Baca Juga:Â 23 Produsen Tunjukkan Komitmen Laksanakan Kewajiban Pemgurangan Sampah
Sejak penulis mengoreksi Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) yang kemudian diganti menjadi Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG). Elit-elit KLHK nampak stres, ya memang stres karena KPB-KPTG itu diduga keras terjadi abuse of power alias korupsi.
Beberapa fakta kebingungan KLHK yaitu membentuk Dewan Pengarah Sampah Nasional pada tahun 2016 dan sampai hari ini tidak diketahui dimana sekarang dewan yang didalamnya berkumpul orang-orang lintas stakeholder.
Motif Menteri LHK membentuk Dewan Sampah ini hanya untuk menjegal penulis yang mengoreksi keras terhadap KPB-KPTG yang hanya berdasar pada sebuah Surat Edaran (SE). Dari SE ini terbaca secara hukum tata negara kesalahan besar yang dibuat oleh Menteri LHK cq: Dirjen PSLB3 yang mengeluarkan SE KPB-KPTG tersebut.
Baca Juga:Â Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia Juga sangat parah KLHK merevisi bodong Permen LH No. 13 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah 3R melalaui Bank Sampah ke Permen LHK No. 14 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah pada Bank Sampah, sangat jelas maksud revisi ini ingin memberi penguatan pada Bank Sampah Induk (BSI), padahal BSI bukan lembaga bisnis bankcable untuk dijadikan offtaker oleh bank sampah. Benar-benar sebuah kebijakan sesat oleh pemerintah dalam urusan sampah.
Lebih parah lagi KLHK menerbitkan Permen LHK No. P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Dimana permen tersebut dimaksudkan untuk dasar penerapan Extanded Produsen Responsibility (EPR).
Sejak terbitnya Permen LHK No. P.75/2019 tersebut, penulis terus mengoreksi dan memberi saran sampai sekarang, karena permen itu bisa disebut sebagai peta buta alias kebijakan sangat sesat dan menyesatkan, terlebih sangat berpotensi merugikan masyarakat. Karena uang EPR itu adalah milik rakyat (Baca: Konsumen).
Baca Juga:Â Apa Kabar Peta Jalan Pengurangan Sampah Plastik Produsen?
Kenapa bodong, karena sangat jelas melanggar Pasal 16 UUPS, dimana seharusnya pelaksanaan EPR melalui sebuah Peraturan Pemerintah tentang EPR tersebut dengan terlebih dahulu memberi label nilai ekonomi pada kemasan produk.
Sangat parah KLHK dalam menyikapi EPR, karena sepertinya hanya menunggu partisipasi atau komitmen produsen untuk melaksanakan kewajibannya terhadap pengurangan sampah, padahal seharusnya menerbitkan peraturan pemerintah untuk dilaksakan oleh produsen yang tidak harus suka atau tidak suka, karena EPR itu adalah wajib dilaksanakan pada tahun 2022. Uang EPR itu harus alias wajib dikembalikan oleh perusahaan pada konsumen. Bukanlah perusahaan turun memungut sampah, bukan begitu pelaksanaan EPR.
Sangat bisa dipastikan bahwa Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya Bakar tidak memahami masalah apa yang terjadi pada anak buahnya, sangat diketahui bahwa Menteri LHK hanya menerima informasi bodong dari bawahannya atas masalah persampahan yang terjadi selama ini. Hanya menerima informasi berbasis asal ibu senang (AIS) saja.