Pemerintah "paksakan" lagi Perpres No. 35 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Hanya Menambah embel-embel "ramah lingkungan" saja, atau bisa disebut Perpres No. 35 Tahun 2018 ini merupakan reinkarnasi Perpres No. 18 Tahun 2016 yang telah dicabut oleh MA.
Dasar karena PLTSa tersebut dipaksakan, Maka lihat hasilnya antara lain PLTSa Merah Putih Bantargebang bangunannya sudah rampung tapi belum menghasilkan listrik sama sekali. PLTSa di Solo juga masih belum jelas termasuk di Semarang, Denpasar, Makassar dan terakhir PLTSa Benowo Surabaya yang katanya akan diresmikan Presiden Jokowi bulan November 2019 lalu tapi senyatanya belum terjadi dan memang diestimasi akan menjadi besi tua saja.
BPPT Tidak Memahami Masalah Sampah dan PLTSa.
Sangat menyedihkan karena Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebuah institusi resmi pemerintah dianggap yang mampu meneliti dan mengkaji dampaknya secara komprehensif serta diharapkan pula mencerah para pemangku kepentingan dan terkhusus pihak KLHK dan masyarakat tentang efek atau bahaya yang ditimbulkan oleh PLTSa dengan teknologi incenerator.
Tapi sepertinya BPPT tidak on the track pada tugas dan tanggung-jawabnya secara profesional. Sangat subyektif dan tidak memahami kenapa Mahkamah Agung mencabut Perpres 18 Tahun 2016 tentang PLTSa tujuh kota.
BPPT justru mendorong dan membangun PLTSa Merah Putih dengan teknologi incenerator di TPA-TPST Bantargebang Kota Bekasi bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun juga hasilnya masih nihil sampai sekarang, walau itu sudah diresmikan pengoperasiannya sejak Maret 2019 oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi tersebut. Â
PLTSa Merah Putih Bantargebang merupakan implementasi dari hasil riset yang dilakukan oleh peneliti di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi BPPT di Serpong, Tangerang Selatan. PLTSa Bantargebang  ini ditujukan untuk menjadi percontohan secara nasional, khususnya sebagai solusi mengatasi timbunan sampah di kota besar.
Biaya yang dihabiskan BPPT untuk meriset masalah PLTSa sangat fantastis karena meriset barang yang salah atau keliru dan hal itu sudah dinyatakan oleh Mahkamah Agung. Total biaya riset mencapai Rp. 98 miliar dan total biaya pembangunan PLTSa mencapai Rp. 88 miliar.
Seluruhnya didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beritanya baca di "PLTSa Bantargebang Canggih, Ini Lima Fakta di Baliknya"
Proyek PLTSa Bantargebang dibangun selama satu tahun dari 21 Maret 2018 hingga 25 Maret 2019 dan prediksi operasi penuh (Juni 2019) oleh BPPT, tapi ternyata meleset dari perkiraan. Sungguh disayangkan karena BPPT tidak mampu membuktikan PLTSa bisa menghasilkan listrik sampai hari ini. Padahal PLTSa yang dirancangnya itu menelan biaya yang tidak sedikit jumlah. Bukankah ini sangat merugikan uang negara ?
BPPT menganggap bahwa PLTSa tersebut juga akan menjadi penyelesaian masalah timbunan sampah di perkotaan. Bahkan BPPT rencana memasukkan PLTSa tersebut kedalam e-katalog untuk dijual ke seluruh Indonesia dengan perkiraan harga 100 miliar.
BPPT Perlu Memahami Regulasi dan Karakteristik Sampah.