Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatang Kara

17 Juli 2020   02:25 Diperbarui: 17 Juli 2020   02:20 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : dok pribadi

Mak Ropiah sudah biasa sendiri. Semenjak suaminya meninggal, sejak anak-anaknya merantau ke Jakarta tanpa berita. Dirinya hanya seoarng diri di rumah gubuknya. Tak ada penghasilan. Dulu sauminya juga hanya buruh tani dengan hasil yang tak seberapa. Katanya anaknya akan merantau ke Jakarta untuk mengubah nasib. 

Apa mau dikata dua anaknya seolah lupa akan dirinya. Lupa kalau di kampung masih ada ibunya. Tapi mak Ropiah sudah ikhlas. Dia menjalani hidup sehari-harinya, hanya untuk bisa hidup. Apapun yang dikerjakan agar perutnya bisa terisi. Mak Ropiah, selalu mencari apa yang bisa dijual atau bisa menjadi pengganti nasi. 

Seberapapun jauh akan dia lakoni. Dengan kaki tua dan sebuah tongkat dia menyusuri kampung demi kampung untuk mencari makan. Bila adayang panen apapun dia membantu dengan harapandapat upah, atau mengambil hasil panen yang kecil-kecil yang terbuang untuk dia jual lagi atau dia makan sendiri. Begitulah kehidupan mak Ropiah.

Ini sebuah cerita yang diceritakan mak Ropiah padaku. Aku bertemu dengannya saat sedang makan di tepi sawah. Saat sudah selesai makan tiba-tiba saja seorang ibu tua menghampiriku dan menawarkan beberapa umbi . Aku melihat sosok tua yang ramah. Senyum tersungging di bibirnya. 

Sebetulnya aku tak membutuhkan umbi itu tapi aku beli juga untuk membantunya. Saat aku berikan uang yang jauh dari harga umbi tersbut, ibu tua itu terperangah sesaat. Saat tersadar dia berdoa dengan menadahkan tangannya untuk diriku. Mak Ropiah namanya. Saat dia melihat sisa makanku yang tinggal sedikit, dia terlihat ingin sekali.

            "Boleh ibu minta makanannya."

            "Tapi ini tingal sedikit dan lauknya tinggal tempe dan lalapan,"tukasku sambil menatap wajahnya.

            "Sedari pagi hanya makan satu lontong saja." Dan aku melihat tubuhnya germetar. Aku maengambil sisa nasi , lalapan dan serundeng bekas ayam goreng untuk makan ibunya. Dan sebotol minuman Thai Tea. Tapi ternyata dia hanya makan sedikit. Malah menutup tempat makannya.

"Mau dibawa pulang saja , buat nanti sore." Rasanya hati ini tak kuat menahan rasa pilu. Saat kita bisa makan berlimpah , masih ada yang makan saja susah. Mak Ropiah mulai memberesakn bawaannya dan aku juga pamit pulang. Saat mobilku beranjak aku melihat wajah ibu tua yang penuh dengan kedamaian. Walau sulit hidupnya, pancaran sinar ada dalam wajah tuanya. Damai melihat wajah tuanya.

Senyum mak Ropiah masih terbayang dalam benakku. Beban hidupnya tak membuat dirinya kehilangan senyum dan wajah damainya. Mak Ropiah salah satu manusia yang ikhlas menjalani hidup ini. Terlihat dari wajah damainya. Wajah mak Ropiah tak pernah hilang dalam benakku. Aku merasa bersyukur hidupku lebih baik darinya. 

Dan aku berjanji akan selalu berjalan-jalan lagi kemana untuk santai atau makan siang dan menemukan banyak orang yang perlu uluran tangan dariku. Semoga mak Ropiah ini menjadi motivasi tersendiri bagiku untuk berbagi dengan banyak orang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun