Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

KPK Harus Audit Investigasi dan Menyidik Pembangunan Listrik Tenaga Sampah

2 April 2020   04:01 Diperbarui: 2 April 2020   04:11 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: PLTSa Benowo Surabaya. Sumber: Dokpri

Sangat memalukan pemerintah cq: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai leading sector persampahan dan Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Maritim) sebagai Kordinator Nasional Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Jaktranas Sampah. 

Telah membiarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan hasilnya apa ? KPK berhasil menemukan beberapa masalah atau temuan. KPK tidak boleh hanya sampai pada kajian semata, tapi harus mengawal agar tidak terjadi rente dalam proyek PLTSa. Diduga ada konspirasi karena begitu ambisinya "oknum" pemerintah dalam pembangunan PLTSa tersebut. Padahal hitungannya sangat rugi dan melabrak regulasi persampahan. 

Dilansir Kompas.com, KPK menemukan potensi kerugian negara senilai Rp 3,6 miliar setiap tahunnya dari pengelolaan sampah menjadi listrik melalui PLTSa. Termasuk yang diprotes KPK adalah masa kontrak PLTSa cukup panjang yakni 25 tahun. Hanya menguntungkan investor dan sangat berpotensi menguras dana APBN/D.

KPK juga menyoroti tipping fee atau biaya pengumpulan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah yang memberatkan pemerintah daerah. Selain itu, tarif beli listrik juga memberatkan PLN karena menggunakan sistem take or pay. Dengan sistem ini, berapapun sampah didapat, dibayar sesuai perjanjian.

Baca Juga: Kemenko Maritim, BPPT dan Pemprov DKI Jakarta Resmikan Pilot Project PLTSa Bantar Gebang

Berdasarkan kajian tersebut, KPK mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalansi Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi.

Seharusnya Perpres No. 35 Tahun 2018 tersebut bukan direvisi, tapi harusnya KPK meminta pada Presiden Jokowi atau Mahkamah Agung untuk mencabut perpres tersebut. Karena diduga keras Perpres No. 35 Tahun 2018 tersebut adalah reinkarnasi Perpres No. 18 Tahun 2016 yang telah dicabut oleh Mahkamah Agung. 

Sekiranya KLHK dan/atau Menko Maritim sedikit mau mendengar saran penulis. Kemungkinan besar KPK tidak perlu turut serta melakukan kajian PLTSa. Karena pasti akan menemukan jalan yang terbaik. Padahal beberapa kali penulis sampaikan pada pejabat elit KLHK dan Kemenkomatim.

Juga begitu seriusnya pemerintah sampai merubah nama dari PLTSa lagi menjadi Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL). Pergantian nama seperti PLTSa menjadi PSEL sudah terbiasa dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini KLHK, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya "plesetan" nama dari Kantong Plastik Berbayar (KPB) menjadi Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG).

Dalam Perpres 35 Tahun 2018 tersebut terdapat 12 kabupaten/kota yang menjadi prioritas pembangunan PLTSa, yakni Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Solo, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang, dan Kota Manado.

Baca Juga: Penanganan Sampah di TPA Suwung, PLTSa Diubah ke PSEL

KPK sudah melangkah jauh berkordinasi dengan Kementerian ESDM dan Kemenko Maritim dan Investasi. Selain KPK mengusulkan revisi Perpres No. 35 Tahun 2018 tersebut, juga telah mengusulkan proyek PLTSa diganti yang lebih masuk akal dari sisi hitungan bisnis. Seharusnya KPK melakukan juga kordinasi dengan KLHK sebagai pendukung utama PLTSa. KLHK lah yang menjadi motor penggerak PLTSa. 

Usulan KPK untuk pengganti PLTSa adalah pengolahan pelet atau briket sampah sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Cara yang disebut co-firing ini sudah diuji di empat PLTU dan PLN ternyata bisa menghemat biaya pembelian batu bara. Cara ini jelas lebih efisien ketimbang membangun PLTSa, yang mahal dan memberi peluang bagi masuknya para pemburu rente.

Sesuai pantauan Green Indonnesia Foundation dilapangan, bahwa hingga tahun 2020 belum satu pun PLTSa terbangun dapat menghasilkan listrik. Walau proses pembangunannya sudah selesai tapi belum sukses sebagaimana diharapkan menyelesaikan sampah dan menghasilkan energi listrik, seperti PLTSa Merah Putih Bantargebang Bekasi, PLTSa Benowo Surabaya yang sedianya diresmikan ahir tahun lalu.

Baca Juga: Deddy Kritisi Hasil Riset KPK Soal PLTSa

Salahkah KPK Melakukan Kajian PLTSa ?

Tidak ada masalah KPK lakukan koordinasi atau supervisi kepada instansi ybs. Karena sesungguhnya ada dua tugas pokok KPK adalah pencegahan dan pemberantasan korupsi. Umumnya pemerhati sampah, NGO atau asosiasi menganggap aneh KPK yang terlalu jauh turut campur.

Bagi yang tidak paham, wajar bila pertanyakan intervensi KPK. Karena dari dulu KPK jarang turun/ekspose progres dalam pencegahan korupsi. Umumnya progres KPK yang terekspose adalah pemberantasan korupsi. Namun paling urgen dilakukan KPK terhadap PLTSa ini adalah melakukan audit investigasi dan penyidikan terhadap dugaan korupsi atas penyimpangan dalam pembangunan PLTSa.

Sesungguhnya KPK mendukung program pemerintah untuk mendorong investasi. Namun, investasi yang didorong KPK adalah investasi yang membawa manfaat besar bagi negara dan masyarakat serta menghindari potensi praktik yang tidak adil karena menguntungkan salah satu pihak saja.

Bila KPK masuk dalam urusan sampah untuk minta Perpres No.  35 Tahun 2018 agar direvisi dan juga mengusulkan solusi non PLTSa yaitu diganti dengan Briket, itu semua dalam ranah atau tugas KPK untuk dalam pencegahan korupsi. Karena memang Perpres No. 35 Tahun 2018 itu beraroma korupsi yang sama persis dengan Perpres No. 18 Tahun 2016 yang penulis telah gugat (JR) di Mahkamah Agung bersama beberapa LSM di Indonesia.

Baca Juga: Budaya Pilah Sampah Perlu Ditingkatkan 

KPK Harus Investigasi Lidik/Sidik PLTSa. 

Ada beberapa persoalan lain dalam PLTSa tersebut yaitu Perpres No. 35 Tahun 2018 sebenarnya reinkarnasi dari Perpres No. 18 Tahun 2016 yang telah digugat oleh Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah pada tahun 2016 dan Perpres 18 Tahun 2016 tersebut dicabut atau dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Dokumen ini yang harus dipelajari atau diteliti oleh KPK.

Memang pemerintah sepertinya tidak mati akal dan sangat bernapsu untuk tetap membangun PLTSa, walaupun nyata salah tapi tetwp saja dijalankan paksa. Termasuk rencana adendum Perpres No. 35 Tahun 2018 tersebut untuk menambahkan beberapa kabupaten dan kota seperti Lampung, Malang dan lainnya.

Termasuk bukti ambisi pemerintah dengan keluarnya Permen LHK no. P. 24 Tahun 2019 Tentang Bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Macam-macam saja karena Permen LHK itu hanya bersifat rekomendasi untuk di follow up oleh Menteri Keuangan. 

Seharusnya KPK melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan atas progres Perpres No. 35 Tahun 2018 di 12 kabupaten dan kota yang tersebar di Indonesia, dimana sampai tahun 2020 ini sudah beberapa PLTSa yang terbangun belum menghasilkan listrik, termasuk PLTSa Merah Putih Bantargebang yang dibangun oleh BPPT bersama Pemprov. DKI Jakarta.

Semua pembangunan PLTSa yang sudah berjalan tersebut diduga tidak dilengkapi dokumen-dokumen yang valid, seperti dokumen amdal dan yang pasti PLTSa dari 12 Kota tersebut melanggar UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Termasuk diduga terjadi adanya penyalahgunaan wewenang dan keluar dari azas manfaat dalam pengelolaan sampah.

Surabaya, 2 April 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun