Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Masih Adakah Cinta (9)

15 Desember 2017   03:03 Diperbarui: 15 Desember 2017   03:41 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : https://www.vemale.com

Cerita sebelumnya

Sore itu aku tak melihat Galih menyiram. Padahal baru saja aku melihat Galih masuk ke rumah. Aku menuju dapur. Bi Sum sedang duduk beristirahat.

            "Bi, Galih gak nyiram? Tadi aku  lihat Galih datang?" tanyaku beruntun. Bi Sum diam saja. Aku  melihat pak Sapri malah menggotong selang ke depan.

            "Mau apa pak?" Pak Sapripun hanya diam saja dan aku tahu pak Sapri pasti akan menyiram tanaman di depan. Aku menoleh pada bi Sum . Aku membutuhkan jawaban darinya. Aku menatap bi Sum lama.

            "Galih sudah gak boleh nyiram lagi neng?"

            "Kenapa? Galih gak ada salah apa-apa. Apaan si mama tuh,"tukasku kesal. Bi Sum menceritakan kalau mama mendapat laporan kalau Galih memukul Tara.

            "Astaga bi, Tara yang mau memukul bukan Galih. Ini gak bisa dibiarin." Aku mencari mama tapi nyatanya mama tak ada di rumah.

Empat

            Pagi ini aku bisa berlega diri karena aku tak melihat mama. Kemarin aku memarahi mama karena terlau percaya dengan Tara. Nyatanya mama tak bergeming dan membiarkan Galih tetap tak boleh bekerja lagi di rumah. Ini namanya ketidakadilan yang terpampang jelas di mataku. Aku gak suka. Aku protes dan menatap papa dengan harapan papa mau membantuku agar mama berubah pikiran dan mau mengakui kesalahannya..Papa hanya melirik sekilas dan masuk kembali ke kamar kerjanya.

            "Pa, tolong dong masa papa diam saja, mama itu keterlaluan, Galih gak salah apa-apa, Tara tuh yang nyebelin ,"teriakku dan mencoba menarik perhatian papa.

            "Mama yang mengatur semua yang ada di rumah ini." Hanya itu yang keluar dari mulut papa. Aku benar-benar jengkel. Aku menatap mama. Tapi mama juga tak bergeming sedikitpun, mama tetap dengan tatapan penuh kemenangan. Apa sih maunya mama. Apa mama merasa menang kalau ada orang lain yang mengalah padanya termasuk anaknya sendiri????

            "Karin, kamu memang pantas bergaul dengan Tara dibanding Galih, kamu tahu kan?" aku lelah dengan senmua ocehan mama yang masih membedakan siapa yang berhak berteman denganku. Bosan aku mendengarnya. Teman itu adalah yang membuat kita nyaman bersamanya. Tara bahkan bukan teman yang baik, malah aku disuruh untuk menjadi pacarnya. Berteman saja dia tak bisa menghargaiku apalagi disuruh jadi pacarnya. Astaga!!! Mama sudah keterlaluan. Aku hanya bisa pasrah. Sebagai anak, sebetulnya aku harus bagaimana ???? aku bingung....

            Aku menikmati sarapan pagi ini. Aku melihat papa . Kalau diperhatikan papa itu termasuk pria setengah baya yang masih menampakan ketampaannnya. Walau di sana sini uban sudah ada di antara rambut hitamnya. Aku hanyadiam saja menatap papa. Papa bagiku ada tapi tiada. Fisiknya  selalu ada tapi jiwanya tak pernah sepenuhnya menjadi papaku. Aku merasa aku tak pernah merasakan kehadiran papa di hidupku.

            "Karin, bilang bi Sum  Galih boleh kerja lagi ." Papa mengatakan itu hanya datar saja tanpa melihat Karin. Karin membelalakan matanya penuh-penuh. Tak percaya papanya akhirnya memutuskan kalau Galih boleh bekerja lagi. Baru pertama kali ini papa menentang keputusan mama. Aku tersenyum pada papa . Cepat aku panggil bi Sum dan bilang padanya kalau Galih boleh kemari lagi . Bi Sum menatap bingung

            "Kata nyonya, Galih gak boleh kerja lagi , bahkan gak boleh datang kemari." Aku membelalakan kaget mendengar omongan bi Sum.

            "Sudah, bi Sum dengar sendiri kan papa tadi bilang apa, Galih sudah boleh kerja lagi." Aku menepuk bahu bi Sum, tersenyum padanya. Papa hanya mengangguk kecil pada bi Sum.

            "Terimakasih tuan." Bi Sum berlalu dari meja makan. Aku beranjak untuk segera berangkat. Aku melihat pak Sapri sudah siap di depan.

            "Aku pergi dulu pa,"tukasku. Pagi ini aku agak lega karena Tara tidak menjemputku.

            Aku heran hari ini Tara tidak bertingkah aneh padaku. Sedikit lega aku bisa leluasa  . Dan aku senang saat istirahat Gito mengajakku makan di kantin berdua. Rara membiarkanku bersama Gito. Aku menatap pandangan mata Tara yang menghujamku, tapi aku gak peduli.  Sasha masih tampak  menjadi dayang Tara. Tapi ternyata kelegaanku hanya sementara. Pulang sekolah Sasha menghampiriku. Sasha menghadangku. Rara menarik lenganku untuk segera pergi dari hadapan Sasha , Rara tahu kalau berhadapan dengan Sasha pasti ujungnya ribut.

            "Eit, tunggu. Aku gak maksud ganggu kamu Karin." Sasha diam sebentar. Aku menatapnya heran. Apa pendengaranku benar  kalau dia tak akan ganggu aku??, tapi aku gak boleh lengah . Karena setahu aku gak mungkin Sasha berbaik-baik padaku.

            "Aku mau ngajak Karin dulu, ada yang penting. Kamu, Rara, gak usah ikut," tukasnya

            "Enak saja, kenapa aku gak boleh ikut. Kalau ada apa-apa dengan Karin?" Rara menatap Sasha agak kesal.

            "Pokoknya kamu gak boleh ikut. Ini urusan Karin dengan aku." Tiba-tiba saja Sasha menarik lenganku dan berlalu dari hadapan Rara Aku gak sempat melawan. Rara berusaha mengejar tapi Sasha begitu cepat menarik lenganku. Ada rasa sakit di lenganku, cengkeraman Sasaha begitu kuat. Aku juga terpaksa mengikuti langkah kaki Sasha yang aku gak bisa mengimbangi larinya Sasha. Tak berapa lama aku seperti ditutup matanya dan aku mencium bau yang menyengat dan aku mulai tak sadarkan diri.

            Kepalaku masih terasa pening. Aku membuka mataku, terasa asing ruang tempat aku berada kini. Aku mengernyitkan dahiku. Ah, tadi aku diajak oleh Sasha dan ada yang menutup mataku. Dan setelah itu aku  tak ingat apa-apa lagi.Ruang ini tanpa jendela. Hanyaada satu pintu .Aku mengamati ruang ini, tampaknya ini gudang. Banyak barang-barang yang ditaruh begitu saja. Tampak berantakan. Entah sudah berapa lama aku ada di tempat ini. Perutku terasa lapar. Aku melirik jam tanganku. Hampir pukul tiga sore. Astaga, gimana ini??? Mama pasti mencari aku????  Aku berjalan hilir mudik dan aku mendengar suara kunci dan pintu terbuka. Seorang pria tua membawa nampan berisi makann. Tapi setelah masuk dia mengunci kembali pintunya dan kuncinya dia masukan ke dalam kantung bajunya.

            "Ini neng makanannya. Makanlah, pasti kau sudah lapar," tukasnya. Aku mengajukan banyak pertanyaan padanya tapi tak satupun dia jawab. Aku mulai kesal padanya.

            "Mengapa sih bapak gak mau menjawab pertanyaanku."teriakku kesal. Pria itu tetap mengacuhkan aku dan bergegas ke luar ruangan dan menguncinya kembali. Aku menggedor-gedor pintu berulang kali tapi takada satupun yang membukakan pintu. Aku menyentakan kakiku kesal. Aku melihat nampan yang berisi makanan. Karena perutku lapar perutku belum diisi apapun, akhirnya ransum seadanya aku habiskan juga. Aku meneguk air putih  . Sedikit lega perutku sudah terisi. Aku mulai menggedor-gedor pintu dan berteriak untuk mengeluarkan aku dari gudang ini. Tak ada jawaban sama sekali. Aku bersender di depan pintu. Ini satu-satunya jalan ya harus melewati pintu. Tak ada jendela atau jalan menuju luar lainnya.

            "Buka pintunya, aku mau keluar!"teriakku. Sekeras apapun tak membuat pintu terbuka, aku mulai kelelahan. Aku terduduk lesu. Aku menelungkupkan kepalaku di kedua lututku. Tiba-tiba saja air mataku mulai turun. Aku takut. Apalagi hari sudah mulai gelap. Tadi pria itu menyalakan lampu dan itu hanya ada satu lampu yang nyalanya kecil. Bayang-bayang gelap ada di ruang itu. Aku menangis. Sendiri , ketakutan.  Aku masih terisak saat pintu terbuka. Aku menatap pria yang datang menghampiriku.

            "Tara, "teriakku. Tara tersenyum lebar.

            "Apa maksudmu aku dibawa kemari. Kamu mau ngapain aku?"tanyaku beruntun. Aku jadi ingat saat lenganku ditarik Sasha, aku ditarik ke dekat Tara dan Tara menutup hidungku dan aku tak ingat apa-apa lagi. Aku tahu,ini perbuatan Tara. Tara tergelak. Dadaku turun naik menahan amarahku, ingin rasanya aku menjambak rambutnya.

            "Kamu sudah menolakku Karin. Aku adalah orang yang pantang ditolak. Dengar itu. kamu milikku,"tukasnya tepat di depan wajahku. Aku mendorong keras tubuh Tara.

            "Dasar iblis, kamu gak akan mungkin mendapatkanku, pasti mama akan mencariku. Polisi akan mencariku."tukasku. Tara tertawa terbahak-bahak. Dan aku mlihat matanya menyorot tajam. Aku ngeri melihatnya. Tatapan matanya seperti akan menelanku hidup-hidup. Aku melangkah mundur, sedikit takut. Tara menyeringai dan mulai mendekatiku. Dia mencekal bahuku dan mendekatkan  wajahnya ke wajahku. Aku mulai meronta tapi cekalan tangan Tara begitu kuat di bahuku. Pekerjaan sia-sia kalau aku tetap meronta-ronta, Tara akan lebih kuat memegang bahuku. Aku lirik di dekatku ada kayu . Aku geser secepat mungkin tubuhku dan menggapai kayu. Gerakan cepat aku membuat Tara kaget dan aku memukulkan kayu pada tubuhnya. Jeritan Tara terdengar, aku hendak lari tapi aku kalah cepat dengan Tara. Tara berhasil menangkapku .

            "Jangan coba-coba lari dariku,"tukasnya tajam. Tara memanggil seseorang yang dia panggil pak Bakri dan pria yang tadi memberiku makan masuk. Tara menyuruh pria itu mengikatku di kursi yang ada di pojok ruangan. Kedua tanganku diikat ke belakang kursi. Aku merasakan rasa nyeri di pergelangan tangan. Keringat menetes dari dahiku. Menyebalkan. 

Tara terlihat menyeringai kesakitan,dia memegang tubuh yang sakit. Aku bersyukur bisa memberinya sedikit pelajaran kalau aku tak bisa diperlakukan semena-mena seperti ini. Tara mendekatiku dan menyuruh pria itu keluar. 

Dekat sekali wajahnya dan aku gak suka bau nafasnya. Tara mulai mengelus wajahku dan berusaha untuk menciumku tapi aku cepat memalingkan wajahku. Tara mulai marah tapi aku mulai berteriak histeris. Keadaan mulai tak terkendali. Akhirnya Tara keluar tapi sebelum keluar dia menatapku . Matanya menyiratkan keinginan kuat untuk menguasaiku. Aku bergidik.

            "Karin , kau milikku dan kau tak mungkin kabur dariku." Tara berbalik . Aku menarik-narik tubuhku ke depan agar aku bisa terlepas dari ikatan, tapi tali itu begitu kuat. Aku mencoba untuk tak menangis lagi tapi air mataku tak mudah untuk dibendung.Akhirnya jatuh juga satu persatu, dan semakin deras. Aku takut sekali.

            "Mama,"aku melenguh memanggil namanya, lemah sekali dan aku mulai tak sadarkan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun