"Politik adalah cara merampok dunia. Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan, untuk menikmati giliran berkuasa." - W.S. Rendra.
Hasil survey elektabilitas dari sejumlah lembaga-lembaga survey, tidak ada gunanya di masa Pilpres 2024 yang berbasis pada kekuatan elitabilitas. Survey itu hanya akan dijadikan sampah saja.
Karena yang punya kuasa adalah pemilik partai politik (Parpol) dan/atau sponsor (oligarki), itulah elitabilitas.Â
Jadi kandidat yang tidak menguasai Parpol, santai saja. Karena Anda akan stres dan bisa korban dari kuasa elitabilitas.
Ada dua Parpol yang menjadi patron besar menghadapi Pilpres 2024, PDI-P dan Gerindra. Untuk buktikan benar kekuatan elitabilatas yang dominan. Mereka tidak terpengaruh dengan elektabilitas, kecuali Anda siap menjadi Cawapres.
Pada dua Parpol itu, percuma ajukan Capres, PDI-P ada Puan dan Gerindra ada Prabowo, masing-masing sebagai Capresnya. Paham???
Prediksi PDI-P dan Gerindra koalisi, bila Presiden Jokowi ngotot ajukan Ganjar melalui pintu Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), di KIB ada Golkar, PAN dan PPP. Tiga Parpol ini takluk pada Presiden Jokowi.
Baca juga:Â Pesan Politik Prabowo ke Mega dan Jokowi dari Sentul Bogor
Elitabilitas Punya Mau
Karena elitabilitas berkuasa, maka data perolehan survey elektabilitas kandidat Capres, akan dijadikan sampah saja oleh para elit Parpol, jadi percuma ada penjaringan. Penjaringan itu sama saja kerja omong kosong di era elitabilitas.
Suara rakyat apalagi?Â
No. Rakyat hanya jadi sapi perah saja yang dipinjam namanya. Rakyat tetap pada posisi pesakitan, oleh demokrasi yang masih labil. Urusan rakyat nanti setelah selesai kandidasi.
Elektabilitas, tidak berlaku lagi bagi partai politik (parpol) untuk mendasari kandidasi Pilpres 2024.Â
Kenapa ???
Karena kekuatan elitabilitas atau tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang di lingkungan elite atau atau parpol dan besarnya dukungan seseorang di kalangan elite, lebih dominan.
Karena berdasar pada elitabilitas Capres, maka otomatis harus mencari Cawapres yang pas di masyarakat. Itu konteks menuju Pilpres 2024.
Kalau menyerahkan sepenuhnya pada elitabilitas, juga berbahaya, maka strateginya, adalah koalisi yang akan mengusung pasangan Capres, pasti mencari Cawapres yang bisa seimbangkan Capres di masyarakat pemilih.
Berdasar kondisi ini, penulis prediksi paling banyak tiga pasangan maju di Pilpres 2024. Kalau PDI-P koalisi dengan Gerindra, mungkin hanya ada dua pasangan saja menunju Pilpres 2024. Lebih bagus dan efisien, 1x putaran saja.
Baca juga:Â Elektabilitas Vs Elitabilitas Menuju Pilpres 2024
Menyambung artikel sebelumnya di "Genderang "Perang" Jokowi Vs Megawati Ditabuh Melalui Musra Relawan Projo"
Minggu 28 Agustus 2022, Presiden Jokowi kick off Musyawarah Rakyat (Musra) di Bandung, sedianya akan dimulai di Solo pada 27 Agustus 2022.
Musra menghadirkan Presiden Jokowi, yang akan digelar secara simultan mulai dari Bandung pada 28 Agustus 2022 dan akan dilanjutkan ke 33 kota lagi di 34 provinsi sampai awal Maret 2023, pekerjaan sia-sia karena maksudnya sudah terbaca akan mengawal Ganjar.
Musra Indonesia rencananya akan digelar untuk menjaring Capres dan Cawapres 2024-2029. Musra tersebut itu sah sah saja, tapi bukan seharusnya menjaring capres-cawapres. Terlalu melebar dan bias, karena relawan itu bukan partai politik (parpol).
Jadi Musra Indonesia itu terkesan terjadi kepanikan dari relawan-relawan Jokowi mendekati ahir pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Sindrom akan kehilangan posisi jabatan.
Baca juga:Â Inilah Dilematis Jokowi Vs Megawati Menuju Pilpres 2024
Ganjar Keliru Strategi
Sangat jelas terbaca bahwa Ketua Umum PDI-P Megawati berbeda keinginan dengan Presiden Jokowi untuk endorse Ganjar Pranowo sebagai suksesor.
Megawati inginkan Puan Maharani, disinilah kelihatan pengaruh elitabilitas. Dimana think tank Ganjar tidak baca dan analisa hal elitabilitas yang ada di PDI-P.
Ahirnya karena pengaruh kekuatan Presiden Jokowi, maka sejak tahun lalu, Ganjar menggenjot sosialisasi, agar elektabilitasnya meningkat. Tapi semua percuma, Megawati atau PDI-P tidak reken elektabilitas Ganjar.
Prabowo saja kelihatan atau ada kecenderungan diabaikan oleh PDI-P, tapi bagi Prabowo bisa tenang karena punya elibilitas sendiri di Gerindra. Prabowo dalam keadaan darurat, tinggal komunikasi mendalam dengan PKB saja.
Ganjar lain soal dan bisa korban karena tidak punya partai, hanya membonceng atau dibonceng oleh Presiden Jokowi dan relawannya yang tidak punya Parpol.
Baca:Â Inilah KIB Perahu "Cadangan" Suksesor Presiden Jokowi di Pilpres 2024
Beberapa artikel saya sebelumnya sudah ingatkan para kandidat dan parpol, agar sudahi pencitraan yang berlebihan dimasa kuasanya elitabilitas. Dekati saja tokoh yang berpengaruh, pemilik Parpol.
Seperti Prabowo, walau misalnya elektabilitasnya rendah. Yaaa masa bodoh, mereka punya partai, begitu juga PDI-P.
Itulah maksud sebagian kalangan menggugat kebijakan presidential threshold 20 persen, agar bebas majukan Capres dan Cawapres (khusus untuk masalah ini, akan saya bahas tersendiri, tunggu).
Jadi politik kita di Indonesia, belum mengenal dan menerima elektabilitas pada tahap kandidasi secara murni. Karena berpikirnya, rakyat mudah didekati. Ada sarung, kopiah, batik, kaos dan sedikit ada fulus, yaaaa selesai.
Semua jenjang pemilihan langsung atau pemilihan kepala daerah (pilkada), mulai bupati, walikota, Gubernur sampai kepada Pilpres. Begitulah kondisi di Indonesia.
Ada fulus, pintar dan menurut apa kata paduka (investor), elektabilitas nomor sekian. Tidak susah di stel nantinya di masyarakat.
Baca juga:Â Mengulik Kontradiktif Keinginan PDI-P dan NasDem di Pilpres 2024
Meruntuhkan Wibawa Jokowi
Relawan Jokowi, kalau mau berpolitik cerdas, substansi acaranya bukan "Penjaring capres-cawapres", Â tapi tema besarnya diganti menjadi "Temu Akbar Relawan Jokowi"Â untuk melakukan evaluasi Program Nawacita Jokowi.
Itu kemasan besarnya, entah mau bahas apa saja dalam pertemuan tersebut, ya silakan. Nah itu baru strategi gerilya, untuk memancing harimau turun gunung.
Karena adanya Musra dengan tema penjaringan capres-cawapres sebenarnya meruntuhkan wibawa Jokowi. Apakah Presiden Jokowi sadar???
Baca juga:Â Mengulik Kontradiktif Keinginan PDI-P dan NasDem di Pilpres 2024
Bisa di klaim bahwa Presiden Jokowi ngebet mendorong suksesornya pasca 2024. Menurunkan derajat kenegarawan Presiden Jokowi.
Mungkin saat ini bisa saja para gabungan relawan Jokowi memeriahkan acara Musyawarah Rakyat (Musra) karena Jokowi masih sebagai presiden. Tapi belum tentu bisa mengikat rakyat sampai hari "H" Pilpres 2024.
Jadi sebaiknya dalam temu akbar relawan Jokowi yang dikemas dengan Musra Indonesia, sebaiknya bukan menjaring Capres dan Cawapres. Tapi melakukan evaluasi Program Nawacita, itu sampul strategi show forcenya.
Bagaimana pendapat Anda?
Jakarta, 29 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H