Saat berkunjung ke Lombok, aku mendapat cerita dari pemandu wisata tentang adat kawin lari yang ada di Lombok. Adat yang sudah turun temurun ada di sana. Wah, kalau kita di pulau Jawa kawin lari konotasinya buruk ya. Tapi di Lombok kawin lari ini merupakan adat istiadat di sana yang sampai sekarang masih berlaku. Kawin lari atau dalam bahasa Lomboknya adalah kawin merari.Â
Merari arti dari bahasa lombok artinya lari. Kawin lari ini produk lokal yang sudah ada di Lombok bahkan sebelum datang Belanda dan orang Bali ke Lombok. Ada juga yang berpendapat kalau adat kawin lari ini adalah akulturasi dari budaya pendatang yaitu Bali yaitu Hindu Bali.
Kawin lari ini adalah budaya atau kearifan lokal dari Lombok. Unik ya, tapi melakukan kawin lari gak semudah dibayangkan. Tentu ada prosedur yang harus dipatuhi oleh pihak laki-laki. Dan menurut masarakat Lombok melarikan calon pengantin lebih ksatria daripada meminta pada orang tuanya. Tentunya sebelumnya mereka sudah saling suka.Â
Kalau sudah saling suka barulah pria akan menculik perempuan yang dia sukai. Saat penculikan dilakukan malam hari dan gadis yang mau diculik juga sudah tahu. Setelah diculik perempuan disembunyikan di rumah kerabat laki-lakinya. Tentunya tempat persembunyiannya tak boleh diketahui oleh pihak perempuan. Baru setelah sehari menginap di kerabat pihak laki-laki, barulah pihak perempuan diberitahu. Karena perempuan yang udah dibawa kabur harus segera dinikahkan.Â
Pemberitahuan itu dikenal dengan Nyelabar, juga melakukan adat mesejati dan mbait wali. Prosesi ini dilakukan selama tiga hari. Nyelabar ini dilakukan oleh keluarga laki-laki tanpa orangtuanya. Biasanya dalam bentuk rombongan sebanyak lima orang dan berpakaian adat. Sebelumnya mendatangi tetua adat sebagat tata krama, menghormati tetua adat atau Kliang sekaligus minta izin.Â
Saat rombongan sampai di rumah pihak perempuan juga tak diperkenankan masuk tapi berada di luar rumah. Mereka akan duduk di halaman depan rumah dan salah satunya memberitahukan niat mereka datang. Juga di sana dibicarakan tentang uang jaminan (pisuka) dan uang mahar .Setelah sepakat barulah dilangsungkan pernikahan secara islam dengan proses ijab qobul. Â
Setelah prosesi ijab qobul selesai pasangan pengantin diiring ke rumah orang tua pihak perempuan yang dikenal dengan nyongkolan. Dan akan menempati rumah kecil yang disebut dengan bale kodong. Rumah sementara sampai mereka bisa membangun rumah yang lebih besar lagi. Biasanya bale kodong ini hanya digunakan bagi pasangan untuk berbulan madu. Dan uniknya lagi , kata pemandu wisata di sana, malam pertama yang dilakukan di dalam rumah yang hanya berdinding bilik ini , bisa dan malah boleh untuk diintip oleh orang lain.
Dan lucunya lagi pasangan pengantin tahu bakal diintip oleh orang lain, mereka akan pura-pura terlebih dahulu, saat orang yang mengintip lengah, mereka membanjur dengan rir sehingga mereka lari terbirit-birit. Dan kedua pasangan pengantin bisa melakukan bulan madu mereka. Duh, lucunya... membayangkan akan diintip saja, sudah gak karuan ya, walau juga apa yang mau diintip karena tak ada penerangan lampu di kamarnya.
Tapi sekarang dengan banyak akulturasi budaya dari kaum pendatang, sehingga muncul istilah sudah menikah tapi menikah adat belum. Artinya sudah banyak masyarakat Lombok sendiri yang melakukan ritual pernikahan seperti kebanyakan dengan meminta kepada orang tua dan melakukan resepsi pernikahan.Â
Walau belum melakukan adat kawin lari. Kayaknya seru ya, malam-malam harus mencuri perempuan dan tak boleh ketahuan orang tuanya. Perlu keberanian tersendiri. Itulah yang membuat para pria mempunyai kebanggaan kalau dia bisa membawa lari perempuan yang disukainya tanpa diketahui calon mertuanya. Ada yang ingin kawin lari seperti penduduk di Lombok ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H