[caption id="attachment_271789" align="alignnone" width="640" caption="(Pemilu 2009, Kekacauan DPT dan Politik Pencitraan Massif Di Masa Pemilu 2009 Harus Jadi Pembelajaran Kita Memilih Pemimpin Bangsa, Sumber Photo Didapat Dari : Karawang Info)"][/caption] Akar di dalam demokrasi sesungguhnya dibentuk oleh Partai, Partai adalah sekolah politik pertama bagi seorang kader dalam bermain politik, Partai adalah latihan dimana seseorang harus terampil berpolitik dan pada akhirnya politik adalah penyumbang terpenting peradaban sebuah bangsa. Tapi bagaimana bila kemudian politik didegradasi pengertiannya, direduksi maknanya dari sebuah alat pembangun peradaban jadi hanya sekedar tempat jual beli barang. Politik menjadi sebuah sikap yang rendah bukan lagi pertarungan idealisme, gagasan dan narasi-narasi sejarah sebuah bangsa tapi politik direndahkan maknanya menjadi "Lu ada duit, Gue ada barang" inilah yang kemudian menjadi akar kebangkrutan politik Indonesia yang kemudian merambat menjadi sikap apolitis di segala lini, rakyat tidak mau lagi terlibat dalam soal-soal negara, rakyat hanya menjadi penonton pasif yang kesepian ditengah pembicaraan politik yang kerap tidak diterima oleh akal sehat. Tertangkapnya Akil Mochtar membuat saya berpikir, "Ada apa dengan demokrasi kita?" Dikotak katik seperti apapun "Konstitusi adalah Nyawa kita bernegara" ini yang harus digarisbawahi, bagaimana bisa sebuah 'nyawa' dipermainkan dan dihina dengan duit sogokan dan hancurnya moralitas. Bagi saya kasus Akil Mochtar seperti muara dari kasus yang bermula pada kecurangan Pemilu secara massif di tahun 2009. Tidak mungkin kita mengamati sebuah kerusakan yang tersistematis bila kita tidak memperhatikan dimana kerusakan itu terjadi pada wilayah awalnya. Sebelum kita masuk ke soal Akil Mochtar, mari kita analisa dulu apa yang terjadi pada tahun 2009, kita dialektika-kan keadaan itu dengan kondisi demokrasi kekinian kita yang rusak. Politik transaksional saat ini sudah mengubah bentuk Partai, dari Partai yang dibangun untuk belajar bermasyarakat menjadi Partai Politik yang elektoral, fungsi Partai tereduksi hanya sekedar menjadi mesin pemenangan pemilu. Hal ini karena pengaruh dari global reproduction of American Politic. Reproduction of America politic ini terjadi melalui liberalisasi politik dan ekonomi pasca krisis moneter tahun 1997. Partai Demokrat adalah contoh paling gamblang dari Partai Elektoral.PD dibentuk secara diam-diam sebagai kendaraan politik bagi SBY. Ia tidak dibangun dari idealisme, dan tidak memiliki tradisi perlawanan terhadap rejim otoriter Orde Baru. Ia murni partai Elektoral. Partai yang berorientasi pada suara, pada mesin coblosan, tidak ada yang namanya 'kesejarahan kader dan sekolah kader'. Uniknya ada yang aneh dalam Pemilu 2009 bahwa Partai Demokrat mengalami kenaikan suara sampai 300%. Dengan sistem multipartai seperti di Indonesia, dengan intensitas persaingan yang tinggi, sebenarnya TIDAK MEMUNGKINKAN bagi Parpol seperti partai Demokrat untuk mengalami kenaikan 300% tersebut Ada apa dengan ini? Kemenangan Partai Demokrat 300% adalah buah dari bekerjanya “Politik Menghalalkan Segala Cara”, yang dilaksanakan dengan strategi khusus, yang dirasionalisasikan melalui politik citra dan bandwagon effect. Dalil Tim SBY: kemenangan dapat diperoleh sejauh seluruh persyaratan (rancangan pemenangan pemilu) terpenuhi, termasuk melakukan hal apapun untuk menang. Mereka memang menjalani apa itu 'kelengkapan prosedural' tapi tidak mengindahkan apa yang disebut dengan etika. Ini sama dengan film 'Wall Street 2 (Money Never Sleeps) bahwa memang seluruh transaksi memenuhi prosedur perdagangan di Pasar Modal, tapi apakah itu juga memenuhi etika dalam bertarung secara fair? Inilah juga yang terjadi pada Penipuan Pemilu Massif tahun 2009. Sumber dana dalam kemenangan Politik 2009 mereka diarahkan pada struktur "Manipulasi Psikologis" dimana manipulasi itu mengarah kepada beberapa soal : Bandwagon effect, Politik Pencitraan, Intervensi Survey dan yang terakhir adanya sembilan opsus. Ada beberapa model manipulasi yang digunakan, seperti Manipulasi Kasar ala Afrika dan Manipulasi pengelabuan alam pikir ala Amerika Serikat. Seperti Pemilu tanpa nomor urut dan hitungan kompleks yang akibatnya mudah dimanipulasi ini adalah Pemilu African Style. Lalu ada juga Bandwagon Effect melalui pencitraan hasil survey (Prakondisi) dan pencitraan media secara massif. Selain itu ada juga penggunaan instrumen negara seperti : Penyusupan Agen Partai ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Polisi dan Tentara ini adalah model Afrika. Dan terakhir Manipulasi Pemilih (Operasi DPT) dan Manipulasi IT (Pembenar dari manipulasi pemilih). Bandwagon Effect Dalam kasus Kemenangan Partai Demokrat Di Tahun 2009 BANDWAGON EFFECT, efek ikut ke pihak yang “dipersepsikan kuat”, atau efek ikut-ikutan sebagai naluri perkawanan. Sebutan Bandwagon Effect dimulai dalam tradisi kampanye Amerika Serikat yaitu pada tahun 1848 ketika Dan Rice, sirkus terkenal dan populer, menggunakan kereta musik dalam kampanye politik. [caption id="attachment_271791" align="alignnone" width="600" caption="(Leadwagon Circus, Kampanye Yang Mampu Menarik Massa Ikut-Ikutan, Sumber Photo : American History Campaign)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H