Pemerintahan Jokowi-Maruf dalam kurun waktu 100 hari setelah pelantikan kabinet Indonesia Maju pada 20 Oktober 2019. Belum memperlihatkan keseriusan dalam menyelesaikan masalah sampah. Lintas menteri masih berfokus hanya pada Plastik saja.Â
Kinerja Dr. Siti Nurbaya Bakar selaku Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dua periode sangatlah buruk. Tidak ada tanda perubahan yang signifikan dan juga tidak belajar dari kegagalan pengelolaan sampah pada periode sebelumnya.
Sedikit refleksi masa lalu bahwa Presiden Jokowi pada periode pertama bersama Jusuf Kalla sudah komitmen menyelesaikan Sampah dan telah melakukan beberapa kali rapat kabinet terbatas untuk menyelesaikan masalah sampah di darat dan laut. Terang-terangan Jokowi meminta kepada para menteri yang terlibat dalam urusan sampah agar bekerja maksimal.
Tapi rupanya Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Maritim) sebagai Kordinator Nasional Jaktranas Sampah dan khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai leading sector persampahan belumlah memberi bukti nyata dalam penegakan regulasi pengelolaan sampah yang benar dan berkeadilan.
Keterangan YouTube: Penulis saat menjadi narasumber di RDPU Pembahasan RUU atas Revisi UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah di DPD RI, Gedung Nusantara V Senayan Jakarta (22/1)
KLHK dan lintas menteri serta lembaga lainnya yang ada dalam Perpres No. 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jaktranas Sampah), hanya subyektif mengurus sampah plastik sekali pakai (PSP), Aspal Mix Plastik dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Pemerintah masih saja berkutak-katik pada masalah issu plastik versi pencitraan atau pemaknaan ramah lingkungan yang sangat sempit. Sampah hanya disorot dari sudut ekologi saja tanpa melirik dan mempertimbangkan sudut ekonomi atas kemanfaatan sampah bila dikelola dengan benar dan bijaksana sesuai regulasi sampah.Â
Kementerian dan lembaga (K/L) hanya habiskan waktu, tenaga dan uang rakyat untuk membicarakan secara semu tentang PSP. Padahal sampah plastik sangat minim dibanding sampah organik. Paling parahnya KLHK "terkesan" ingin mematikan industri daur ulang dengan melarang menggunakan produk berkemasan PSP.Â
Baca juga:
Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia
Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi
Issu plastik yang lebih kurang empat tahun dihembuskan sendiri oleh "oknum" pemerintah pusat dan diikuti oleh pemerintah daerah (pemda) tersebut hanya menuai resistensi. Tepatnya pada ahir tahun 2015, lahirlah issu murahan yang menyesatkan masyarakat, pengusaha dan pemda di seluruh Indonesia. Itu semua karena akibat kebijakan keliru mengatasi sampah plastik oleh KLHK. Issu plastik tercipta hanya untuk menutup masalah kantong plastik.
Sumber atas issu plastik tersebut adalah adanya Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) yang diberlakukan pada tanggal 21 Februari 2016 ahirnya karena adanya protes yang keras dari Green Indonesia Foundation (GiF) Jakarta maka beberapa bulan kemudian KLHK bersiasat atau restrategi mengganti nama atau nomenklaturnya menjadi Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG). Sebuah plesetan kalimat yang hanya ingin mengaburkan penyalahgunaan wewenang terhadap kebijakan KPB-KPTG.
Pada kenyataannya sampai hari ini pihak KLHK masih memberi ruang kepada Toko Ritel anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dan Pasar Modern lainnya non anggota APRINDO di seluruh Indonesia untuk memetik uang rakyat (baca: konsumen) dan uang hasil penjualan kantong plastik diduga terjadi korupsi atau gratifikasi.Â
Anehnya KLHK satu sisi membiarkan penjualan kantong plastik, namun dilain sisi melarang penggunaan kantong plastik atau mendorong pemda untuk mengeluarkan kebijakan larangan penggunaan kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik atau melarang penggunaan PSP. termasuk Gubernur Bali dan Gubernur DKI. Jakarta memanfaatkan kebijakan subyektif KLHK yang sangat keliru tersebut.Â
Sebuah kebijakan yang kontra produktif dan merugikan rakyat dan pengusaha serta pemerintah sendiri, itu hanya ulah oknum tertentu di birokrasi dan pengusaha. Termasuk beberapa asosiasi ingin berselingkuh mengamankan issu plastik atau misteri KPB-KPTG dan muatan issu plastik lainnya yang saling memanfaatkan. Asosiasi harusnya berlaku adil agar tidak merugikan masyarakat dan komunitasnya sendiri.Â
Jadi praktisnya bahwa oknum KLHK yang menagani sampah belum menunjukkan niat baik untuk menyelesaikan masalah tata kelola sampah. Tapi hanya sebatas mendorong beberapa kebijakan populis dan pencitraan seperti larangan penggunaan kantong plastik, mendorong proyek aspal mix plastik serta Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Tanpa mengindahkan regulasi sampah yaitu UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) yang berbasis masyarakat.Â
Sangat aneh pemerintahan Jokowi Maruf
ini dengan membuat langkah membingungkan dan menohok diri sendiri dengan strategi bolak-balik, karena baru saja Presiden Jokowi meresmikan Pabrik Biji Plastik di Banten milik salah satu konglomerat Indonesia, sementara KLHK mendorong pemda di Indonesia untuk melarang menggunakan plastik sekali pakai. Indonesia seperti tidak waras mengurusi sampah atau melakukan pembodohan dan pembohongan publik untuk kepentingan subyektif kelompok.
Baca juga:
Menyoal Subyektivitas Anies Merevisi Perda Sampah Jakarta
YLKI Minta Road Map Pengurangan Sampah Plastik oleh Produsen Dikaji Kembali
Membunuh Potensi Ekonomi Sampah
KLHK sebagai leading sector persampahan dan lintas menteri lainnya yang terlibat dalam Jaktranas Sampah sama sekali tidak ada yang memahami dan menjalankan amanat regulasi persampahan yang berbasis masyarakat dengan orientasi ekonomi dalam pengelolaan sampah. KLHK justru melakukan pembiaran masalah sampah terjadi di daerah. Ahirnya bermunculan impor sampah, proyek atau pengadaan barang/jasa fiktif dalam persampahan.Â
Pemerintah dan pemda semua sama mempertahankan paradigma lama dengan hanya mengumpul dan membuang sampah ke Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA) dan tidak mengikuti petunjuk dalam UUPS yang mengamanatkan pengelolaan sampah di sumber timbulannya. Agar sampah bisa bernilai ekonomi dan menyejahterahkan masyarakat sebagai produsen sampah.
Akibat dari semuanya itu, pengelolaan sampah tidak mengalami kemajuan sejak pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama sampai periode kedua sekarang. Tidak ada revolusi mental yang terjadi dalam pengelolaan sampah, mulai pusat sampai ke daerah. Malah semakin parah dan tidak ada tanda-tanda keinginan untuk melakukan perbaikan sistem.
Kegagalan Presiden Jokowi dalam pengelolaan sampah terbukti tidak berhasilnya memenuhi target subsidi pupuk organik sebesar 1 juta ton/tahun oleh Kementerian Pertanian (Kementan), Dan hanya mampu suplier sekitar 350.000 ton/tahun. Hal ini disebabkan karena tidak ada sinergi antara KLHK dan Kementan.
Baca juga:
Jokowi Marah di Depan Menteri & Gubernur, Jengkel Soal Sampah
Jokowi Kesal Urusan Sampah, Pembangkit Listrik Jadi Solusi?
Sampah Gagal, Subsidi Pupuk Organik Ikut Gagal
Rakyat pasti tidak lupa janji dari Nawacita Jilid Pertama Presiden Jokowi yang akan membangun 1000 demplot Desa Organik dan 1000 desa lagi untuk periode kedua. Tapi apa yang terjadi, program Desa Organik Jokowi itu tidak kunjung terpenuhi. Kementan gagal memenuhi kewajibannya dalam pemenuhan subsidi pupuk organik.
Kegagalan subsidi pupuk organik dan 1000 desa organik linear kegagalan pengelolaan sampah. Keberhasilan program tersebut sangat terkait dengan berhasil atau tidaknya pengelolaan sampah. Gagal kelola sampah berarti akan gagal pula target subsidi pupuk organik dan pembangunan desa organik.
Baik Menteri LHK maupun Menteri Pertanian, keduanya tidak memaksimalkan atau lebih ekstrim bisa dikatakan mengabaikan potensi sampah organik yang melimpah. Seharusnya potensi sampah ini diperhatikan untuk mengangkat atau melakukan percepatan penciptaan lapangan kerja berbasis sampah. Jadi dalam mengurai masalah sampah dan subsidi pupuk organik, KLHK dan Kementan mutlak harus bersinergi.
Segera Jokowi Maruf mengganti atau meresufle Menteri KLHK dan Kementan dari unsur partai ke non partai. Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya Bakar dan Menteri Pertanian Dr. Syahrul Yasin Limpo, sama sekali kurang memahami masalah lingkungan apalagi sektor persampahan dan pertanian organik sangat minim pengetahuannya.
Tidak ada kemajuan Menteri LHK dalam progresnya selama 5 tahun ditambah 100 hari. Menteri LHK seharusnya bebas dari pengaruh partai. Karena pada sektor sampah sarat dengan kepentingan bisnis. Sekedar diketahui bahwa Siti Nurbaya dan Syahrul Yasin Limpo berasal dari Partai NasDem atau partai pendukung pemerintah.
Baca juga:
Muluskan ITF, Pemprov DKI Dorong Revisi Perda Pengelolaan Sampah.
Bahas Bantargebang di Paripurna, Anies Revisi Perda Sampah
Pembentukan Badan Urusan SampahÂ
Diharapkan segera Jokowi Maruf mempersiapkan dan membentuk Badan Persampahan Nasional atau sebuah lembaga khusus sampah dan pupuk organik yang bekerja dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden Jokowi, agar mudah melakukan monitoring dan evaluasi. Termasuk menghindari laporan-laporan fiktif dari para pembantu-pembantunya, seperti selama ini terjadi. Terlalu banyak info bersifat asal bapak senang (ABS).Â
Tujuan adanya institusi khusus persampahan agar terjadi kolaborasi lintas K/L. Fakta membuktikan dalam Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Jaktranas Sampah, bahwa ada sekitar 18 K/L minus Kementerian Pertanian, itu mereka masing-masing bergerak dan beberapa K/L tidak ada kontribusinya yang berarti. Maka Indonesia masih mengalami darurat sampah.Â
Lebih parahnya Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Jaktranas Sampah, Kementan tidak dimasukkan. Padahal institusi ini sangatlah penting. Mengingat sampah orgamik Indonesia sangat dominan (70-80) dari total sampah. Â Dimana Kementan adalah pasar atau pengguna terbesar produk olahan sampah organik.Â
Berdasarkan kondisi tersebut, sangat terbaca bahwa Presiden Jokowi dan jajarannya kurang serius dan tidak profesional mengatasi sampah terlebih tidak menjalankan regulasi sampah dengan benar sesuai amanat UUPS. Sehingga tata kelola sampah atau waste management tidak kunjung terlaksana. Hanya wacana dan pencitraan belaka.
Surabaya, 31 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H