 miliar/bulan Pengaruh Iklan di Televisi Menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang saya catat sebagai berikut : Tayangan iklan Pasangan dalam Pilpres  di TV pada musim kampanye 2 Juni -4 Juli 2009: ⦁    SBY-Boediono: 1.700 spot dan diharapkan mampu mempengaruhi sekitar 95% penonton ⦁    Jusuf Kalla-Wiranto: Hampir 1000 spot dan mampu mempengaruhi hingga 92% penonton ⦁    Megawati-Prabowo: 189 spot dan mampu mempengaruhi hingga 78% penonton ⦁    Harga setiap spot iklan minimal Rp. 2 juta bahkan lebih disesuaikan dengan waktu penayangannya ⦁    Pengaruh televisi mencapai 91% persen dari seluruh masyarakat Indonesia (Sumber Komisi Penyiaran Indonesia/KPI) Pengaruh Thaksin Dalam Rusaknya Demokrasi Kita Menurut catatan Markus Meitzner Research yang bisa menyokong tentang teori intervensi uang dalam demokrasi kita dengan menggunakan metode-metode Thaksinomics. Metode Thaksin ini berangkat dari metode penggunaan APBN yang "dimanipulasi" untuk kepentingan Pemilu. Caranya bagaimana, gelontorkan program populis sebanyak mungkin untuk rakyat. Lalu kampanyekan itu sebagai kebijakan SBY dan Demokrat. Penelitian Marcus Meizner menunjukkan, hanya dalam waktu 6 buan sejal Juli 2008, berhasil digelontorkan dana APBN sebesar US$ 2 billions. Total dana termasuk BLT, PNPM dll mencapai hampir Rp 30 trilyun rupiah. Hasilnya pun dahyat.  Pada bulan Juni 2008, polling menunjukkan PD hanya 8.7% jauh dibawah PDI Perjuangan sebesar 24.2% dan PG 19.7%.  Pada saat bersamaan,  elektabilitas Megawati  5% di atas  SBY. Bahkan beberapa survey lainnya menunjukkan gap sebesar 10%. Para analis politik saat itu sependapat, bahwa itu adalah akhir dari era SBY karena rakyat lelah dengan kepemimpinan yang tidak memberikan inspirasi. Namun hanya dalam waktu 6 bulan setelah berbagai cara di atas dijalankan secara masif, maka hasilnya pun luar biasa. Elektabilitas PD dan SBY tahun 2009 melesat drastis, atau skyrocketing. Tapi dampaknya pun luar biasa. Ketika kekuasaan dipertahankan dengan 'menghalalkan berbagai macam cara', namanya demokrasi yang berkedaulatan rakyat selalu punya 'invisible hand' untuk campur tangan. Hampir seluruh persoalan korupsi besar di Republik ini, melibatkan orang di lingkaran kekuasaan pertama Presiden SBY. Mereka yangmengiklankan "katakan tidak pada korupsi" pun kini terjerat dan masuk dalam lorong gelap hukuman rakyat. Akankah keadilan alam semesta ini akan bergerak dan melupat habis mereka-mereka yang selama ini menjungkir balikkan suara rakyat? Seorang tokoh "linuwih" telah meramalkan, bahwa kekuasaan yang dibangun dengan segala cara, akan menghabiskan dan memakan "putra kinasihnya". Kita tunggu. Keadilan akhirnya dimenangkan, dan suara rakyat adalah suara Tuhan. Inilah kidung harapan yang terus bersuara lantang untuk pembebasan pd tahun 2014 yad. Catatan-catatan diatas saya amati sebagai bagian dari upaya mengembalikan politik, pada watak sejatinya untuk membebaskan rakyat Marhaen. Politik sebagai keberpihakan pd rakyat yang paling miskin. Bukan politik sebagai bentuk pengendalian kekuasaan sebagaimana terjadi pd 8 tahun terakhir ini.  Tulisan selanjutnya akan saya gabungkan dengan bagaimana kemudian politik uang mengeruk dana-dana APBD dalam strategi pemenangan Pemilu lewat Kebijakan Publik. Selanjutnya dalam bagian II, nanti saya akan paparkan pandangan saya soal strategi kebijakan publik yang merupakan selimut money politic yang dilakukan rezim penguasa untuk memenangkan Partai Demokrat dan Pencitraan SBY dalam mempengaruhi pilihan rakyat. APA YANG SAYA SAMPAIKAN DI ATAS MELALUI KAJIAN YANG MENDALAM DAN SAYA PERTANGGUNG JAWABKAN SEPENUHNYA. INDONESIA MENUNGGU HADIRNYA INTELIJEN NEGARA YANG BERSATU DENGAN RAKYAT, UNTUK MENGHANCUR LEBURKAN MEREKA-MEREKA YANG JUSTRU MEMPERLEMAH NEGARA KARENA AMBISI MELANGGENGKAN KEKUASAAN DENGAN SEGALA CARA. -Hasto Kristiyanto-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun