Setiap daerah di Indonesia beragam budaya dan tradisi yang dilakukan dalam menyambut bulan suci Ramadan. Mengikuti ciri suku atau kearifan lokal yang ada. Tentu masih banyak suku yang mempertahankan budaya daerahnya.
Umumnya daerah di Indonesia sudah hampir punah tradisinya. Mungkin karena perkembangan zaman atau akibat pertumbuhan atau peralihan generasi ke generasi. Sehingga tradisi sudah terabaikan karena pergeseran nilai budaya tersebut.
Semisal bahasa daerah, umumnya generasi kekinian sudah tidak bisa lagi berbahasa daerah. Walaupun masih mengerti maksud dari bahasa daerahnya, cuma tidak mampu lagi melafalkan. Kalau generasi yang lahir tahun 60-70an, umumnya masih bisa dan mampu berbahasa daerah.
Sebagai orang Bugis-Makassar di rantau, sedikit berbagi tradisi suku Bugis-Makassar menyambut Ramadan. Biasanya seminggu sebelum dan sampai hari "H" masuknya Ramadan memanfaatkan rutinitas tahunan jelang memasuki bulan puasa Ramadan yang selalu dinantikan kehadirannya.
Mulai mengunjungi tempat-tempat wisata dan berziarah ke makam leluhur dan keluarga, hingga menggelar ritual penyucian jiwa ala Bugis-Makassar yang dikenal dengan istilah "mabbaca" atau baca do'a. Umumnya bersama tokoh agama atau di kampung disebut "panrita" yang biasanya menemani. Tradisi berziarah ke makam ini umumnya suku di Indonesia melakukannya.
Ritual "mabbaca" yang masih membudaya di Suku Bugis-Makassar dilakukan sebelum memasuki Ramadan. Merupakan ritual adat nenek moyang yang tujuannya menyucikan rohani atau jiwa sebelum masuknya bulan suci Ramadan, dengan harapan agar hati tetap terjaga selama menjalankan ibadah puasa serta di ridhoi oleh Allah SWT.
Membaca doa - mabbaca - secara bersama dengan keluarga untuk dikirimkan kepada leluhur dan keluarga yang telah tiada, merupakan ritual turun temurun yang hingga saat ini masih dilestarikan. Termasuk penulis jumpai di daerah atau pada suku yang lain.
Termasuk di malam pertama sahur ada tradisi unik yang dilakukan masyarakat, yakni makan bersama sekeluarga dan saling memaafkan diantara keluargasebelum sahur dimulai. Tradisi ini juga sama dilakukan pada saat hari lebaran Idul Fitri.
Beragam jenis makanan atau kue khas Bugis-Makassar yang diletakkan di lantai beralaskan tikar dan ada juga ditempatkan di atas ranjang tempat tidur. Di iringi prosesi "mabbaca" dengan doa yang dipimpin oleh seorang guru atau disebut panrita.
Makanan berupa "sokko" atau "songkolo" atau nasi dibuat dari beras ketan putih dan hitam yang disertai dengan ayam masak lengkuas atau disebut "nasu likku atau nasu poppo" ditambah dengan kue khas Bugis-Makassar yaitu onde-onde tradisional atau biasa oleh masyarakat Suku Bugis-Makassar disebut kue umba-umba.