Lebih tegas dalam PP No. 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat (tautan: PP Nomor 33 Tahun 2018). Gubernur adalah sebagai wakil pemerintah pusat seharusnya mendukung dan tunduk atas kebijakan presiden sebagai kepala pemerintahan. Mengamankan setiap kebijakan pemerintah pusat, bukan malah sebaliknya.
Jadi -- idealnya -- Jokowi tidak perlu susah payah meminta kepada gubernur, karena sebagai wakil di daerah, gubernur harus satu suara. Ya memang idealnya satu suara, biar tanpa arahan dari presiden lagi. Aneh ya di Indonesia.Â
Tapi susah juga karena gubernur lebih takut pada ketua umum partai daripada presiden. Memang dilematis posisi Jokowi di periode kedua ini, disamping tidak menguasai partai atau tidak berada pada posisi puncak partai. Walau Jokowi sempat memengaruhi dengan cepat 80% partai di DPR-RI, artinya secara umum posisi politik Jokowi sangat kuat.
Jokowi dalam eksistensinya sebagai presiden, berada diahir masa dua periode. Jadi memang pantas Jokowi harus pilih tegas dalam berpikir dan bertindak, dan bila perlu pakai kaca mata kuda saja, demi aplikasi program -- Nawacita -- yang telah dijual pada masyarakat. Saat ini Jokowi harus lebih takut pada kebencian rakyat dibanding dengan kebencian partai.Â
Maka hampir pasti partai pendukung Jokowi sendiri memilih cari strategi untuk pasang kuda-kuda menghadapi Pilpres 2024. Jadi sangat nyata, baik partai maupun kader-kader elit partai saat ini berlomba mencari perhatian publik dan partai demi meningkatkan elektabilitasnya menuju Pemilu dan Pilpres 2024.
Dalam menghadapi Pilpres 2024, momentum penolakan UU Cipta Kerja bisa saja jadi tumpangan partai ataupun person yang ingin ikut berlaga pada Pilpres 2024.
Pada sisi lain, Jokowi tentu tidak memperhatikan lagi elektabilitasnya. Tapi lebih kepada bagaimana cara supaya janji-janjinya dalam Nawacita (I dan II) bisa terwujud pada periode ahir jabatannya selaku presiden.Â
Kalau Jokowi pilih aman, ya tentu santai saja sampai ahir masa jabatannya. Hal urusan Omnibus Law Cipta Kerja, serahkan saja pada presiden yang akan datang. Tapi senyatanya Jokowi ingin membuat sejarah baru dan besar demi peningkatan kesejahteraan rakyat dengan menerbitkan UU Cipta Kerja.Â
Posisi gubernur juga dilematis karena bukan dipilih atau diangkat langsung oleh presiden. Tapi umumnya gubernur melalui partai di pemilukada, hanya sedikit melalui jalur perseorangan. Jadi praktis posisinya bukan jabatan karir tapi politis. Harus tunduk pula pada partai pengusungnya, sepertinya terjadi buah simalakama.
Maka ke depan seharusnya posisi gubernur itu bukan melalui pemilukada. Tapi sebaiknya diangkat atau ditunjuk dan diberhentikan langsung oleh presiden melalui usulan DPRD provinsi. Karena terjadi dilematis - ketaatan - bila merunut fungsi dan tugasnya pada perundang-undangan yang berlaku.Â
Selamat Pak Jokowi, Anda hebat karena sempat -- berpotensi -- membuat geger gubernur dan bisa membuat mereka salah langkah di masyarakat.