Aku memandang boneka penari balet. Saat tombol di bawah bulatan tempat bertumpunya kaki boneka dipencet. Terlihat suara lagu yang mengiringi boneka penari balet itu menari. Berputar . Aku selalu suka . Boneka itu selalu menemaniku dimanapun aku berada,sampai sekarang. Aku tersenyum, karena boneka ini aku suka dengan balet. Aku dimasukkan ibuku ke tempat kursus menari balet. Aku ingat , waktu itu aku masih berusia lima tahun. Perasaanku hancur saat semua anak dan bahkan orangtua memandangku dengan pandangan aneh dan mulai mencibir. Suara bisik-bisik mulai terdengar.
“Ngapain itu anak mau nari balet, dia hanya punya satu lengan.” Suara itu begitu keras, entah memang sengaja dikeraskan atau tidak , aku tak tahu. Saat itu aku ingin berbalik kembali pulang, tapi tangan ibuku begitu kuat mencengkeram bahuku.
“Ayo, katanya kamu mau jadi balerina seperti bonekamu. Omongan orang lain jangan kau pedulikan.” Aku agak didorong ibu menuju ke tempat guru baletnya. Bu Ira ternyata teman ibu saat masih SMA.
“Oh, ini anakmu? Ah, cantiknya. Kau pasti bisa menari. Ibumu dulu lagi masih muda juag penari balet loh,” tukasnya. Aku menatap wajah ibu . Waktu itu ibu terlihat tersipu, aku tak menyangak dulu ibu juga penari balet.
Akhirnya aku menjadi murid bu Ira. Walau aku hanya punya satu lengan tak menyurutkan langkahku untuk menjadi balerina. Bu Ira tak membedakan aku dengan teman-teman yang lain. Walau aku harus menutup mata dan telinag mendengar cibiran dan tatapan aneh dari teman-temanku dan para orangtuanya. Menurut ibu, aku harus mengabaikannya.
“Mana kamu bisa menari hanya dengan satu lengan saja,”tegur Asma dengan nada mengejek. Semua temannya ikut tertawa. Aku terdiam , tiba-tiba saja air mataku mulai menetes. Untungnya bu Ira cepat datang dan menegur teman-temanku.
“Kamu tahu, walau kau hanya punya satu lengan, kamu lebih baik menarinya . Percayalah,”tukas bu Ira. Aku masih tak percaya, aku rasa bu Ira hanya ingin menghiburku. Lama-kelamaan aku mulai kebal dengan ejekan-ejekan. Semua aku anggap angin lalu. Semangat ibu dan bu Iralah yang memecutku untuk meraih impianku menjadi balerina. Satu terbukti saat ada lomba balet di kotaku, aku meraih juara, walau sebelumnya banyak teman-teman yang lain tidak setuju aku diikutsertakan. Tapi berkat doa ibu, aku bisa meraih juara. Piala itu sebagai semangat terbarukan aku untuk terus berlatih. Ibu melihatku dengan penuh rasa bangga.
Tak menyangka kini aku sudah menjadi balerina ternama di Indonesia. Hampir 20 negara yang sudah aku kunjungi untuk menari. Rasanya aku harus memeluk erat ibuku. Tanpa beliau, aku tak mungkin berdiri di sini sebagai balerina. Walau ibu sudah meninggalkan aku terlebih dahulu, aku tetap tak melupakan betapa ibu adalah pelita yang selalu memberikan semangat untukku. Semangat yang terus baru untukku maju ke depan. Aku bahkan sudah bisa menciptakan tari balet hasil karya sendiri dengan musik gamelan. Identitas keIndonesiaanku aku bawa saat berkeliling negara. Cacat tak menghambat aku untuk bisa menjadi balerina. Saat aku melihat boneka penari balet itu, aku selalu tersenyum. Ah, boneka itu penuh kenangan. Penuh perjuangan aku harus menggapai impian menjadi balerina. Boneka itu tanda aku tak pantang menyerah karena kecacatanku. Boneka itu selalu membuatku menangis . Selalu membuatku tersenyum . Selalu membuatku bisa melihat kembali ke belakang betapa banyak perjuangan untuk bisa menjadi balerina yang terkenal. Boneka penari balet itu masih selalu ada di atas bufet dan di hatiku. Dan ibu yang telah memperjuangkanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H