Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

"Sedekah Sampah" Pendekatan Solusi Salah Kaprah

11 Agustus 2021   01:33 Diperbarui: 11 Agustus 2021   10:41 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Penulis melakukan pendampingan pengelolaan sampah di masyarakat Kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng, Juli-Agustus 2020

"Sebagai pemantik perubahan paradigma kelola sampah, seharusnya bukan sedekah sampah tapi sedekah kompos. Jadi bukan sampah yang disedekahkan tapi sebuah barang yang bernilai ekonomi serta gerakan ini akan memacu silaturahmi atau kerukunan umat beragama di tengah masyarakat yang plural" Asrul Hoesein, Direktur Green Indonesia Foundation Jakarta.

Sejak diundangkannya UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) sampai pada saat sekarang (2021) pemerintah belum memperlihatkan keseriusan dengan memberi tanda-tanda menuju perubahan yang signifikan. Masih saja disibukkan dengan wacana murahan berupa solusi kemasan plastik sekali pakai (PSP). Solusi yang sangat subyektif dan bunuh diri, artinya solusi mati akan yang tidak membangun.

Begitu panjang perjalanan isu ramah lingkungan dengan agenda tunggal plastik sekali pakai (PSP) pada modus masalah sampah kemasan khusus kantong plastik. Padahal kantong plastik ini merupakan alat yang paling murah untuk dipakai atau dipergunakan dalam memenuhi kewajiban penjual kepada komsumen (hak konsumen) yang membeli barang dagangannya. Penjual dengan tanpa memberi atau melengkapi wadah atau kantong (plastik, kertas dll) untuk barang dagangannya, itu melanggar Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). 

Apakah pemerintah dan toko ritel menyadari pelanggarannya? Perlu diketahui bahwa, jangan menyelesaikan masalah dengan membuat masalah baru. Itulah setiap urusan atau masalah memiliki aturan-aturan main (hukum atau undang-undang) tersendiri. 

Jangan ada saling tabrak antar undang-undang, itu pula merupakan fungsi Kementerian Kordinator Maritim dan Investasi sebagai Kordinator Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Baca: Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Jaktranas Sampah).

Baca juga: Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi

Isu sampah plastik, merupakan sebuah gerakan sistematis untuk memengaruhi stakeholder. Terbaca jelas untuk mematikan akal sehat demi menyelimuti kesalahan atas kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) alias Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) yang bermasalah sejak tahun 2016 yang lalu.

Berbagai strategi dan pendekatan yang di lakukan oleh pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya, masyarakat dalam penanggulangan sampah di Indonesia. Tapi senyatanya bukan mencari solusi, tapi diduga hanya ingin mengaburkan masalah KPB-KPTG. 

Akhirnya banyak muncul masalah baru, seperti  Aspal Mix Plastik, PLTSa, Larangan Kantong Plastik, Larangan PS-FOAM, Larangan Penggunaan Sedotan Plastik dan termasuk mencabut dan merevisi serta menerbitkan regulasi yang prematur. Masing-masing stakeholder berjalan sendiri tanpa ada fungsi kordinasi yang terjadi, pembiaran masalah begitu massif. Sehingga semua lupa pada efek atau akan berdampak buruk, sangat berpotensi terjadi (rawan) masalah dalam ranah hukum dan efek kantibmas.

Baca juga: Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia  

Sekretariat Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Sampah Laut (TKN PSL) bersama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerja sama dalam menginisiasi peluncuran Gerakan Sedekah Sampah Indonesia (GRADASI) dan Buku Panduan dan Khutbah Jumat Tata Kelola Sampah Menurut Ajaran Islam yang diselenggarakan secara hybrid pada Jumat, (30-04-2021). Beritanya pada website Kementerian Kordinator Bidang Maritim dan Investasi, bisa baca di Sini.

Pendekatan agama dengan konsep "sedekah" merupakan solusi yang tidak mendidik alias solusi asal-asalan yang tidak memahami masalah, dimana program tersebut didorong oleh TKN PSL dan MUI tersebut sepertinya keliru dengan penerapan sedekah sampah tersebut.

Pendekatan yang kurang elok, karena pastinya masyarakat juga tidak tertarik dengan program tersebut. Memang bukan pada tempatnya dengan pendekatan agama dalam konteks melakukan penekanan "jiwa atau paradigma" untuk sebuah perubahan paradigma kelola sampah tersebut. Pasti mati suri dan stag. Koq sampah mau disedekahkan, sangat tidak inovatif. Kelihatan para penyelenggara gerakan tersebut tidak memahami masalah persampahan.

Baca juga: Meluruskan Arah Bank Sampah sebagai Perekayasa Sosial dan Bisnis

Masyarakat pasti tidak tertarik melakukan "sedekah sampah" tersebut secara berkelanjutan. Karena memang bukan demikian solusi sampah. Seharusnya MUI sebagai lembaga swadaya yang dikelola para alim ulama, untuk mengingatkan para birokrat dan stakeholder lainnya untuk melaksanakan UUPS. Tapi jangan-jangan MUI sendiri tidak memahami hal ihwal persampahan. Tolong para kiyai-kiyai di MUI baca UUPS dengan cermat.

Terlebih lagi  masyarakat Indonesia yang sangat dikenal kental dengan gengsi yang tinggi, tentu mereka mempertahankan harga dirinya (gengsi) untuk tidak bersedekah sampah di masjid atau tempat lainnya, mana mau disebut bersedekah sampah. Bukan cara demikian merubah paradigma masyarakat dalam tata kelola sampah yang benar.

Baca juga: Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia

Solusi Cerdas, Sedekah Kompos

Seharusnya setiap program dalam tata kelola sampah mendahulukan edukasi. Seperti sedekah sampah, sangat tidak edukatif. Coba misalnya bila ingin memakai pendekatan agama dengan "sedekah" tersebut dengan memasukkan unsur edukasi dengan mendorong etos kerja di masyarakat. 

Dahulukan proses kerja, yaitu Sedekah Kompos misalnya, artinya ada proses kerja yang dilakukan oleh masyarakat. Jadi bukan sampah yang disedekahkan tapi sebuah barang yang bernilai ekonomi. 

Atau mau lebih besar skalanya dalam keterlibatan semua pemangku kepentingan (stakeholder) hulu hilir pengelolaan sampah (organik dan anorganik), kombain dengan program "Sedekah Sapu", banyak cara memberi edukasi yang edukatif di masyarakat yang bersifat positif bisa merubah paradigma kelola sampah.

Tolong jangan pakai embel-embel agama yang keliru, karena bisa memberi kesan "jual agama" demi menggairahkan masyarakat. Sangatlah keliru dan sebaiknya dihentikan cara-cara yang demikian. Pakai pendekatan agama dengan cara cerdas, karena efeknya berbahaya bila salah mengaplikasi.

Konsep sedekah kompos atau sapu ini juga memacu sifat gotong royong untuk bersama mengelola sampah organik dan anorganik di masing-masing rumah tangga, untuk selanjutnya secara bersama (berjamaah) untuk melakukan sedekah kompos ke masjid atau panti asuhan untuk selanjutnya dipakai atau di jual oleh si penerima sedekah. Atau melalui bank sampah untuk dijual lalu hasil penjualannya di pergunakan para rumah-rumah ibadah seluruh umat beragama.

Baca juga: Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR

Pemerintah Harus Tegas

Pemerintah seharusnya menciptakan sebuah sistem tata kelola sampah secara nasional (road map) yang tegas dan massif, bukan malah menunggu kesadaran masyarakat, ini sangat keliru karena akan terjadi pembiaran penciptaan program yang tidak berkesesuaian dengan UUPS. Adanya sistem secara nasional maka dapat mencegah program-program bodong atau program salah kaprah, seperti program sedekah sampah tersebut.

Dengan pola yang tegas dari pemerintah dan pemerintah daerah, tentu akan melahirkan program yang membumi alias tidak ambigu untuk bisa dijalankan oleh masyarakat dan para produsen produk dan barang yang memang mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam tata kelola sampah.

Baca juga: Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia

Persoalan sampah sangat jelas dalam regulasi UUPS adalah sebuah pekerjaan WAJIB dilaksanakan, maka dengan adanya prasa WAJIB dalam regulasi itu seharusnya pemerintah dengan tegas menciptakan dan menerapkan aturan mainnya sebagaimana yang telah dimandatkan dalam regulasi.

Dengan adanya sistem terintegrasi yang berpola pada basis regulasi UUPS, maka sangat jelas masyarakat pasti akan mengikuti pola yang dibuat tersebut. Bukan mengedukasi masyarakat dengan memberi embel-embel agama untuk memikat hati masyarakat, yaitu sedekah sampah agar tertarik mengelola sampahnya. Itu merupakan pendekatan yang sangat keliru dan memalukan.

Baca juga: Menjadi Pembeda dalam Membangun Tata Kelola Sampah Indonesia

Mengelola sampah dalam konteks regulasi UUPS memiliki konsekuensi positif (hak/insentif) dan negatif (kewajiban/denda) bila mengikuti sistem yang telah diletakkan sebelumnya oleh pemerintah dengan tegas dan disiplin. Maka dengan mengikuti arah regulasi, disana pemerintah harus membuat aturan mainnya dengan tegas. Tanpa harus mencuci otak rakyat dengan embel-embel agama atau dengan nama sedekah sampah.

Intinya, pemerintah tidak boleh menunggu masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah harus melaksanakan mandat UUPS. 

Agar tercipta sebuah rel manajemen yang memberi ruang kolaborasi dengan pelibatan perusahaan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat di dalamnya. Bukan menyuruh kolaborasi, tapi membuat sistem yang mengharuskan kolaborasi. 

Karakteristik sampah dan karakteristik bisnis sampah, absolut melakukan sinergi antar pihak dengan sebuah kelembagaan yang valid sesuai regulasi persampahan dan regulasi pendukungnya.

Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator agar membuka ruang pada masyarakat dan dunia usaha sebagai eksekutor dan pada ahirnya pemerintah hanya perlu melakukan monitoring dan evaluasi serta pengawasan terhadap sistem yang telah dibuatnya. 

Jadi bukan pemerintah dan pemda yang menjadi eksekutor. Kalau pemerintah melaksanakan mandat UUPS, maka dapat dipastikan pengelolaan sampah akan mendatangkan atau menciptakan sumber pendapatan baru bagi masyarakat, pemerintah daerah dan negara secara umum. 

Jakarta, 11 Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun