Terlihat dari sampah kemasan makanan atau minuman, produk kebutuhan rumah tangga, dan yang lainnya terhenti di tempat yang tidak seharusnya berahir jadi sampah di sungai, laut, di bakar dan pada penampungan akhir sampah.
Termasuk banyak pihak menganggap beban EPR semata pada perusahaan produsen produk berkemasan saja. Padahal tanggung jawab EPR ada pada semua pihak, termasuk beban utamanya pada konsumen (baca: masyarakat) barang tersebut. Karena konsumenlah yang akan membayar nilai ekonomi EPR tersebut. Jadi prinsipnya siapa yang produksi sampah, mereka pula yang bertanggung jawab.
PRISE yang dibentuk tahun 2010, merupakan komunitas perusahaan produsen barang berkemasan skala besar, malah mengusung pendekatan Extended Stakeholder Responsibility (ESR) dalam pengelolaan sampah. Khususnya untuk menarik kembali sisa produk mereka yang menjadi sampah.Â
Padahal bila pemerintah melaksanakan EPR, jelas aplikasinya adalah seperti ESR juga. Karena memang demikianlah arah perjalanan dan aplikasi EPR versi regulasi persampahan. Hanya saja pelaksanaan EPR harus melalui sistem dan mekanisme yang harus melalui penetapan pemerintah dan diberlakukan seragam untuk semua perusahaan yang telah melalui pelabelan "nilai ekonomi" atas sisa produk yang berahir menjadi sampah.Â
Pemerintah sudah seharusnya mengapresiasi keinginan PRISE tersebut sebagai pemicu untuk menciptakan sistem dalam pelaksanaan EPR. Di mana PRISE yang beranggotakan perusahaan multi nasional seperti PT. Coca Cola Indonesia, PT. Â Danone Indonesia, PT. Indofood Sukses Makmur, PT. Nestle Indonesia, PT. Tetrapack Indonesia dan PT. Unilever Indonesia.Â
Pendekatan ESR ini sesungguhnya bukan masalah asing bagi terlaksananya EPR, tapi ESR memang merupakan aplikasi EPR itu sendiri yang mewajibkan produsen sampah bergotong royong mengelola sampah sesuai kapasitas dan kompetensinya masing-masing, sehingga menghasilkan dampak yang lebih signifikan dan berhasil guna bagi lingkungan.
ESR Aplikasi Teknis EPR
Maka dapat dipastikan bahwa tidak ada pertentangan prinsip antara ESR dan EPR. Kenapa hampir semua pihak masih mempertanyakan atau bahkan banyak yang ingin menolak kehadiran EPR dan mengganti namanya. Karena pemerintah sendiri belum membuat sistem atau road map pelaksanaan EPR.Â
Padahal EPR ini tinggal dilaksanakan dan tidak perlu lagi diperdebatkan keberadaannya. Sudah beberapa Menteri LH yang telah membahas EPR termasuk DPR.Â
Menteri Negara LH yang pertama mulai membahas EPR adalah Ir. Rachmat Witoelar di masa pemerintahan SBY-JK. Malah yang menjadi motivasi lahirnya UUPS karena didorong adanya rencana pelaksanaan EPR untuk mengantisipasi kekurangan biaya pengelolaan sampah dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Â
Seharusnya dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK No. P.75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, dilengkapi dengan aplikasi Pasal 14 dan 15 UUPS dengan landasannya pada Pasal 13 dan 45 UUPS.