Sejumlah pihak "menggugat" dengan melakukan judicial review atau uji materi Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perppu tersebut tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19.
Tentu terjadi buah simalakama bagi Presiden Jokowi akibat kinerja menterinya tidak profesional. Karena sementara laju Covid-19 semakin cepat menyebar, dan diharapkan semua komponen bangsa harus satu kata, kompak dan bersama dengan harapan mampu melawan Corona.Â
Tapi lagi-lagi diduga terjadi mis regulasi beberapa pasal krusial dalam Perppu Covid-19 tersebut. Bahaya juga bila dibiarkan, karena bisa dan berpeluang terjadi masalah besar, berpotensi terjadi korupsi karena dinilai kontra produktif antar regulasi lainnya. Malah diduga melanggar UUD 1945.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bersama sejumlah pihak menguji materi pembatalan Pasal 27 Perppu No. 1 Tahun 2020. Pendaftaran dilakukan secara online pada Web Sistem Informasi Permohonan Elektrik (SIMPEL) MK (9/4).
Gugatan ditujukan untuk mencabut Pasal 27 Perppu No. 1 Tahun 2020. Bahwa pasal itu dianggap bertentangan dengan Undang-Undang (UUD) 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Koq bisa elit kementerian membuat regulasi demikian itu. Apa maksudnya ?Â
Mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin menganggap bahwa Perppu tersebut di tengah pandemi virus corona tidak punya cantolan konstitusional yang jelas. Tidak juga dikaitkan dengan undang-undang tentang kedaruratan kesehatan, justru pemerintah hampir menerapkan darurat sipil.
Sementara itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Syaiful Bakhri akan menjadi Ketua Tim Hukum Judicial Review Perppu 1/2020. Ia mengatakan, syarat kegentingan yang memaksa penerbitan Perppu tersebut tidak terpenuhi dalam penerbitan Perppu 1/2020.
Kenapa Pemerintah Selalu Gegabah Terbitkan Regulasi ?
Dalam pantauan penulis terhadap jalannya roda pemerintahan Presiden Jokowi, terlihat banyak informasi yang tidak nyambung dari Menteri ke Presiden. Menteri juga banyak menerima info tidak valid dari bawahannya. Pada ahirnya terjadi resistensi atas sebuah kebijakan.Â
Temuan masalah yang didapatkan penulis adalah pada penata kelolaan sampah - waste management - dimana regulasi sampah yang sudah sangat bagus. Justru tidak mampu diejawantah oleh para pembantu - menteri - Presiden Jokowi selama kurun waktu pemerintahan Jokowi-JK dan saat ini Jokowi-Ma'ruf, masih jalan ditempat.
Justru malah menimbulkan masalah baru dalam persampahan, khususnya menangani masalah sampah plastik. Karena banyak kebijakan yang diterbitkan terjadi tumpang tindih, seperti Kebijakan Kantong Plastik Berbayar kontra produktif dengan Pelarangan Penggunaan Kantong Plastik itu sendiri.