Beberapa artikel saya sebelumnya sudah ingatkan para kandidat dan parpol, agar sudahi pencitraan yang berlebihan dimasa kuasanya elitabilitas. Dekati saja tokoh yang berpengaruh, pemilik Parpol.
Seperti Prabowo, walau misalnya elektabilitasnya rendah. Yaaa masa bodoh, mereka punya partai, begitu juga PDI-P.
Itulah maksud sebagian kalangan menggugat kebijakan presidential threshold 20 persen, agar bebas majukan Capres dan Cawapres (khusus untuk masalah ini, akan saya bahas tersendiri, tunggu).
Jadi politik kita di Indonesia, belum mengenal dan menerima elektabilitas pada tahap kandidasi secara murni. Karena berpikirnya, rakyat mudah didekati. Ada sarung, kopiah, batik, kaos dan sedikit ada fulus, yaaaa selesai.
Semua jenjang pemilihan langsung atau pemilihan kepala daerah (pilkada), mulai bupati, walikota, Gubernur sampai kepada Pilpres. Begitulah kondisi di Indonesia.
Ada fulus, pintar dan menurut apa kata paduka (investor), elektabilitas nomor sekian. Tidak susah di stel nantinya di masyarakat.
Baca juga:Â Mengulik Kontradiktif Keinginan PDI-P dan NasDem di Pilpres 2024
Meruntuhkan Wibawa Jokowi
Relawan Jokowi, kalau mau berpolitik cerdas, substansi acaranya bukan "Penjaring capres-cawapres", Â tapi tema besarnya diganti menjadi "Temu Akbar Relawan Jokowi"Â untuk melakukan evaluasi Program Nawacita Jokowi.
Itu kemasan besarnya, entah mau bahas apa saja dalam pertemuan tersebut, ya silakan. Nah itu baru strategi gerilya, untuk memancing harimau turun gunung.
Karena adanya Musra dengan tema penjaringan capres-cawapres sebenarnya meruntuhkan wibawa Jokowi. Apakah Presiden Jokowi sadar???