Banyak sekali jenis PSP yang benar-benar sekali pakai. Harusnya sekalian dilarang saja. Jangan hanya tiga jenis tersebut. Jangan tanggung-tanggung, bila perlu sekalian tutup saja pabriknya.
Jumlah PSP kantong plastik sangat sedikit dibanding PSP kemasan lain seperti, kemasan mie instan, kemasan minuman atau makanan ringan, kemasan minyak curah, kemasan beras dll.
Perlu diketahui pula bahwa PSP kantong plastik, styrofoam dan sedotan plastik yang dilarang tersebut masih layak daur ulang (LDU) artinya mempunyai nilai ekonomi. Sementara kemasan-kemasan yang dibebaskan atau tidak dilarang, itu tidak ada pembeli atau peminat yang disebut plastik kemasan jenis bisa di daur ulang (BDU).
Sampai saat ini plastik jenis BDU belum ada pemulung atau pelapak pedagang sampah yang mau memungut atau membeli. Justru jenis PSP BDU ini yang menjadi sampah dan menumpuk di Tempat Pembuangan Sampah (TPA). Kenapa bukan jenis plastik BDU ini yang dilarang ?
Mengantisipasi PSP BDU hanya perlu dan seharusnya pemerintah dan pemda menggandeng asosiasi dan LSM untuk menggalakkan program pembentukan bank sampah secara massif di seluruh Indonesia. Tapi bank sampah versi regulasi, bukan bank sampah yang berparadigma lama.Â
Penyiapan Infrastruktur Bank Sampah inilah yang harus dibentuk pada setiap desa, untuk antisipasi PSP BDU saat ini dan lebih khusus dalam menyambut pemberlakuan kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) pada tahun 2022. Bila bank sampah tidak siap pada masa berlaku efektifnya EPR, maka dana-dana EPR berpotensi akan menjadi bancakan korupsi.
Pengertian EPR adalah konsep yang di desain untuk mengintegrasikan biaya-biaya lingkungan kedalam proses produksi suatu barang sampai produk ini tidak dapat dipakai lagi, sehingga biaya lingkungan menjadi komponen harga pasar produk tersebut.
Tujuan dari EPR adalah untuk mendorong produsen meminimalisir pencemaran dan mereduksi penggunaan sumber daya alam dan energi dari setiap tahap siklus hidup produk melalui rekayasa desain produk dan teknologi proses daur ulang melalui atau melibatkan bank sampah sebagai agen perubahan.
Produsen harus bertanggung jawab terhadap semua hal tersebut, termasuk akibat dari pemilihan material, proses manufaktur, pemakaian produk, dan pembuangannya. EPR dimaksudkan sebagai corporate sosial responsibility (CSR) yang diperluas.
Sehingga sangat memungkinkan bagi industri untuk menerapkan kebijakan penampungan kembali barang yang rusak atau kemasan (limbah) melalui distributor dan memberdayakan keberadaan bank sampah di setiap desa.
Selain sebagai bentuk tanggung jawab sosial, mekanisme EPR itu harus diintegrasikan dengan sistem pelayanannya. Timbal baliknya, apresiasi konsumen terhadap industri bersangkutan pun dapat meningkat. Yang terakhir ini lebih terkait ke usaha mengedukasi konsumen agar memilih produk ramah lingkungan. Lagi-lagi disana fungsi strategisnya bank sampah.