Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

[Menjawab] Besek Bambu, Simbol Kemerdekaan yang Digugat

22 Agustus 2019   00:59 Diperbarui: 22 Agustus 2019   09:30 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya hanya ingin menanggapi melalui kolom komentar di Lapak sahabat kompasianer Mba Maria G.Soetomo berjudul "Besek Bambu, Simbol Kemerdekaan yang Digugat" https://www.kompasiana.com/mariahardayanto/5d5d32c2097f362c622a1cf2/besek-bambu-simbol-kemerdekaan-yang-digugat?page=4  yang substansinya sedikit apriori atau stresing terhadap opini yang saya tulis di Kompasiana berjudul "Korban Isu Plastik di Hari Kurban" (13/08).

Tapi mengingat jangan sampai penjelasannya kurang lengkap. Juga kelihatannya tulisan saya tidak dibaca secara utuh oleh Mba Maria. Maka saya ingin menjawabnya atau memberi klarifikasi melalui tulisan ini. Agar publik bisa ikut pula bersama memahami perbedaan sikap menghadapi pelarangan kantong plastik secara umum.

Terima kasih sahabat kompasianer Mba Maria sudah kritisi tulisan opini saya dan itu wajar. Tapi beda pendapat itu wajar juga kan ? Namun juga tidak perlu terlalu jauh seakan memprotes Admin Kompasiana untuk opini saya tersebut diberi ganjaran HeadLine.

Memangnya mengganggu ? Tapi semoga aman saja dan tidak mengganggu tulisan lainnya. Mungkin nanti tulisan Mba Maria itu akan viral setelah saya tanggapi dan ahirnya juga akan mendapat hadiah HeadLine dari Admin Kompasiana.

Tentu admin punya penilaian tersendiri dalam mengamati setiap tulisan dan khususnya masalah issu plastik tersebut. Juga tidak perlu terlalu menyudutkan bahwa tulisan itu paling banter dibaca 100-500 orang, apalagi kita sesama kompasianer. Mari kita jaga bersama rumah besar Kompasiana.

Kompasiana adalah rumah kita bersama dalam berekspresi. Saya juga menulis di kompasiana sejak 2009 sampai sekarang tidak pernah mengejar banyaknya pembaca. Apalagi saya tidak cakap menulis dan masih banyak belajar. 

Cuma kebetulan dipersampahan ini memang aktifitas saya sejak lama, ini bidang profesionalisme saya. Bukan saya tiba-tiba menjadi penggiat dan pemerhati sampah dadakan, mungkin beda yang lain hehehe. Tiba-tiba menjadi pahlawan lingkungan sejati. Berkampanye kiri-kanan, padahal ada bisnis atau kepentingan yang menyertai didalamnya. Tidak berperan independen sebagai pembawa solusi persampahan Indonesia.

Juga perlu saya jelaskan bahwa dalam posisi saya sebagai pemerhati sampah dan mengawal regulasi (kebetulan Mba Maria sedikit mengulas juga). Maaf saya bukan hanya menulis lepas saja tentang persampahan. Hanya berteriak atau vokal saja dalam tulisan di Kompasiana dan media lainnya. Oh tidak sahabatku semua.

Tapi juga banyak terlibat dan dilibatkan langsung oleh pemerintah dan pemda. serta asosiasi persampahan dan industri. Tulisan saya juga, lebih kurang sama yang saya sampaikan dalam wawancara media cetak dan elektronik di beberapa TV Nasional (bisa tunggu penjelasan saya lagi tentang sampah di MetroTV tanggal 4 September 2019) dalam sebuah Program Plastik Fantastik (Program The Nation) yang dipandu oleh Ade Mulya.

Bisa telusuri porto folio saya melalui Mbah Google. Juga bisa telusuri YouTube saya termasuk ratusan judul tulisan tentang sampah ini di kompasiana. Saya memang suka menulis di Kompasiana, walau ada ruang lain saya bisa menulis. Tapi entah kenapa saya tertarik menulis di Kompasiana. Kompasiana saya anggap guru dan rumah bersama sahabat kompasianer lainnya.

Tidak sedikit pula yang menyinggung karena hanya dianggap berani menulis di Kompasiana. Banyak juga sahabat yang beda pandang tentang persampahan, justru mencela dan merendahkan saya karena cuma di Kompasiana bisa menulis. 

Mereka anggap kompasiana sebagai tempatnya penulis pemula... Hehe. Artinya saya dianggap penulis pemula. Walau saya tahu mereka habis akal bila bicara sampah. Tapi semua saya tidak peduli. Semua saya anggap motivasi, termasuk sorotan Mba Maria, saya anggap motivasi agar saya harus lebih belajar lagi yang bijak menerima koreksi.

Besek Bambu Bukan Pengganti Plastik

Sekedar diketahui bahwa saya tidak menolak penggunaan besek bambu, daun pisang dll dalam konteks penggunaannya secara insidentil. Tapi bila dikesankan atau akan dijadikan pengganti kantong plastik itu bukan solusi dengan alasan "ramah lingkungan" atau ingin menjaga bumi. Justru tidak akan mampu menggantinya untuk pemakaian massal. Sangat bisa diprediksi bahwa itu sebuah kemustahilan.

Belum lagi dampak negatif atas pemasukan pajak dan efek tenaga kerja bila pelarangan produk itu terjadi. Kelola sampah harus berpikir dan bertindak dengan keseimbangan antara ekologi dan ekonomi. Mana bisa besek bambu bisa mengganti kantong plastik secara umum. Jangan bandingkan di luar negeri, kantong plastik diganti kertas. Mereka memiliki daya beli yang kuat diatas rata-rata masyarakat Indonesia.

Mungkin belum dipahami bahwa solusi apa yang saya berikan terhadap pengguna besek dkk itu yang dipersepsi ramah lingkungan. Disamping tetap dibebaskan penggunaan kantong plastik, yang dipersepsi pula tidak ramah lingkungan itu.

Begini.... bagi saya tetap ada kantong plastik, namun siapa yang membawa atau memakai besek dll itu diberi ganjaran atau hadiah. Itu baru bermakna edukasi yang win-win solusi. Itu gambaran besarnya dan silakan baca beberapa tulisan saya tentang sampah pada lapak saya di Kompasiana. Banyak tulisan saya tentang sampah, silakan dipilih. Agar bisa memahami jalan pikiran saya tentang masalah sampah dan plastik. Apakah independen atau berpihak pada diri atau kepentingan kelompok tertentu.

Sedikit saya bicara progres tentang solusi yang diklaim ramah lingkungan itu seperti besek bambu, daun pisang dll. Bulan Juli lalu, saya ikut rapat di Kantor Kemenkomaritim Jakarta (23/07/19) dengan tamu rapat yang hadir adalah Bupati Biak Numfor dan beberapa stafnya. Rapat dipimpin oleh Dr. Safri Burhanuddin (Deputi IV Kemenko Maritim).

Usul saya pada Bupati Biak Numfor dalam rapat resmi itu adalah: Tolong di revisi Perbupnya tentang Larangan Penggunaan Kantong Plastik di Kab. Biak Numfor (karena Biak Numfor juga telah mengeluarkan perbup larangan penggunaan plastik).

Solusi saya adalah, biarkan toko retail modern dan pasar rakyat menyiapkan kantong plastik. Namun bila ada pembeli yang membawa Inokson (Tas Anyaman di Biak) itu diberi hadiah dan pembeli yang tidak membawa Inokson harus membayar kantong plastik. 

Itu antara lain cara pandang saya dalam solusi pengelolaan sampah plastik yang bernilai edukatif bukan diskriminasi terhadap sebuah produk. Bukan dengan melarang penggunaan kantong plastik. Saya tidak berpikir ekologi semata, tapi juga berpikir ekonomi. Karena pada urusan sampah, sarat dengan nilai ekonomi bila kita berpikir maju, bukan berpikir instan dan sederhana saja. Banyak orang berpikir mundur dalam menyikapi makna ramah lingkungan dan ada pula yang memanfaatkan situasi yang carut marut.

Perlu didalami bahwa solusi sampah ini bukan melarang penggunaan produk, tapi sisa dari produk yang tidak terpakai (baca: sampah) itu yang harus di kelola. Harus dipahami pula bahwa ada produk penggunaan massal dan ada pula produk hanya digunakan insidentil karena diproduksinya juga bukan massal tapi produksi rumahan kategori insidentil.

Melarang penggunaan kantong plastik, bukanlah sebuah solusi sampah yang kondusif dan komprehensif. Justru pemerintah dan pemda itu curang karena kenapa dibiarkan atau diberi izin produksi kantong plastik sementara dilarang menggunakan atau dilarang menjual ? Pemerintah mau menarik pajak tapi melarang pengusaha menjual barangnya. Pemerintahan dan pemerhati macam apa ini ? Makanya, diduga keras dibalik pelarangan penggunaan kantong plastik ini, ada pesan-pesan sponsor !!!

Satu sisi yang paling aneh adalah, pemerintah dan pemda melarang menggunakan kantong plastik tapi dilain sisi toko retail modern diberi kesempatan menjual kantong plastik. Bagaimana pendapat Anda tentang hal tersebut ? Maukah membiarkan cara-cara negatif ini, dengan alasan klize penyelamatan bumi !!!

Jadi tidak ada kaitan antara menghambat produksi rumahan dengan penggunaan besek bambu, daun pisang dll. dalam ranah solusi sampah. Jangan dibenturkan antara solusi sampah dengan peningkatan sektor UKM. Justru malah saya lebih menghargai penggunaan besek bambu itu dalam fungsi edukasi. Tapi bukan dalam fungsi total mengganti kantong plastik. Karena itu sebuah kemustahilan dan kemunduran dalam berpikir dan bertindak di zaman milenial.

Ilustrasi: Buku saya yg berisi rekomendasi pada pemerintah dan pemda. Sumber: Dokpri
Ilustrasi: Buku saya yg berisi rekomendasi pada pemerintah dan pemda. Sumber: Dokpri
Pertanyaannya ?

Pertama: Pahamkah apa motivasi dasar munculnya pelarangan kantong plastik, sampai saya memprotes kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ? 

Ada masalah besar yang mungkin Anda belum ketahui. Bila mau ketahui saya bisa kirimkan buku saya "Bank Sampah, Masalah dan Solusi" Maaf saya sudah menulis buku dan menerbitkannya. Orang yang Anda sebut dalam tulisannya itu, umumnya sudah baca buku saya. Termasuk Mba Tiza Mafira (Direktur GIDKP) dll. Serta beberapa pejabat yang Mba Maria tulis itu.

Kedua: Kalau Mba Maria paham point satu diatas, maka akan menemukan makna kenapa saya ada tulis kalimat "pembohongan publik" atau bahkan ada kata "pencitraan" (kebetulan Mba Maria copas tulisan saya di sana).

Ketiga: Kantong Plastik yang dilarang itu justru full daur ulang dan menjadi inceran para pemulung di Tempat Pembuangan Sampah Ahir (TPA). Justru saya setuju bila Mba Maria soroti impor biji plastik, karena termasuk saya soroti juga. Hal itu ada sekitar 1 juta t/y impor biji plastik original yang menjadi sampah.

Keempat: Mampukah atau masukkah kategori ramah lingkungan bila besek bambu itu diterima sebagai pengganti kantong plastik kebutuhan massal. Termasuk kebutuhan untuk pasar basah ?

Kelima: Kalau alasan menjaga bumi dari sampah, sehingga Kantong Plastik yang pemerintah kategorikan sebagai plastik sekali pakai (PSP) itu dilarang dipakai, kenapa bukan melarang seluruh kemasan PSP yang membanjiri pasar modern ? 

Sebut misalnya sachet sampho, kemasan mie instan, plastik rokok, kemasan minyak, kemasan beras dll. Justru jenis PSP multylayer itu yang banyak tertimbun di TPA karena tidak memiliki atau minim kelayakan ekonomi untuk di daur ulang. Sementara kantong plastik itu memiliki kelayakan ekonomi (silakan tinjau salah satu TPA yang terdekat dari 337 TPA di Indonesia), agar tidak salah berbicara tentang persampahan.

Kesimpulan dari jawaban saya ini Mba Maria dan untuk para pembaca adalah, mengurai sampah dalam sebuah solusi cerdas yang win-win, haruslah kita memahami substabsi masalahnya. Lalu analisa (SWOT) dari semua sudut pandang yang melekat pada benda yang disebut sampah termasuk apa makna ramah lingkungan dalam perspektif regulasi sampah.

Pandangan dan persepsi tentang ramah lingkungan dalam kaitan solusi sampah perlu membaca dan memahami regulasi persampahan. 

Sekiranya UU. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) tidak pernah ada. Maka persepsi ramah lingkungan oleh sebagian besar kelompok swadaya masyarakat di Indonesia dan termasuk Menteri, Gubernur dan Walikota atau Bupati yang sudah mendorong dan memgeluarkan pelarangan penggunaan kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik dapat diterima atau kami terima.

Tapi karena UUPS mengamanatkan atau menekankan "pengelolaan sampah" dalam mengurai masalah sampah dan termasuk sampah plastik. Berarti UUPS tersebut yang menolak kebijakan pelarangan penggunaan produk kantong plastik. 

Sekali lagi bukan saya yang melarang atau menolak. Tapi UUPS yang menolaknya. Sementara saya taat pada regulasi yang paling tinggi yaitu UUPS. Walau saat ini marak keluar kebijakan pelarangan kantong plastik, itu soal lain dan saya tidak akan bahas dalam kesempatan ini. Semoga dimaklumi dan Terima kasih.

Salam Kompasianer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun