; Hassanah
Nay berdiri di tepi pantai dengan menenteng keranjang yang penuh ikan. Pandangannya kosong dan tertuju pada cakrawala yang membentang luas. Tidak peduli dengan kulitnya yang mulai gosong akibat sengatan sinar matahari, pandangannya masih tetap sama.
Dari kejauhan, seorang bocah laki-laki berlari ke arah Nay. Ia adalah Ken, bocah berusia sembilan tahun yang sangat mirip dengan Nay. Ia tiba di samping Nay dengan napas terengah-engah sambil membungkuk, tangannya bertumpu pada lutut. Ia ingin segera menyampaikan pesan dari ibunya, tapi setelah berlari kencang, napasnya menjadi sulit diatur. Sementara itu, Nay seperti tidak menyadari kedatangan Ken atau lebih tepatnya terlihat seperti tidak memedulikan kehadiran bocah itu.
Dalam pikiran Nay, ada banyak sekali hal-hal yang terus berkeliaran dan mendesaknya. Hal-hal yang ia benci, hal-hal yang membuatnya marah, dan hal-hal yang tidak ingin ia pikirkan sama sekali. Masih dengan posisi yang sama, ia mengeratkan genggaman keranjangnya.
Matahari sudah semakin terasa terik dan Ken sudah menyampaikan pesan sang ibu agar Nay segera mengantar ikan ke rumah Pak Leman. Namun, gadis empat belas tahun itu tidak bergerak barang seinci. Semakin Ken berisik karena takut dimarahi sang ibu, semakin kuat genggaman tangan Nay pada keranjang. Matanya mulai bergetar seiring degup jantungnya yang semakin kencang saat Ken mengatakan, "Kata Ibu, Pak Leman nak ikan itu cepat. Dia nak Akak datang cepat-cepat."
Nay ingin sekali berteriak dan menolak permintaan ibunya tersebut. Tetapi, sekuat apa pun teriakan yang ada di dalam hati dan pikirannya, bibir keringnya hanya mampu bergetar. Dan pangkal lidahnya terasa pahit sekali.
"Akak, cepatlah! Kalau lambat, nanti Ibu marah." Ken berdiri di depan Nay sambil memegang tangan kakaknya. "Bukan Akak saja yang kena marah, tapi aku juga. Cepatlah pergi, aku tak nak cuci perahu lagi." Ken bersungut-sungut ketika menatap wajah Nay.
Nay tak menoleh. Pandangannya masih lurus menatap gelombang laut yang seakan-akan hendak menjemputnya. Dan perlahan, hal itu mulai memudar dan sekuat tenaga ia menahan kelopak matanya agar tak berkedip. Sayang, sekalipun perih telah ia rasakan, air matanya tumpah juga.
"Akaaak ... cepatlah!"
Nay memejamkan matanya. Kakinya terasa berat bahkan untuk menghindar dari deburan ombak yang kian mendekat. Rengekan Ken mulai terdengar samar-samar. Dan bibir keringnya bergetar menahan tangis.