'Telah kau sadari bahwa orang baik yang bertempat di pembuangan sampah sekalipun akan berjasa dan mulia karena ia telah menyingkirkan sampah yang mengganggu masyarakat. Namun sebaliknya, orang yang jahat, sekalipun bertahta di tempat mulia dan terhormat, ia adalah perusak dan pengacau masyarakat karena ia sebetulnya adalah sampah" demikian petuah bijaksana dari K.H. Hasan Abdullah Sahal dalam buku Wisdom of Gontor.
Judul dan substansi tulisan ini terinspirasi dari komentar sahabat seprofesi di persampahan Mas Agus Subagya di Bantul DIY dengan komentarnya di lapak FaceBook "Reduksi sampah adalah memperluas pengolahan volume sampah menjadi bernilai ekonomi. Sapientia et Virtus/Kebijakan dalam kebajikan" atas status saya Pengurangan Sampah bukan Pengurangan Pakai Produk.
Ada maksud apa status FB tersebut ? Ya, tujuannya adalah meluruskan paradigma kelola sampah Indonesia. Fakta terjadi di dalam pengelolaan sampah, bahwa progres dengan gaya "solusi dan kampanye" oleh oknum birokrasi dan didukung sebagian besar Asosiasi, LSM, NGO, penggiat sampah dan lingkungan berpotensi mempengaruhi terjadinya persepsi yang bisa membingungkan masyarakat.
Bila dibiarkan berlalu begitu saja, akan merusak tatanan ekonomi nasional. Sangat terbaca modus yang mengikutinya, diduga terjadi konsfirasi dan kepentingan besar didalamnya.Â
Secara de jure dan de fakto menyerang produk (barang) dalam kampanyenya untuk mengurangi sampah, bukan produk sampah atau sisa pemakaian produk yang di kurangi atau diminimalisir atau di"zero"kan melalui kelola sampah tersebut. Padahal perintah kelola atau pengurangan sampah ini sangat jelas tercantum dan runtun dijelaskan dalam regulasi persampahan yang ada.Â
Dalam kondisi seperti ini, timbul pertanyaan sederhana bahwa:
- Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) tidak membaca gejala negatif ini ya ? Bahwa kurang lebih tiga tahun ini (2015-2018), proggres yang ditunjukkan oleh kementerian yang menangani persampahan tidak menunjukkan fakta positif di lapangan bila dibandingkan solusi atau pertemuan membahas masalah di tingkat pusat (baik melalui gerakan bersih, seminar, FGD dll). Tidak ada proggres yang solutif. Sementara menolak solusi yang kami Green Indonesia Foundation Jakarta pada setiap kesempatan pertemuan resmi dan tidak resmi tingkat kementerian dan pemda, termasuk pada Pemprov. DKI Jakarta. Semuanya masih berparadigma lama kumpul-angkut-buang dalam kelola sampah. Semua mis regulasi sampah. Fakta klik di "Asrul Bicara Sampah di Menko Ekonomi"
- Apakah juga Jokowi-JK dan seluruh menteri terkait tidak pernah membaca surat dan laporan-laporan yang saya kirim secara resmi ?
- Apakah Jokowi-JK sadar bahwa proggres beberapa kali Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) tentang persampahan belum membuahkan hasil signifikan dan tanda ke arah proggres yang benar juga tidak ada, bahkan bila ada kebijakan pasti mendapat resistensi yang cukup signifikan. Antara lain dicabutnya Perpres 18 Tahun 2016 tentang PLTSa, penolakan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar yang sampai saat ini masih menyimpan misteri atas dana kantong plastik tersebut.
- Apakah para penegak hukum termasuk Badan Intelijen Negara (BIN) republik ini, tidak pernah membaca situasi atau setidaknya membaca berita dalam media mainstream dan online perihal sengkarut atau ke"darurat"an sampah Indonesia ?
- Apakah para sahabat asosiasi, lembaga swadaya masyarakat, penggiat atau pemerhati sampah, komunitas atau paguyuban sampah dan lingkungan, pengelola atau tokoh penggerak bank sampah lainnya tidak menyadari kondisi carut marut persampahan yang saat ini, Indonesia banyak disuguhi gerakan-gerakan parsial atau seremoni seakan dan diduga semua itu adalah "pembohongan dan pembodohan publik" termasuk penilaian Adipura sungguh memuakkan dan membawa banyak tanya ?
- Apakah para ahli-ahli dan pemerhati pertanian dan perkebunan tidak membaca kegagalan Kementerian Pertanian dalam memenuhi target "Subsidi Pupuk Organik" lebih disebabkan karena pemerintah dan pemda tidak memberdayakan sampah organik berlimpah untuk dijadikan pupuk organik kompos ?
- Apakah jurnalistik atau komunitas media juga ikut luput tidak membaca situasi dan kondisi darurat sampah ini, sehingga hampir pasti pemberitaan dugaan permainan negatif dalam persampahan ini seperti tenggelam ditelan masa ?
Kebijakan dan Kebajikan dalam Kelola Produk dan Sampah
Pemerintah (Presiden dan DPR) tentu dengan kebijakannya berdiri industri-industri untuk memproduksi bermacam produk dengan masing-masing bentuk perlindungan baik terhadap hukum, industri, tenaga kerja, produk dan perlindungan konsumen dari sisi kesehatan, lingkungan dll. Segudang kebijakan. Indonesia dikenal sebagai negara terbanyak memiliki regulasi. Tapi kadang berani melabrak regulasi.
Padahal sangat jelas dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), senyatanya terdapat ancaman pidana bagi pelanggarnya. Termasuk yang memberi informasi keliru melalui media mainstream dan media elektonik serta media online (medsos) bisa dan berpotensi terjerat UU. ITE perihal menyebarkan kebencian. Termasuk kegiatan atau gerakan yang merusak tatanan ekonomi, bisa terjerat UU. Tipikor.
Industri yang mengikuti kebijakan tentu akan menghasilkan produk yang baik. Selanjutnya akan muncul usaha distribusi atau suplier dan pedagang atau pengusaha sehingga sampailah produk itu di tangan konsumen (baca:masyarakat).
Ada pemakaian atau penggunaan produk oleh konsumen maka tersisalah barang yang disebut sampah. Semakin tinggi taraf ekonomi masyarakat juga seiring meningkatnya belanja, tentu semakin banyak sampah pula yang bisa diberdayakan, itulah mungkin sebuah kebijakan mendapatkan kebajikan.Â