Pengelolaan persampahan tidak dapat dipisahkan dengan peran kelembagaan yang bekerja secara profesional dan fokus. Pengelolaan sampah pada dasarnya melibatkan stakeholders.
Dalam pengelolaan sampah yang berbasis 3R (Reduce atau mengurangi sampah untuk mencegah penimbunan, Reuse atau penggunaan kembali barang yang telah dipakai dan Recycle atau mendaur ulang sampah menjadi barang yang bernilai ekonomis).Â
Stakeholders persampahan terdiri dari masyarakat penghasil sampah, LSM, pihak swasta, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Masing-masing stakeholder tersebut memiliki peran dalam pengelolaan persampahan.
Bank sampah sebagai wakil pemerintah dalam mengaktualisasi misi sosial dalam Gerakan 3R di masyarakat. Maka bank sampah harus memiliki "klasifikasi" atau "grade" untuk memudahkan identifikasi dan profesionalisme pengelolaan sampah.
Tujuan dari "klasifikasi" tersebut untuk menjadi pedoman dasar identifikasi oleh pemerintah, pemda, perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Extanded Produsen Responsibility (EPR) ataupun lembaga donor lainnya dari dalam dan luar negeri untuk memberi bantuan.Â
Subsidi atau bantuan berupa Natura (prasarana dan sarana) maupun Biaya Operasional dan Biaya Hidup kepada pengelola bank sampah dalam menjalankan misinya sebagai perekayasa sosial.
Klasifikasi bank sampah didasari atas letak wilayah kerjanya. Karena sasaran kegiatan bank sampah mempunyai perbedaan satu sama lainnya. Maka jenis prasarana dan sarana bisa saja berbeda. Walau tetap ada persamaan secara umum.
Kebutuhan bank sampah berupa prasarana dan sarana yang dibutuhkan itu berbeda, ada peralatan yang spesifik dan umum. Misalnya bank sampah pada wilayah: Rumah Sakit, Pelabuhan, Bantaran Sungai, Pantai, Perumahan, Pertanian, Pasar Modern, Pasar Tradisional, Mall, Apartemen atau Rusun, Kuliner, Sekolah, Kampus, Kawasan Industri, Kawasan Perkantoran dll.
Berdasarkan klasifikasi bank sampah, maka bantuan-bantuan yang akan disalurkan ke bank-bank sampah tersebut akan menjadi efektif. Artinya bukan serampangan dalam memberi subsidi. Tapi lebih memperhatikan pada azas manfaatnya agar tidak mubadzir.
Jenis bantuan itu pula perlu memperhatikan perkembangan kreatifitas pengelola bank sampah dan anggota masyarakat yang menjadi sasaran edukasi pemilahan sampah. Tentu nantinya terdapat kebutuhan yang berdasar pada perkembangan sosialisasi dan edukasi.
Peran Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan khususnya Asosiasi Bank Sampah Indonesia (Asobsi) sangat stratejik dalam membangun dan memperkuat serta mengklasifikasi atau menentukan grade kelembagaan bank sampah sebagai mitra sejajar dengan asosiasi-asosiasi industri berbahan baku limbah atau sampah serta perusahaan CSR dan EPR.