Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi-JK Harus Menjadi Penengah Kisruh Keraton Yogya.

10 Mei 2015   01:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:12 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1431194746708762914

[caption id="attachment_365185" align="aligncenter" width="226" caption="Sri Sultan HB-X dan Gusti Pembayun_dok.Asrul"][/caption]

Raja Keraton Kasultanan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Bawono X akhirnya mengungkapkan isi Sabda Raja yang diucapkan pada 30 April 2015 danDawuh Raja -- bukan Sabda Raja yang diucapkannya pada Selasa 5 Mei 2015. Penjelasan itu disampaikan Raja Yogya itu kepada sejumlah masyarakat dan wartawan di kediaman putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun di Ndalem Wironegaran, Yogyakarta, Jumat 8 Mei 2015. Penjelasan itu disampaikan Sultan lantaran Sabda Raja dan Dhawuh Raja yang beredar di masyarakat dianggap simpang siur. "Kuwi bener tapi ora pener (benar tapi tidak tepat)," kata Sultan.(baca:Sabda Raja Jadi Selisih, Sultan Pilih Hindari Wartawan)
Menurut Sultan, isi dari Sabda Raja adalah penggantian nama gelar Sultan. Adapun isi Dhawuh Raja adalah mengganti nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. “Keduanya itu adalah perintah Gusti Allah melalui ayah dan leluhur saya. Itu ada satu hari sebelumnya (Sabdaraja dan Dawuh Raja),” kata Sultan.

Namun Sultan menolak untuk menjelaskan seperti apa proses kemunculan perintah yang dianggap dari Tuhan itu. “Itu sangat pribadi. Ini semua hanya bisa dirasa, bukan dipikir. Kalau dipikir itu penuh kepentingan dan nafsu,” kata Sultan.

Berkaitan dengan penggantian nama Pembayun, Sultan mengakui kalau itu dilakukan di Sitihinggil. Namun ia membantah, jika itu artinya mengangkat putri sulungnya jadi putri mahkota. “Ya, pokoknya saya menetapkan Pembayun dengan gelar itu. Lakunya nanti bagaimana, ya aku enggak tahu (apakah jadi putri mahkota atau jadi raja),” kata Sultan.(baca:Kecewa Sabdaraja, Abdi Dalem Kembalikan Gelar Keraton).

Demikian penggalan berita diatas yang banyak beredar dan termasuk penjelasan Sri Sultan HBX sendiri melalui media elektronik (beberapa TV Nasional).

Kontroversial dan Resistensi Internal dan Eksternal

"Buwono meniko jagat alit, jagat cilik, jagat kecil. Bawono jagat ageng, jagat besar. Dados menawi buwono meniko daerah nggih bawono meniko nasional. Menawi buwono nasional nggih bawono internasional," kata Sultan. Dalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut berarti buwono adalah cakupan yang lebih kecil sedangkan bawono lebih besar. Kalau buwono dimaknai daerah maka bawono maknanya nasional, jika buwono nasional maka bawono adalah internasional..... Inikah hasil “mimpi” yang dikatakan Sri Sultan HBX.

Memang benar Sri Sultan HBX tidak atau belum mengangat “sekarang” tapi sudah “mengarahkan atau mempersiapkan puterinya sebagai calon pewaris raja alias akan menjadi ratu” itu yang terbaca dan menjadi tujuan "Sabda Raja". Kalau Cuma sekedar mengganti nama atau gelaran, ya mestinya bukan “Sri Sultan Hamengku Bawono X” tapi “Sri Sultan Hamengku Bawono I”, sekalian hilangkan saja tradisi nama yang turun-temurun itu, sejak Sri Sultan HB I s/d X.

Kalau Sultan mengatakan atau meminta semua kalangan, mungkin termasuk kepada saudaranya untuk “pakai rasa” sepertinya paradox apa yang dilakukan oleh Sultan? Mana “rasa” Sultan menghadapi saudara (adik) kandungnya, yang mestinya secara “tradisional keraton, saudara kandung (laki-laki) Sultan lah sebagai pewaris tahta Raja Jogya, karena Sultan (HBX) tidak punya anak laki-laki.

Semua ini nampak akan menghasilkan pro-kontra atau resistensi baik internal maupun eksternal Keraton Jogya. Mestinya pemerintah pusat tidak layak berdiam diri, sebagaimana yang dikatakan oleh Wapres Jusuf Kalla, bahwa itu urusan internal mereka (baca: Raja Yogya), pernyataan Pak JK ini sepertinya keliru, mestinya pemerintah (Jokowi-JK) turun tangan dalam masalah ini, karena ada hubungannya dengan “siapa raja dan siapa gubernur”.

Mungkin kalau hanya pergantian nama atau gelar saja, itu tidak berimplikasi terhadap pergantian raja yang otomatis akan menjadi gubernur sesuai Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY, itu wajar kalau pemerintah pusat termasuk orang-orang diluar keraton, sebut seperti misalnya saya ini, tidak perlu turut campur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun