sampah. Bank sampah masih dilihat sebelah mata. Padahal eksistensi bank sampah dan para pemulung person dan yang berorganisasi sangatlah stratejik mendukung usaha industri daur ulang.Â
Umumnya Industri atau pengusaha daur ulang termasuk asosiasi atau kelompok industri lainnya, masih apriori terhadap keberadaan bankMereka saling membutuhkan atau saling melengkapi. Kenapa demikian ? Karena industri dan/atau asosiasi juga masih berparadigma lama dalam memandang atau menyikapi permasalahan persampahan di Indonesia. Harusnya ikut memikirkan kelangsungan bank sampah dengan berparadigma baru mengikuti regulasi sampah.
Bank sampah sesungguhnya partner Industri berbahan baku sampah atau limbah domestik (organik dan an organik). Industri otomatis susah memanfaatkan Pasal 21 UU. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, untuk mendapatkan insentif. Misalnya pembebasan PPn, Perizinan, Lokasi dll. Tanpa memiliki hubungan administratif.
Termasuk tidak memiliki #power kekuatan (politik anggaran) bila penerapan insentif hendak dilaksanakan atau meminta kompensasi. Bila mau kuat, seharusnya diterbitkan kembali Permendagri 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah dan diejawantah dalam peraturan daerah (perda) tentang insentif atau disinsentif tersebut. Pelaku atau penggiat sampah harus bersama mendorong masalah regulasi tersebut. Hal ini menjadi absolut.
Karena pengusaha dan perusahaan industri daur ulang atau pelapak dan lainnya tidak ada ruang menerima insentif atau kompensasi bila tidak berhubungan (administrasi) program dengan bank sampah alias tidak bermitra atau membina bank sampah sebagai ujung tombak penyiapan bahan bakunya.
Karena bila industri hanya berhubungan dengan pelapak atau industri memiliki usaha lapak sampah sendiri berarti tidak bersentuhan dengan pengelolaan sampah secara utuh sebagaimana yang dimaksud dalam regulasi. Karena industri itu hanya membeli bahan baku alias scrap, bukan mengelola sampah.
Jadi bila ingin masuk ranah mengelola sampah, berarti industri harus berhubungan langsung dengan bank sampah secara administratif, melalui program-program pemberdayaan misalnya pelatihan, bantuan prasarana dan sarana produksi yang dipergunakan oleh bank sampah melalui koperasinya atau secara langsung dengan bank sampah.
Dalam mengaplikasi atau mewujudkan waste manajemen. Stakeholder harus saling rangkul (administratif) bukan hanya hubungan insidentil per kebutuhan #bisnis semata. Bank sampah adalah basic waste manajemen yang harus dirangkul dan dibina.
Industri atau pengusaha daur ulang dan bank sampah tidak bisa bekerja secara parsial, sebagaimana yang ditunjukkan selama ini, semua pelaku pengelolaan dan pengolahan sampah bekerja secara sendiri-sendiri, tanpa peduli dengan yang lainnya. Hal ini tidak berlaku dalam urusan sampah.
Bisnis sampah harus sinergi dan bergotong-royong. Itulah karakteristik mengurus dan berbisnis sampah. Tidak boleh ada saling memanfaatkan. Tidak boleh ada pecundang. Itulah uniknya sampah. Barang yang berbau menyengat dan terkesan kotor, tapi sesungguhnya sampah sangat menginginkan pikiran dan hati yang bersih.
Seharusnya asosiasi menjadi mediator antara perusahaan CSR dan perusahaan berkemasan EPR dengan bank sampah yang menjadi agent terdepan dalam pengelolaan sampah. Maka sebuah hubungan absolut harus terbangun antara asosiasi, perusahaan berkemasan dan bank sampah #tripatrit. Tanpa hubungan itu, maka sepanjang itu pula permasalahan sampah tidak akan selesai berkobar.