Pembicaraan atau pembahasan tanpa ahir solusi atas issu plastik khususnya sorotan dan larangan penggunaan plastik kemasan atau pembungkus plastik sekali pakai (PSP). Sejak 3 tahun terakhir, sangat murah-meriah alias edukasi murahan dalam menghiasi pemberitaan dan termasuk terjadi debat kusir di group-group whatsapp, facebook atau medsos lainnya.
Termasuk dan diduga menjadi peluang bagi oknum pemerintah dan pemda dalam mendesign seminar, fgd, workshop, gerakan-gerakan instan pungut sampah di laut, sungai dll. Dilaksanakan oleh berbagai pihak, termasuk lintas kementerian dan lembaga (K/L).Â
Hanya sebagai pencitraan dalam menemukan solusi sampah. Padahal semua imposible, karena sesungguhnya nampak dipermukaan tidak punya niat menyelesaikan masalah sampah dan sampah plastik.
Kenapa saya katakan "murah-meriah" karena penyorot - tukang kampanye - larangan plastik ini sesungguhnya ambigu atau ambivalensi. Karena sasaran kebijakannya tidak sesuai undang-undang pengelolaan sampah alias mis regulasi.
Begitupun sorotan terhadap produknya juga keliru. Karena PSP yang dilarang cuma Kantong Plastik, PS-Foam atau styrofoam dan sedotan plastik. Sementara jenis kemasan PSP sangat banyak dipasaran dan kantong plastik bukan termasuk kategori PSP karena masih digunakan minimal dua kali untuk tempat sampah di rumah masing-masing.
Misalnya Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Kebijakan ini lebih ambisius melarang PSP dengan alasan penyelamatan lingkungan. Seharusnya pergub kebijakan yang lebih makro sifatnya dan bukan dalam substansi eksekusi, sebagaimana Pergub. Bali tersebut.
Seharusnya Gubernur Bali dan gubernur lainnya di Indonesia mendorong bupati dan walikota untuk mengaplikasi Pasal 13 dan 45 hal pengelolaan sampah kawasan dengan kombain Pasal 44 hal keharusan pemda membuat perencanaan penutupan TPA pada UU. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Bukan gubernur sebagai eksekutor tapi bupati dan walikota yang harus menjadi eksekutornya.
Gubernur Bali dan beberapa walikota dan bupati hanya menyorot tiga jenis PSP yang dilarang dalam Pergub dan/atau Perwali/Perbup tersebut yakni kantong plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik.Â
Walau diduga masalah larangan penggunaan kantong plastik ini direspon dan didorong oleh pemerintah pusat, tapi janganlah pemda mau ikuti kebijakan yang tidak sesuai regulasi. Itulah eksistensi otonomi daerah (otoda). Tidak serta merta memakan mentah kebijakan yang bisa dianggap keliru, apalagi yang berpotensi merugikan rakyat (baca: konsumen).
Khususnya aturannya di Bali lebih keras, akan menjadi bumerang "menusuk pemerintah dan pemda sendiri" karena mewajibkan setiap orang dan lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual menyediakan pengganti atau substitusi PSP.
Juga melarang peredaran, distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat, pelaku usaha, desa adat, dan lainnya. Sementara pengganti PSP yang dilarang itu, juga belum ada sampai sekarang. Pemerintah dan Pemda tidak sadari kekeliruannya tersebut.