Nasir termenung panjang. Ini sudah tahun kesekian dia tak pulang kampung. Setiap tahun ibunya selalu menit pesan lewat kang Adul untuk menyuruhku pulang. Sungguh berat Nasir buat pulang kampung. Banyak orang desa menganggap dirinya sudah makmur di Jakarta. Tapi kenyataannya dia masih susah. Untuk kehidupan keluarganya dia harus banting tulang siang malam. Itupun sudah dibantu istrinya ynag ikut serta menopang ekonomi keluarganya.Â
Memang Nasir selalu mengirmkan uang untuk ibunya. Dia gak mau ibunya tahu kalau dia susah di Jakarta. Ternyata Jakarta meamng susah utnuk ditaklukan oleh orang seperti dirinya yang gak punya keahlian.
"Bang, melamun? Ibu?"tanya Saidah istrinya.
 "Iya, ibu menyuruhku pulang kampung. Tapi uang dari mana?"gumamnya. Saidah menatap nanar suaminya. Dia menyodorkan uang pada Nasir.
 "Ini pakai uang tabunganku untuk pulang kampung. Biarlah abang saja yang pulang. Kasihan ibu,"tukas Saidah. Perih rasa hati Nasir. Untuk pulang kampung saja dia tak punya uang. Rasanya dia ingin mati saja .
 Sudah diputuskan kalau Nasir yang akan pulang kampung. Ternyata untk pulang kampung bukan hanya sekedar tiket pulang pegri tapi bawaan oleh-oleh juga perlu untuk saudara di kampung. Uang yang seharsunya untuk baju lebaran anak-anak akhirnya terpakai untuk membeli oleh-oleh.
"Gak apa bang, mudah-mudahan anak-anak mengerti,"tukas Saidah. Â Rasanya nafasnya mulai tercekat di lehernya. Sesak nafas Nasir membayangkan anak-anaknya harus memakai pakaian lama mereka.
Akhirnya Nasir sampai di kampung halamnanya di Wonogiri. Air matnya keluar perlahan. Masa kecilnya dihabiskan di desa ini. Keluar desa untuk bisa mengubah nasib keluarganya tapi tak ada hasilnya. Sungguh perih hatinya merasakan ini. Nasir berjalan perlahan. Rindu pada ibunya tapi rasa ragu untuk menemuinya. Dirnya belum bisa membahagiakan ibunya, janji yang dia gaungkan dulu saat mau pergi semua tak bisa ia wujudkan buat ibunya. Ah, andai saja impian itu terwujud mungkin ibunya sudah bisa berhaji.
 "Nasir?" tanay seseorang yang tba-tiba saja sudah ada di hadapannya.
"Dulah." Nasir dan Dulang saling berangkulan. Dulah sahabat kecilnya.
 "Mau pulang ke rumah atau langsung ke makam?" tanya Dulah.  Nasir mengernyitkan dahinya.