Asrul "Pada Pasal 13 dan 45 UUPS nampak tertulis - prasa wajib - sangat jelas bila pasal ini tidak dijalankan oleh pengelola kawasan akan berimplikasi pidana dan bisa dipolisikan. Begitupun pemerintah dan pemda bisa digugat oleh masyarakat pada PT. TUN karena tidak jalankan regulasi dalam pengelolaan sampah kawasan"
Kenapa Pemerintah dan Pemda tidak taat regulasi ? Dan diduga keras terjadi unsur koruptif dan bermotif sbb;
- Pemerintah cq; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak tegas dalam mengambil kebijakan untuk "mengarahkan" pemda untuk melaksanakan pengelolaan sampah di kawasan timbulannya. Sehingga pemda juga merasa senang dengan kelemahan sikap KLHK tersebut. Terjadi main mata antara pusat dan daerah. Apalagi dikaitkan dengan penilaian Adipura, diduga terjadi jual beli atas penghargaan tsb. Contoh Kota Makassar sangat tidak wajar mendapat Adipura (perhatikan pakta TPA Tamangapa Kota Makassar yang jarak antara TPA dan Perumahan hanya sekitar 6 (enam) meter saja. Seharusnya Adipura Kota Makassar itu ditarik atau dianulir. Juga daerah-daerah lain umumnya tidak pantas dapat Adipura. Presiden Jokowi seharusnya Moratorium Piala Adipura.
- Pemda ingin selalu monopoli pengelolaan sampah, agar dengan mudah mengeluarkan APBN/D atau bentuk dana lainnya dengan tetap mengelola sampah secara kompensional (birokrasi ber paradigma lama).
- Biaya operasional mulai pengumpulan, pengangkutan dan pengelolaan sampah di TPA berupa Tiping Fee, CSR dan lainnya sangat diduga keras dapat dijadikan bancakan korupsi. Termasuk dengan mudah dapat memanipulasi data dan dana kompensasi warga terdampak TPA. Hal ini kurang dilirik oleh penegak hukum. Coba KPK, jadikan ulasan ini sebagai jalan untuk menyelidiki dan menyidik masalah ini.
- Pengadaan prasarana dan sarana persampahan tetap dilakukan walau tidak sesuai azas manfaatnya, Â termasuk pengadaan kendaraan angkutan sampah, mobil penyapu jalan sampai alat berat di TPA.
- Kalau sampah dikelola di kawasan timbulannya, pemda tidak lagi seenaknya mengeluarkan dana pengelelolaan sampah yang besar, karena pengelolaan sampah berpindah kepada pemilik kawasan dan kepala desa atau kelurahan sebagai ujung tombak utama pengelola sampah. SKPD persampahan takut kehilangan fulus pengelolaan sampah.
- Pemerintah dan pemda memaksa membangun PLTSa di TPA dimana saat ini menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (PLTSa), untuk 12 Kabupaten dan Kota di Indonesia. Dimana dasar sebelumnya telah dicabut oleh Mahkamah Agung atas gugatan Komunitas Nasional Tolak Bakar Sampah yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar.
- Perpres No. 35 Tahun 2018 dan Perpres No. 18 tahun 2016 ini jelas sama saja pelanggarannya dan hanya merupakan reinkarnasi perpres sebelumnya. Perpres No.35 Tahun 2018 ini tidak lama lagi harus digugat untuk dibatalkan (PLTSa ini juga disamping berinvestasi besar, juga akan meraup Tiping Fee yang besar pula sekitar Rp. 300.000 s/d Rp. 500.000 per ton - angka yang jadi target permainan). Jadi seharusnya pemerintah menyadari apa sesungguhnya kesalahan mendasar Perpres PLTSa ini. Jelas pada ahirnya bila pemerintah tetap menjalankan Perpres 35 Tahun 2018 ini dapat dipastikan akan menimbulkan resistensi, baik dari sisi hukum, sosial, ekonomi, kesehatan dll. Intinya Perpres PLTSa ini melanggar UUPS, yang seharusnya sampah dikelola di sumber timbulannya sesuai Pasal 13 dan Pasal 45 UUPS dan bukan dikelola secara sentralistik seperti di TPA atau PLTSa (PLTSa itu model TPA gaya baru).Â
- Inilah bukti arogansi oknum-oknum pemerintah dan para mitranya yang menyandera oknum "orang pintar" atas ilmu dan pengalamannya di dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator dan fasilitator dalam persampahan, sehingga tidak pernah menemukan solusi yang benar-benar komprehensif dan pro rakyat.
Sebuah fakta "pembiaran" negatif dan massif yang dilakukan pemerintah dan pemda dalam pengelolaan sampah selama ini. Sehingga muncullah masalah-masalah yang sesungguhnya tidak perlu terjadi bila pasal 13 dan pasal 45 UUPS ini dijalankan. Misalnya sampah di laut, sungai dll tidak akan pernah ada bila pola pengelolaan sampah dilaksanakan di sumber timbulannya.Â
Buat pengelolaan sampah di masing-masing kawasan  pelabuhan, baca dan belajar solusi Klik di Sini. Tidak usah malu mengikuti solusi yang telah diberikan. Indonesia ini terlalu besar bila hanya komunitas Anda yang ABS dan AIS yang mau memikirkannya (Baca: SOP Strategi Solusi Sampah) yang ada di KLHK dan Lintas Menteri. Karena strategi dari kami tersebut sudah mengikuti regulasi sampah yang ada. Termasuk Strategi Atas Solusi Sampah di Laut, sila Bro and Sis Klik di SINI. Sadarlah bahwa Tuhan Ymk akan menutup mata dan pikiran orang-orang yang dzalim pada diri dan orang lain. Semoga Allah Swt memberi maaf dan kesadaran padamu untuk berhenti dzalimi rakyat Indonesia.
Bila pengelolaan sampah dilaksanakan sesuai regulasi maka:
- Mengurangi biaya yang sumbernya dari PAD atau APBN/D dan sebaliknya akan memasukkan sumber PAD baru dari kontribusi atas pengelolaan sampah dari pihak pemilik atau pengelola sampah kawasan.
- Tercipta dan terbangun usaha serta lapangan kerja baru.
- Pekerjaan pemerintah dan pemda lebih ringan karena hanya melakukan monitoring dan evaluasi disamping fungsi regulator dan fasilitator.
- Sekitar 80% kendali pengelolaan sampah akan bergeser dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) ke pemerintah desa atau kelurahan yang bermitra dengan masyarakat atau pihak pengelola sampah kawasan di masing-masing wilayahnya. Maka sangat di pahami bahwa kenapa masalah ini dihindari oleh pemda. Karena fulusnya kurang dikelola lagi dan berpindah tuan !!!
Kesimpulannya bahwa solusi sampah bukanlah di Hilir (TPA, Sungai, Danau, Laut PLTSa, dll), tapi solusi sampah di Hulu atau sumber timbulan sampah itu sendiri. Yuk jujurlah dalam jalankan regulasi, hentikan cara-cara kompensional yang beraroma korupsi dan kotor tersebut. Sesungguhnya para oknum birokrasi leading sector (pemerintah dan pemda) persampahan itu sudah terpantau permainan-permainan negatif didalam pengelolaan sampah ini. Bila Anda tidak hentikan kerja curang tersebut, Anda akan lebih buruk dari sampah dan bisa jadi Anda akan menempati kamar baru di Hotel Prodeo.
Diharapkan kepada para penegak hukum mulai dari pusat sampai ke daerah, dapat menjadikan ulasan ini sebagai informasi awal di dalam penyelidikan dan penyidikan (lidik dan sidik) masalah "korupsi" dalam tata kelola sampah yang tidak kunjung selesai, malah semakin menjadi masalah besar dan terjadi "darurat korupsi" sampah secara berkelanjutan tanpa punya niat untuk merubah paradigmanya dalam menyikapi sampah. Sampah akan tetap selalu menjadi bancakan korupsi, bila pemerintah dan pemda tidak merubah mindsetnya dalam kelola sampah Indonesia.
Saran:
Kementerian Kordinator Maritim (Kemenkomar) atau Kementerian Kordinator Ekonomi, harap serahkan sepenuhnya pengelolaan sampah pada KLHK dan kementerian lainnya yang memang punya hak mengurus sampah ini. Nampak kebijakan yang keliru, seperti Perpres PLTSa, Aspal mix Plastik dll. Seharusnya para Kantor Menko tersebut bila faham masalah sampah. Maka hanya akan mendorong kementerian terkait dan pemda untuk fokus melaksanakan pengelolaan sampah kawasan atau melaksanakan regulasi dengan benar, bukan memaksa bangun PLTSa. Sadarlah bahwa apa yang pemerintah lakukan selama kurun waktu 3 (tiga) tahun ini dalam pengelolaan sampah, hampir semua keliru dan stag.
Bila regulasi sampah dijalankan dengan benar, maka biaya lebih efektif dan efisien serta pro rakyat (circular economy). Bukan bangun PLTSa berbasis konglomerasi dan tidak pro rakyat. Tidak perlu selalu mencari celah dengan membuat aturan-aturan atau permen atau perpres hanya akan mencari pembenar atau ingin melindungi kesalahan yang ada. Mari jujur pada rakyat. Mari tegakkan Pancasila dalam urusan sampah.