Membaca kondisi persampahan Indonesia sejak Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) diundangkan sampai sekarang belumlah memberi pengaruh yang signifikan kearah yang lebih baik terhadap tata kelola sampah di tanah air. Justru semakin terjadi dilematis oleh pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) sendiri dalam menemukenali masalah dan solusinya.
Bahkan sejak tahun 2016 sampai sekarang terjadi gonjang-ganjing yang maha dahsyat atas issu plastik yang membawa tema klasik "ramah lingkungan" yang hanya menyorot dari dimensi ekologi tanpa dimensi lainnya seperti sosial, budaya dan ekonomi. Seharusnya teknologi semakin canggih justru janganlah berpikir sempit dan subyektif terhadap prasa terurai dan tidak terurai secara alami.
Pemaknaan ramah lingkungan itu diartikan secara sempit yang hanya bertumpu pada ecologi lingkungan tanpa memperhatikan adanya unsur atau efek ekonomi yang bisa timbul dari keberadaan sampah bila di kelola dengan baik sesuai amanat UUPS. UUPS sepertinya sangat dijauhkan dari fungsinya yang bermuatan sosial dan ekonomi.
Sesungguhnya UUPS sudah jelas mengamanatkan adanya proses daur ulang pada jenis sampah apapun. Tapi pemerintah dan pemda tidak mengindahkannya dan malah membuat kebijakan "melarang menggunakan plastik sekali pakai". Kebijakan ini sangatlah bertentangan dengan regulasi UUPS yang tidak hanya berorientasi pada ekologi tapi juga ekonomi yang berbasis komunal atau sosial dan budaya.
Dalam regulasi sampah UUPS dan beberapa regulasi turunannya memang terdapat beberapa celah yang bisa dipermainkan oleh oknum yang ingin memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Karena pengertian ramah lingkungan dalam UUPS tidak tercantum dalam devinisi pada UUPS tersebut.
Termasuk dalam UUPS sudah jelas berparadigma baru untuk tidak lagi membawa sampah ke Tempat Pembuangan Sampah Ahir (TPA) dengan Open Landfill, tapi dengan Control  Landfil atau Sanitary Landfill sejak tahun 2013 di 438 TPA seluruh Indonesia. Tapi semua ini diabaikan oleh pemerintah dan pemda. Ahirnya Indonesia terjadi darurat sampah berkepanjangan.
Baca juga:
Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia
Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi
Beberapa pasal dalam UUPS sangat berpotensi diplesetkan seperti pasal-pasal yang mewajibkan pengelolaan sampah agar dilaksanakan pada sumber timbulannya. Termasuk pada pasal pemberian insentif dan kompensasi dan juga tidak adanya penjelasan perlunya proses daur ulang untuk mengawal sampah yang tidak bisa terurai oleh proses alam. Maka sangat berpontensi terjadinya debat kusir.
Sesungguhnya bila pemangku kepentingan atau stakeholder berniat baik untuk menjalankan regulasi, maka UUPS sudah berada pada fungsinya. Namun karena Patendo terjadinya perang kepentingan, maka UUPS perlu di revisi untuk lebih menjelaskan peran masing-masing pihak agar solusi "Indonesia Bersih Sampah" bisa segera diwujudkan.
Green Indonesia Foundation (GiF) Jalarta tidak hentinya dari tahun ke tahun mengingatkan para pemangku kepentingan untuk mengaplikasi regulasi sampah tersebut untuk dijadikan pedoman dasar dalam mengelola dan mengolah sampah dengan benar dan bertanggung jawab.
Tapi rupanya oknum pemerintah pusat dan pemda malah bertingkah aneh dengan sengaja mengarahkan penjualan kantong plastik dan sekaligus melarang penggunaan kantong plastik. Kebijakan semu seperti ini harus segera dihentikan karena justru merusak peradaban dan terjadi pembohongan publik. Semua merusak lingkungan, bukan menjaga dan merawat bumi. Termasuk merusak tatanan perekonomian dan industri daur ulang.
Melalui catatan atau tulisan dalam perjalanan Makassar-Jakarta ini diharapkan parlemen di DPR/D, Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) ataupun MPR-RI agar turun gunung untuk turut meluruskan "Revisi UUPS" untuk mengurai masalah issu "ramah lingkungan" plastik. Karena sepertinya pembantu Presiden Joko Widodo kewalahan dalam mengatasi sampah Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai leading sector persampahan sangat jelas gagsl dalam mengurusi sampahvterpilah. Hanya sampah plastik yang menjadi perhatian penuh KLHK. Padahal sampah plastik volumenya sangat kecil dibanding sampah organik.Â
Diharapkan dalam revisi UUPS sedikitnya bisa lebih menekan atau fokus pada pengelolaan sampah organik untuk mendukung pengembangan pertanian organik berbasis sampah kota dan sampah jenis lainnya. Â
Tangerang, 21 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H