Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tertelan Bumi

23 April 2021   02:34 Diperbarui: 23 April 2021   02:55 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini aku merasakan tubuhku mulai rusak. Di sana sini tubuhku mulai terasa sakit. Banyak luka-luka di tubuhku. Entah sampai kapan ini akan terjadi. Satu luka belum sembuh akan ada luka lainnya. 

Betapa ringkihnya hidupku kini. Semakin tua, semakin aku tak bisa mempertahankan hidupku, karena hidupku hanya tergantung belas kasihan manusia. Iya hanya belas kasihan manusia. Hutan-hutan yang ada banyak yang ditebangi. Asap dari kebakaran hutan membuat aku sesak. Dan panas tubuhku semakin hari semakin panas. 

Betapa derita aku tak terperikan. Kadang aku hanya bisa berdoa agar ada banyak orang yang peduli pada hidupku. Tapi kenyataannya hanya sebagian kecil saja yang peduli dan itu artinya belum bisa menutupi banyak luka di tubuhku.

Sampai suatu hari, aku merasakan tubuhku bergetar kuat. Sesuatu yang bergerak dari bawah memuntahkan material dari tubuhku. Aku semakin sesak. Ternyata manusia sedang menggali tubuhku untuk menambang emas. Semakin hari tubuhku mulai terkikis dan lubang-lubang di tubuhku semakin banyak. Inikah akhir dari hidupku? Tak ada seorang pun peduli dengan diriku. Aku harus minta bantuan pada siapa? 

Orang-orang itu sudah kalap dengan kegiatannya. Mereka pikir mereka berhak melukai diriku terus menerus. Air mataku perlahan turun. Sedikit demi sedikit. Merasakan luka dari hari ke hari. Seperti rintihan dan tak terasa air mata semakin deras. Dan aku tak bisa membendungnya lagi. Sinar matahari pun tak mampu membuat tubuhku menghangat . Aku sendiri di sini tak ada teman untuk berbagi.

Banjir dimana-mana. Semua daerah tergenang bahkan ada yang hilang karena banjir badang. Aku tak bisa menghentikan tangisanku. Walau aku bisa mendengar teriakan orang-orang yang ketakutan melihat air naik setinggi rumah. Aku terus menangis, aku tak tahan dengan luka-luka ini. 

Di satu sisi angin puting beliung merusakan banyak rumah. Terdengar tangisan orang-orang di sana. Entah mereka sadar atau tidak bencana ini juga merupakan andil mereka. Tapi mereka hanya bisa menangis, mengeluh, marah. Mereka mengerti tidak sih?

Semua gara-gara manusia, tapi manusia hanya bisa mengeluh dan berteriak. Sudah sampai manakah mereka berusaha? Atau mereka memang berkeinginan bumi hancur?

Sungguh aku tak kuat lagi. Nyeri di lukaku semakin kuat. Dan aku mulai marah dengan orang-orang di sana. Marah pada diriku, kenapa aku mau diperbudak oleh manusia. Marah kenapa selama ini aku diam saja dilukai tanpa aku berani melawan. 

Kini aku tak bisa diam lagi. aku tak bisa diperlakukan tak baik. Mereka cuma berani melukaiku tanpa bisa mencegah dan mengobati. Kini aku harus balas dendam pada orang-orang ini. Niatku sudah bulat, tak ada lagi negosiasi atau apalah itu. Dan aku mulai marah. tubuhku mulai bergetar hebat dan mulai menganga.

Semua yang ada di permukaan semua aku telan habis-habis. Semua hilang tertelan di bumi. Hening. Bumi kini hening. Semua sudah tertelan dalam bumi. Aku merasakan penat. Tapi keheningan membuat aku bisa istirahat sejenak dari keributan ini. tenang, betah sampai kapan ini bisa bertahan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun