Perihal: Presiden Jokowi Diminta Cabut Kebijakan Larangan Kantong Plastik, PS-Foam, Sedotan Plastik serta Impor Scrap Plastik dan Stop Pembahasan Cukai Plastik, Aspal Mix Plastik.
Sehubungan dengan rencana dan/atau telah dikeluarkannya beberapa peraturan daerah (perda), peraturan gubernur (pergub) atau peraturan walikota (perwali) tentang Larangan Penggunaan Kantong Plastik, PS-Foam, Sedotan Plastik dll. Dimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) beralasan untuk penyelamatan lingkungan dari pencemaran penggunaan plastik dan mengarahkan penggunaan pada kantong atau kemasan plastik ramah lingkungan.
Maka kami dari Green Indonesia Foundation, lembaga nir laba berkedudukan di Jakarta, meminta kepada pemerintah dan pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mempertimbangkan dan/atau menarik kembali kebijakannya tersebut dengan alasan sebagai berikut:
- Pemerintah dan pemda dianggap keliru karena "melarang memakai produk atas kantong plastik, PS-Foam ataupun sedotan plastik" dengan alasan mengurangi sampah plastik. Seharusnya sampah (plastik) yang dikendalikan atau dikelola pada sumber timbulannya atau melalui aplikasi Pasal 13 dan Pasal 45 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.
- Pemerintah dan pemda terlalu prematur mengambil kebijakan dalam menanggulangi sampah plastik. Seakan kebijakan ini membolehkan merusak lingkungan dengan cara siapa yang mampu membayar kantong plastik yang tinggi bisa merusak lingkungan. Ini semua menjadi substansi atau nafas atas timbulnya larangan penggunaan kantong plastik serta rencana pengenaan cukai kantong plastik konvensional serta larangan impor scrap plastik. Semua merupakan kebijakan parsial, tanpa pertimbangkan sudut pandang lainnya.
- Sampai hari ini belum ada keputusan atau hasil penelitian resmi yang menyatakan bahwa ada plastik yang berkualitas ramah lingkungan. Hanya ada plastik yang mampu terpecah-pecah saja dengan cepat dan tetap meninggalkan jejak mikro plastiknya. Sehingga kantong plastik yang ditengarai ramah lingkungan sama saja dengan kantong plastik konvensional yang tidak ramah lingkungan.
- Pemerintah atau Pemda seakan dan/atau diduga memaksa penggunaan satu atau beberapa produk kantong tertentu, yang justru mereka juga belum paham kebenaran produk yang di klaim sebagai ramah lingkungan (diduga akan terjadi monopoli) atau kemasan plastik lainnya diberi cap ramah lingkungan dan melarang penggunaan produk kantong plastik konvensional lainnya dengan mengatasnamakan penyelamatan lingkungan. Sama saja pemerintah dan pemda menciptakan masalah baru.
- Kewajiban bagi seorang penjual untuk membungkus barang dagangannya agar dapat dibawa untuk dinikmati oleh seorang pembeli. Sebab kantong plastik diketahui sebagai alat dari pihak penjual yang disediakan secara gratis (walau sesungguhnya tidak gratis, karena jelas nilai kantong plastik kemasan itu diakumulasi dari harga barang dagangan atau jualannya) yang muncul dari pola hubungan hukum jual-beli, bukan bersumber dari pihak pembeli. Sehingga bertentangan dengan Pasal 612 KUH Perdata yang menjamin adanya kewajiban penyerahan kebendaan oleh si penjual dengan penyerahan yang nyata kepada si pembeli selayaknya penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam hal kebendaan itu berada.
- Apakah sah dan berlaku suatu benda, in casu kantong plastik, yang dianggap mencemari lingkungan dijadikan objek yang diperintahkan memakainya melalui perda dan/atau perwali. Sehingga bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan objek perikatan jual-beli haruslah berupa kausa (sebab, isi) yang halal. Kantong plastik tidak dapat dipungkiri merupakan suatu benda yang muncul dalam setiap transaksi jual-beli ritel dari pihak pengusaha ritel selaku si penjual. Selama ini begitulah praktek jual-beli barang ritel dan penjual pada pasar-pasar lainnya, Â guna menyempurnakan serah terima barang yang dibeli darinya maka seluruh barang belanjaan dibungkus dengan kantong plastik atau kemasan plastik yang praktis dan murah. Setelah dibungkus, sempurnalah jual-beli secara ritel tersebut sebagaimana diamanatkan oleh KUH Perdata agar selanjutnya dapat dinikmati oleh si pembeli.
- Bila Pemerintah dan pemerintah daerah memaksakan kebijakan "Larangan Penggunaan Kantong Plastik Konvensional" ini, sama saja dan diduga terjadi dorongan kepada penggunaan produk-produk tertentu (monopoli) dan/atau sama saja pemerintah dan pemda memaksa "melanggar norma jual-beli" kepada penjual (ritel) sesuai amanat KUH Perdata dan kebijakan ini bisa berefek atau berkembang dikemudian hari ke pasar-pasar lainnya.
- Perlu diketahui bahwa dorongan adanya perda atau perwali larangan kantong plastik ini berasal dari terbitnya Surat Edaran Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun No : S.1230/PSLB3-PS/2016 tertanggal 17 Februari 2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar (SE-KPB), yang diberlakukan sejak tanggal 21 Februari 2016, dimana SE-KPB ini telah diprotes atau dibantah dengan resmi oleh salah satu lembaga swadaya (Green Indonesia Fiundation) Jakarta pada tahun yang sama terbitnya SE-KPB tersebut (30 November 2016) karena SE-KPB itu dianggap dan/atau diduga terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan cq: Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (Ditjen PSLB3-KLHK).
- Perda, Pergub atau Perwali Larangan Penggunaan Kantong Plastik (sekali pakai) ini berpotensi mengganggu iklim ekonomi dan investasi termasuk akan melumpuhkan industri daur ulang plastik yang berakibat pada tenaga kerja dll. Jadi jelas kebijakan ini tidaklah ramah lingkungan secara komprehensif. Malah akan merusak sendi-sendi ekonomi bangsa dan berefek negatif kepada rakyat atau konsumen itu sendiri.
Rekomendasi dan Saran
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka kami merekomendasi sebagai berikut:
- Dalam menemukan solusi sampah dengan benar, adil dan bertanggungjawab, diharapkan pemerintah dan pemerintah daerah agar segera melaksanakan dengan tegas dan serius Pasal 13 dan Pasal 45 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Pasal-pasal tersebut terdapat prasa "wajib" dilaksanakan. Maka bila tidak dilaksakan akan berdampak pidana kepada siapa yang melanggar aturan undang-undang persampahan tersebut, ternasuk kepada pihak pemerintah dan pemerintah daerah yang lalaimenjalankan perintah atau amanat undang-undang tersebut.
- Pemerintah cq: Kementerian Dalam Negeri agar mencabut Perda atau Perwali Larangan Penggunaan Kantong Plastik serta menerbitkan kembali Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah yang telah dicabut oleh Mendagri pada tahun 2016. Permendagri ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam mengelola sampah (Surat Permintaan Penerbitan Permendagri No. 33 Tahun 2010 telah dikirim oleh Green Indonesia Foundation ke Mendagri dengan tembusan Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla dan Menko Bidang Maritim dengan surat No. 21/GIF-Jkt/XII/2018 Tertanggal 16 Desember 2018).
- Diminta kepada pemerintah untuk merevisi (lampiran) Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga serta Perpres No. 83 Tahun 2018 Tentang Pengendalian Sampah Laut. Dimana perpres tersebut tidak memasukkan Kementerian Pertanian. Sementara Kementerian Pertanian sangat perlu dimasukkan dan/atau terlibat dalam perpres tersebut mengingat karakteristik sampah Indonesia didominasi sampah organik sekitar 70-80 % dari sampah lainnya (sampah anorganik dan limbah B3). Pengelolaan sampah organik ini pula akan mendukung subsidi pupuk organik kepada petani yang selama ini pula pemerintah cq: Kementerian Pertanian gagal memenuhi target 1 (satu) juta ton/tahun. Dimana kami duga kegagalan tersebut karena tidak menjadikan sampah organik yang berlimpah itu menjadi bahan baku dasar dalam produksi pupuk organik tersebut.
- Segera Kementerian Koperasi dan UKM mengeluarkan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM untuk mendukung kegiatan atau misi ekonomi kreatif bagi pengelola sampah atau bank sampah melalui dorongan pembentukan Primer Koperasi Bank Sampah di setiap kabupaten dan kota untuk menjadi rumah ekonomi bersama bagi pengelola sampah atau bank sampah dalam mendukung gerakan 3R melalui pelaksanaan Pasal 13 dan Pasal 45 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, dalam substansi materi pengelolaan sampah pada sumber timbulannya.
- Solusi sampah harus dilaksanakan secara komprehensif (totalitas) yang bukan hanya membuat atau menciptakan solusi parsial dengan menyorot sampah plastik saja, dengan melibatkan dan kerjasama semua unsur terkait. Mengatasi sampah harus dari hulu atau pada sumber timbulannya. Sumber timbulan sampah bukan berada pada industri daur ulang (kantong plastik) atau menyerang produknya.
- Terdapat kekeliruan pula hal "Larangan Penggunaan Kantong Plastik satu kali pakai" di Toko Modern atau Ritel. Sementara kantong plastik yang dipergunakan Toko Modern atau Ritel tersebut dipergunakan lebih dari satu kali. Maka perwali-perwali tersebut cacad demi hukum. Maka sesegera mungkin dicabut dan dianggap tidak pernah ada.
- Kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar segera berhenti mendorong pemerintah daerah atau Bupati/Walikota untuk menerbitkan Perwali Larangan Penggunaan Kantong Plastik, PS-Foam, Sedotan Plastik. Karena semua ini merupakan tindakan yang tidak benar.
- Presiden cq: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar mendorong Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) agar segera melaksanakan dengan benar amanat regulasi persampahan. Khususnya Pasal 13 dan Pasal 45 serta Pasal 44 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.
Demikian himbauan dan rekomendasi ini untuk menjadi bahan pertimbangan kebijakan pemangku kepentingan dalam pengelolaan dan pengendalian sampah di Indonesia.
Jakarta, 31 Desember 2018
H. Asrul Hoesein (08119772131), Direktur Green Indonesia Foundation
Berita Terkait:
1. Pemerintah Keliru Melarang Penggunaan Kantong Plastik.
2. Skenario Pemerintah Melarang Kantong Plastik.