"Sangat perlu meluruskan polemik PLTSa-PSEL karena berpotensi merugikan semua pihak bila masalah ini dibiarkan. PLTSa-PSEL tidak akan menyelesaikan masalah sampah dan hanya akan menciptakan TPA gaya baru alias pasti akan mangkrak dan berpotensi menjadi bancakan korupsi" Asrul Hoesein, Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo).
Memang terjadi polemik berkepanjangan sejak 2016, malah jauh sebelumnya. Dimana proyek PLTSa ini dimulai wacananya dari PLTSa ITF Sunter Jakarta, sejak Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (Foke), waktu itu Jakarta bermitra dengan Kabupaten Tangerang, setelah lokasi ITF Sunter mendapat penolakan, untuk selanjutnya PLTSa Sunter akan dikerjakan secara regionalisasi atau kerjasama antar daerah. Maka penempatan PLTSa dipindahkam ke TPA Jati Waringin di Kabupaten Tangerang tapi gagal juga.
Selanjutnya Gubernur DKI Jakarta berpindah dari Foke ke Jokowi, Ahok, Djarot angkat lagi PLTSa ITF Sunter dan gagal lagi, lagi dan lagi sampai sekarang Gubernur Jakarta Anies Rasyid Baswedan gagal di Sunter dan mendapat dukungan dari BPPT serta Kemenko Maritim dan Investasi (Menko Marives) berpindah ke TPA Bantargebang dan terbangunlah PLTSa Merah Putih dan juga diduga mangkrak seperti PLTSa Benowo Surabaya. Semua PLTSa-PSEL ini jalan empuk aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Nah mau apalagi? Jakarta saja gagal, padahal mampu dalam dana, apalagi daerah lain, mau dapat dana tipping fee dari mana? Seharusnya Presiden Jokowi juga janganlah membuat kebijakan olah sampah dari PLTSa-PSEL karena sudah belajar banyak atas kegagalannya di Jakarta dan diharapkan Presiden Jokowi segera cabut perpres yang menjadi dasar pembangunan listrik sampah.
Pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) terus saja memaksakan pembangunan PLTSa-PSEL, tanpa mau mendengar sumbang-saran. Karena merasa itu solusi yang terbaik, padahal sebaliknya adalah paling terburuk diantara solusi yang ada.
PLTSa-PSEL itu melanggar UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). Semua itu disebabkan karena pemerintah tidak mau mendengar penjelasan secara obyektif dari yang memahami masalah PLTSa-PSEL ini. Ingat donk, uang yang Anda pakai itu bukan milik pribadi, tapi duit rakyat yang bayar biaya pengelolaan dan pengolahan sampah yang ngotot dibangun itu.
Di satu sisi Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota/Bupati terus dengan kekuasaan semu mendorong pembangunan listrik sampah, dilain sisi PLN jelas tidak bisa membeli listrik tersebut karena mahal dan walau PLN paksakan karena mungkin ada tekanan, nah uang PLN juga uang rakyat. Paling valid penolakan juga datang dari KPK yang tidak merekomendasi pembangunan PLTSa-PSEL di seluruh Indonesia. Karena penolakan PLTSa-PSEL itu tentu memiliki analisa yang akurat. Bukan hanya menolak secara subyektif.
Baca Juga:Â Jalan Panjang Proyek ITF, dari Era Foke sampai Anies
Walau PLTSa-PSEL disebut oleh para ahli bahwa akan menawarkan dua keuntungan. Pertama, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil serta kedua, akan mengolah limbah atau sampah dengan memanfaatkannya sebagai sumber daya energi terbarukan (Baca: listrik). Tapi jangan lupa tetap akan mendatangkan kerugian pada semua lini. Setidaknya akan menggangu APBD/N untuk bayar tipping fee dan akan lebih mengganggu kesiapan atau ketersediaan bahan baku industri daur ulang.
Penulis sendiri berkali-kali mengoreksi dan memberi solusi pada kementerian dan lembaga leading sector, baik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan terkhusus kepada Menko Marives sebagai Kordinator Nasional Jaktranas Sampah untuk hentikan wacana PLTSa-PSEL ini dan segera kembali ke solusi sampah yang diamanatkan oleh UUPS yaitu jalankan Pasal 12,13,14,15,16,21, 44 dan 45. Disanalah solusi sampah Indonesia secara win-win solusi dan malah akan mendatangkan atau ciptakan sumber PAD baru, bukan mengeluarkan biaya untuk pengelolaan sampah.
Termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak rekomendasi PLTSa-PSEL itu. Malah KPK menyarankan dan merekomendasi pembangunan PLTSa-PSEL diganti menjadi RDF (Briket Sampah) untuk mengganti batu bara.
Penulis sependapat dengan KPK, namun sedikit kami beri catatan bahwa walaupun RDF tetap berbasis desentralisasi dan bukan sentralisasi, agar semua komponen usaha yang ada dalam rantai nilai ekonomi sampah bisa bergerak, artinya tidak mematikan usaha-usaha dari hulu ke hilir. Setidaknya bangunan RDF berbasis di kecamatan untuk mengolah residu sampah yang tidak mampu di kelola pada sumber timbulannya.
Agar tidak salah persepsi dan wacana berkepanjangan sebaiknya oleh kementerian terkait melakukan kajian sosial, teknis dan komersial secara obyektif terhadap PLTSa-PSEL ini sebelum menjadi polemik lebih besar lagi di masyarakat.Â
Polemik yang berkepanjangan dapat menimbulkan keraguan para pelaku usaha/investor PLTSa-PSEL, PLN dan Pemda dalam melanjutkan proyek berbiaya mahal tersebut. Sementara pengolahan sampah cukup berbasis teknologi tepat guna dengan sentuhan modern atau rekayasa teknologi modern berkearifan lokal.
Baca Juga:Â 2000 Desa Organik, Janji Jokowi Belum Terpenuhi
Meluruskan Gibran dan Walhi
Membaca berita di media online surakarta.suara.com, Jum'at, 25 Maret 2022, PLTSa Putri Cempo Diprotes Walhi Jateng, Gibran Tantang Balik: Punya Solusi Apa, Kok Seenaknya Sendiri!
Walikota Solo yang juga putera sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka (Gibran). mendapat protes keras dari LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jateng yang meminta Pemkot Solo menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Putri Cempo. Diketahui, pelaksanaan proyek PLTSa Putri Cempo Solo tidak berjalan mulus. Hal itu terjadi setelah Walhi Jateng melayangkan protes ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Solo.
Wali Kota Solo itu malah menantang balik Walhi Jateng untuk memberikan solusi konkret. "Lah mereka (Walhi) punya solusi apa menghilangkan gunung sampah. Nek duwe solusi ora popo. Gur nutup tok, sak penake dhewe (Kalau punya solusi tidak apa-apa. Cuma menutup saja, seenaknya sendiri," tegas Gibran dikutip dari Timlo.net--jaringan Suara.com, Jumat (25/3/2022).
Bisa saja Gibran bersikeras atas protes Walhi tersebut, karena mungkin tidak diberikan solusi masuk akal bagi Gibran, belum ada solusi yang tepat menurutnya. Maka sebaiknya Walikota Solo tenang dulu mempelajari protes Walhi itu.
Menurut penulis, Walhi juga punya kebenaran, karena PLTSa-PSEL itu memang keliru besar, bahwa dianggap menjadi solusi sampah. Malah justru akan lebih banyak menciptakan masalah. Gibran harus membuka wawasan untuk belajar dari PLTSa-PSEL di daerah lain yang gagal, misalnya di Jakarta, Semarang, Bandung dan lainnya. Coba tanya mantan Walikota Solo yang Anda gantikan itu, ada apa sejak 2016 PLTSa Putri Cempo belum dikerjakan atau diteruskan setelah mendapat penolakan dari Mahkamah Agung (MA).
Kenapa banyak resistensi terhadap PLTSa Putri Cempo Solo, minimal Gibran sebagai Walikota Solo untuk sempatkan waktu baca berita, jangan semua dengar dari orang-orang dekatnya, agar tidak salah menanggapi protes masyarakat dan terlebih tidak salah mengeluarkan kebijakan.Â
Baca tulisan saya Mas Gibran di Kompasiana dan beberapa media, karena termasuk saya dan Walhi serta beberapa LSM menggugat Perpres 18/2016 PLTSa 7 Kota dan dicabut perpres tersebut. Buat kajian akademik yang obyektif terhadap Perpres 35/2015 PLTSa-PSEL yang penulis sebut sebagai perpres reinkarnasi dari perpres yang telah dicabut itu dan jangan buat kajian yang terkesan "pesanan" alias kajian ABS saja.
Gibran coba tanya ke Mahkamah Agung (MA) bahwa kenapa dicabut Perpres No.18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar...???
Pesan Untuk Walikota Solo Gibran
Sesungguhnya sejak lama dan jauh sebelum Gibran duduk di kursi Walikota Solo, penulis selalu mengingatkan kepada 7 kota (Perpres 18/2016) dan 12 kota (Perpres 35/2018) termasuk Kota Surakarta yang khusus disasar oleh Perpres 18 Tahun 2016 PLTSa yang telah dicabut MA.
Berdasar hal tersebut, merasa sangat penting penulis memberi pesan pada Mas Walikota Solo Gibran antara lain:Â
- Jangan terlalu bereaksi bila ada yang koreksi PLTSa Putri Cempo Solo, karena memang itu bukan solusi untuk sampah Indonesia.
- Sebagai putra presiden, jaga nama baik Presiden Jokowi agar ciptakan kesan baik dengan tidak memaksakan kehendaknya untuk ngotot melanjutkan PLTSa Putri Cempo.
- Segera jalankan amanat UUPS, itu solusi terbaik dan pro rakyat. Untuk penjelasan detail pada point 3 (tiga) ini silakan baca di Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia dan sampaikan secara dinas/pribadi pada Presiden Jokowi, agar beliau tidak sesat jalan memandu para menteri pembantunya dalam urusan sampah.
- Pacu produksi pupuk organik kompos berbasis kawasan (Pasal 12,13 dan 45 UUPS) untuk mendukung Nawacita Presiden Jokowi. Karena masih ada utang Nawacita yang tidak diperhatikan yaitu janji pembangunan 2000 Desa Organik di Indonesia.Â
- Membayar utang Nawacita 2000 Desa Organik, sama saja menyelesaikan sampah Indonesia dan menutup target subsidi pupuk organik 1 Juta Ton/Tahun, dimana target ini juga tidak dipenuhi oleh Menteri Pertanian era Presiden Jokowi, mengingat waktu berahirnya masa jabatan Presiden Jokowi tahun 2024 diambang pintu.
- Agar tidak sesat jalan dalam urusan sampah, harap Walikota Solo Gibran pelajari masalah sampah Indonesia, tolong baca tulisan saya di Kementerian Pertanian Gagal Membangun 1000 Desa Organik, Presiden Jokowi Absolut Melakukan Transformasi Bank Sampah dan TPS3R, Koperasi Sampah "PKPS" sebagai Poros Circular Ekonomi.
- Penolakan PLTSa-PSEL bukan karena alasan "pemulung kehilangan pekerjaan" tapi memang PLTSa-PSEL itu akan merusak sistem pengelolaan sampah yang diamanatkan UUPS dan/atau akan merusak semua rantai nilai ekonomi sampah.Â
Baca Juga:Â Imposible Listrik Sampah PLTSa-PSEL di Indonesia
Sebenarnya Walikota Solo Gibran keliru dan sangat tergesa-gesa melanjutkan PLTSa Putri Cempo itu, proyek itu peninggalan Walikota Solo yang lama dan gagal melanjutkan PLTSa karena melabrak UUPS.
Walikota Solo Gibran perlu ketahui bahwa, operasionalisasi PLTSa Putri Cempo itu harus didahului kerjasama regional antar daerah untuk pemenuhan bahan bakunya. Tapi itupun semua keliru, karena solusi sampah bukan sentralisasi tapi desentralisasi sebagaimana amanat UUPS.
Jadi sesungguhnya PLTSa Putri Cempo Solo itu wajib di Setop, kalaupun dipaksakan berjalan atau operasionalisasi maka sangat dipastikan akan mangkrak, seperti PLTSa-PSEL Merah Putih di TPA Bantargebang Bekasi milik Jakarta dan PLTSa-PSEL di TPA Benowo milik Surabaya. Padahal kedua PLTSa-PSEL itu kurang apa sampahnya, tapi masih juga stag, karena mengharap tipping fee yang tidak mampu dibayarkan oleh pemda. Kalaupun dipaksa bayar, tentu akan menjadi pintu masuk KPK.
Bila berdasar Perpres No. 35 Tahun 2018 itu bertujuan mempercepat investasi PLTSa di 12 kota (DKI Jakarta, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang dan Kota Manado). Agar Pemerintah berharap pembangunan PLTSa di 12 kota tersebut menjadi percontohan bagi Pemda seluruh Indonesia untuk bekerjasama dengan berbagai Badan Usaha dalam menanggulangi problema persampahan di kotanya masing-masing. Tapi Perpres 35/2018 inipun sesungguhnya cacad, karena merupakan reinkarnasi dari Perpres 18/2016 yang telah dicabut oleh MA pada tahun 2016.
Perlu diketahui bahwa dua tahun setelah Perpres 35/2018.ini dikeluarkan, muncul rekomendasi dari KPK menolak PLTSa-PLSE. Lembaga penegak hukum ini menganggap ada kerugian negara yang timbul dalam peraturan yang mewajibkan PLN dan Pemda membeli listrik dari PLTSa dengan tarif keekonomian dan membayar bea pengolahan sampah (tipping fee).
KPK menganggap penugasan pemerintah pada PLN untuk melakukan pembelian listrik dari sampah, bisa merugikan PLN dan Pemda. Pasalnya, kedua institusi itu harus  membayar bea pengolahan sampah, sebuah beban tambahan yang sebelumnya tidak ada. Tentu beban berat itu akan bertumpu pada uang rakyat.
Baca Juga:Â Mahkamah Agung Batalkan Peraturan Presiden No. 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan PLTSa di 7 kota
"KPK menganggap penugasan pemerintah pada PLN untuk melakukan pembelian listrik dari sampah, bisa merugikan PLN dan Pemda juga akan dibebani tipping fee."
Perpres 18/2016 Dicabut MA
PLTSa juga ditengarai sebagian pihak yang kurang memahami karakteristik sampah Indonesia, bahwa PLTSa-PSEL akan mengurangi kebutuhan lahan karena pengolahannya tidak menghasilkan residu sampah (zero waste) dan tidak mencemari lingkungan terutama melalui emisi udara (zero toxic pollution).Â
Justru sebaliknya akan membutuhkan lahan yang lebih luas untuk mengeringkan sampah sebelum masuk ke incenerator, ingat sampah Indonesia didominasi sampah organik yang sifatnya basah. Minimal butuh waktu 3 hari lalu masuk ke mesin dan juga tentu akan menciptakan polusi udara setelah masuk incenerator.
Perpres No.18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) atas permohonan "gugatan" uji materiil Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah yang diajukan oleh Direktur Green Indonesia Foundation, Asrul Hoesein bersama 15 orang pemohon perorangan dan Walhi, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), BaliFokus, KruHA, Gita Pertiwi dan Perkumpulan YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi).
Permohonan Uji Materiil Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah terhadap Peraturan Presiden No. 18 tahun 2016 dengan Nomor Perkara 27 P/HUM/2016 dikabulkan Mahkamah Agung. Permohonan yang diajukan oleh 15 individu dan 5 LSM ini diajukan ke MA pada 19 Juli 2016 dan dikabulkan pada 2 November 2016. Salinan amar putusan para hakim yang diketuai oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum. dapat dilihat di laman Putusan Mahkamah Agung. Dengan dikabulkannya permohonan kami oleh Mahkamah Agung kami meminta Presiden untuk mencabut dan membatalkan Perpres No. 18/2016 secepatnya sesuai dengan amar putusan MA.
Pertanyaannya, kenapa seh pemerintah dan pemda terlalu serius mendorong pembangunan PLTSa oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Swasta baik dalam maupun luar negeri diperkuat dengan keluarnya kebijakan Peraturan Presiden (Perpres) khusus di bidang PLTSa. Lalu kenapa tidak serius jalankan Pasal 12,13,14,15,16,21,44 dan 45 UUPS dan mengikuti rekomendasi Mahkamah Agung dan KPK? Rekomendasi KPK dan MA itulah sesuai UUPS.
Jakarta, 28 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H