Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bu, Kikan Pulang

15 Juli 2015   03:08 Diperbarui: 15 Juli 2015   03:20 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Gambar dari sini

“Kamu pulang lebaran kali ini Kikan?” suara ibu terasa kecil dan membuat dering di telinga Kikan semakin keras. Kikan tampak kesal.

“Ibu, spertinya kali ini Kikan juga gak bisa pulang.banyak pekerjaan,”tukas Kikan. Terdengar suara ibu masih memohon agar Kikan pulang dan dengan sengaja ponselnya dia matikan. Kikan masih menatap jendela kamar kosannya. Kikan masih saja tak mau pulang ke rumahnya yang seharusnya membuat dia rindu. Tapi dirinya, sudah hampir lima tahun tak pulang setelah bekerja di Jakarta. Sebetulnya kalau Kikan mau , tentunya jarak Jakarta –Jogja bukan jarak yang sulit untuk dilampauinya, tapi ada sesuatu yang membuat Kikan enggan pulang ke rumahnya. Peristiwa masa lalunya..... Masa lalunya yang membuat hatinya membeku . Tak ada rindu yang mengelayut dari dirinya, hanya benci dan dendam. Sekali-kali dibukanya tirai jendela.... hanya bayang-bayang dendam yang tampak.Dengan kesal ditutup kembali tirainya.

 

Masih ingat malam itu, Kikan turun dari ranjangnya saat terdengar suara ribut dari balik kamar orangtuanya. Kikan mengendap-endap dan berdiri tepat di depan pintu kamar. Terdengar suara bapaknya yang sedang memaki-makai ibunya. Wajah Kikan ketakutan dan menahan tangis yang terdengar hanya seperti lenguhan pendek.

“Dasar perempuan tak tahu diri . Kamu masih bertemu dengan pria bajingan itu?. Sudah untung kamu aku jadikan istriku . Kalau tidak kamu pasti malu . Anak itu bukan anakku tapi aku harus menanggungnya, tapi kamu masih saja bertemu dengan pria itu. Kamu itu gak tahu diri,”teriak bapak.

“Pak, kamu salah. Memang Doni datang padaku untuk kembali, tapi aku sudah beberapa kali menolaknya. Percayalah,” Kikan mendengar suara tangisan ibunya. Tiba-tiba saja pintu terbuka. Ibu terbelalak melihat Kikan ada di depan pintu. Bapak pergi begitu saja . Dan mulai saaat itu,Kikan tak pernah lagi bertemu dengan bapaknya. Entah bapak pergi kemana. Menurut banyak orang bapak menikah lagi. Kikan tak menangis , hanya lenguhan kecil keluar dari mulutnya. Kikan beranjak dari sana dengan lutut yang gemetar. Ibunya berlari dan berusaha merangkulnya. Kikan diam tak bergeming. Hatinya sudah tercabik-cabik. Mulai saat itu Kikan menjadi pribadi yang tertutup. Diam adalah caranya memberontak pada ibunya. Ada rasa sakit yang memenuhi hatinya. Dia anak haram. Ibunya berusaha menggapai dirinya tapi Kikan seperti bayang-bayang yang seperti lari dalam kenyataan. Seperti ilusi ,ada dan tiada. Berapapun usaha ibunya untuk bisa merangkul diri Kikan tapi Kikan tak pernah bergeming..

 

Kikan tak mau pulang. Dirinya masih menyimpan rasa benci pada ibunya. Kikan merasa dirinya hina. Cap anak haram melekat pada dirinya. Semua itu memenuhi pikiran dan sanubarinya seperti urat-urat yang keras mencengkeram. Sampai kini hatinya tertutup semua dengan perasaan benci. Kikan tak mau lagi bertemu dengan ibunya. Dulu saat masih bersama ibunya Kikan selalu menyimpan rasa sakitnya dengan cara diam.

“Kamu gak pulang Kikan?” tanya Pras. Kikan menggelengkan kepalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun