Karena pemerintahnya yang memang siap segalanya untuk menjalankan aturan yang dibuatnya. Termasuk kesiapan suprastruktur dan infrastruktur pengelolaan sampah lebih tersedia, sesuai kebutuhannya.
Juga mereka mengelola sebagian besar sampahnya di kawasan timbulannya. Mereka sudah sadar bahwa sampah itu bukan masalah, tapi sebuah sumber daya, peluang ekonomi bila diberdayakan.
Juga umumnya di pihak ketigakan kepada pengusaha (kontrak kerja) dengan pola goverment to bisnis (G to B), pemerintah hanya menerima kontribusi untuk pendapatan negara atas pengelolaan sampah oleh pihak swasta dengan melibatkan masyarakat.
Hampir semua negara memakai sistem seperti itu. Pengelolaan sampah di luar negeri dengan pendekatan circular economy (daur ulang di kawasan timbulan) pola Sentralisasi-Desentralisasi.
Mereka di luar negeri punya TPA Sanitary Landfill, tapi hanya sampah yang tidak bisa dikelola di kawasan, itu yang ke TPA.
Sebenarnya regulasi sampah Indonesia menghendaki atau mengamanatkan circular economy ini seperti di luar negeri.
Lalu kenapa Indonesia tidak bisa jalankan pola circular ekonomi?
Karena, bila pola circular economy ini dijalankan, oknum birokrasi menganggap sudah tidak ada lagi biaya pengelolaan sampah yang bisa dinikmati (koruptif) dari pengelolaan sampah ini oleh mereka, itu masalahnya.
Artinya oknum pemerintah pusat dan pemerintah daerah lebih senang monopoli urusan sampah karena ada biaya angkutan sampah ke TPA (ada biaya angkut dan ada biaya di TPA), operasional perawatan kendaraan, dan biaya-biaya lainnya yang mereka bisa mainkan.
Pemerintah Harus Merubah Paradigma Kelola Sampah