Indonesia Mau Kemana? dok_asrul
Sebenarnya disadari bahwa, pasrah tanpa usaha merupakan pertanda runtuhnya iman seseorang, terkhusus pada rukun iman ke enam (percaya pada qada dan qadar). Ia benarlah itu, karena agama menuntun atau memberisolusi atau roadmap kepada kita untuk mengatasinya. Bisa dengan tangan (kekuasaan), bisa dengan mulut (lisan) atau cara terakhir dengan hati (nurani).
Heran juga melihat kondisi Indonesia saat ini, sepertinya bukan dinamika kehidupan normal lagi yang manusia lakonkan, tapi merupakan dinamika abnormal, terkhusus kepada perilaku warga negara yang kebetulan mengelola langsung negeri ini (baca:pejabat).
Sedikit agak pasrah dan emosi pernyataan ini, bisa jadi bukan hanya mewakili person tapi sebagian besar rakyat berpendapat yang sama. Bukan tanpa alasan, kelihatan apapun koreksi, sikap atau kondisi rakyat, mau mati atau hidup, para penguasa tetap akan melaksanakan kehendaknya semau rasa dan pikirannya.
Ini fakta, sepertinya pemerintah tidak lagi berhadapan dengan manusia seperti dirinya, namun hanya merasa berhadapan dengan tembok datar tanpa corak.Kalaupun ada corak, itu hanya satu warna. Naudzubillah.
Gonjang ganjing republic ini sepertinya, manajemen dan “moralitas” sudah tidak ada, benar kata teman saya “makan itu manajemen”. Sepertinya negara ini di urus dengan prinsip “tiba masa tiba akal” atau manajemen of crisis, tanpa fungsi manajemen di dalamnya apalagi fungsi spiritual sangat jauh.
Kita coba telisik beberapa hal:
- Anarkis oleh sekelompok “preman” di beberapa tempat, sepertinya polri pasrah, membiarkan senjata berseliweran, sepertinya negara ini darurat perang. Beberapa alasan dibuat polisi; info terlambat, macet, kurang personil, tugas dilain tempat. Sekalian saja katakan, SPJ belum keluar dari pimpinan, atau pimpinan lagi cuti, study banding, rapat, dlsb. Bagaimana ?
- Pembatalan kunjungan Presiden SBY, beberapa jam sebelum berangkat ke Belanda (5/10), setelah upacara HUT TNI ke-65 (pesawat kepresidenan dan rombongan sudah standby di Lanud. Halim Perdanakusuma), sebuah pertanda lemahnya intelijen Indonesia, mana Badan Intelijen Negara (BIN). Kasus RMS dan Presiden SBY di Pengadilan Belanda itu, dapat diprediksi dengan jelas, dan bukan menjadi alasan utama, mau bikin geger saja negera ini. Belum lagi ada hak imunitas setiap kepala negara yang berkunjung ke negara lain. Ini bukan alasan force majure. Ya, benarlah kalau Perdana Menteri Belanda dan Ratu Belanda kecewa dengan pembatalan ini, bisa jadi Indonesia dianggap kekanak-kanakan atau waspada yang berlebihan. Sepertinya Pak SBY, kurang mempercayai kepemimpinannya sendiri (coba perhatikan saat Pak SBY memberi penjelasan pembatalan di Halim Perdanakusuma, nampak raut wajah emosi dan gelisah), mimik seperti ini, bisa diartikan macam-macam; Seriuskah? Dramatisasikah? Ataukah.......?. Padahal masalahnya sepele, bukan kami curiga lagi, tapi sedikit heran dengan formasi kenegaraan yang ditampakkan di Halim Perdanakusuma saat itu, kalau memang harus dihadapi tuntutan (RMS) itu, hadapi saja, kenapa takut. Tapi kalau tidak, ya abaikan saja. Indonesia lagi berduka, bencana dimana-mana, Pak SBY harus focus pada bencana ini.
- Proses pergantian Kapolri Jend. Bambang HD, sangat dramatis dan tertutup. Bisa jadi berdampak negatif di tubuh polri sendiri, tidak membina kader, malah menghancurkannya sendiri. Sangat tidak professional. Alasan UU membenarkan, ia benar, tapi itu UU ada norma yang membuntutinya dan punya dampak negative kalau tidak hati-hati. Indonesia perlu perubahan yang sangat mendasar tentang amandemen segala UU. Lucunya, pasca penyerahan nama calon kapolri dari Presiden ke DPR, Kapolri menghimbau lagi para jenderal lainnya untuk mendukung Komjen. Timur Pradopo. Kalau memang tindakan ini benar, tidak perlu dihimbau. Karena wajarlah mereka mendukung. Bagaimana ?
- Pemberantasan teroris atau perampokan terlalu didramatisir, akhirnya fungi-fungsi yang ada didalam pemerintahan ini tidak berjalan efektif, khususnya di polri itu sendiri, inilah akibat dari tidak sinerginya polri dan seluruh komponen pengelola negeri ini. Semua mau hebat. Bagaimana?
- Begitu pula jangan harap pemberantasan korupsi bisa tuntas, kalau KPK, Polri dan Jaksa, tidak koordinasi yang baik serta dinapasi oleh Presiden SBY. Mustahil berhasil, paling berputar-putar saja penanganannya. Kami apatis, karena system yang tidak jalan. Kenapa, ada yang ditutupi. Bagaimana ?
- Diharap kepada media, Televisi khususnya, tidak perlu di blowup, aktifitas segala bentuk “pembenaran” sikap para orang “pintar” negeri ini, tidak usah undang untuk talk show, seperti itu anggota DPR, asbun saja di televisi, rakyat muak melihatnya. Masih banyak berita prodiktifitas lainnya yang bisa mencerdaskan pemirsa (rakyat). Buat program yang mendidik bangsa.
- Banyak masalah yang saya tidak perlu detailkan disini, misalnya Kasus Mafia Pajak, bukan cuma Gayus Tambunan, banyak gayus-gayus lain di negeri ini, dll. Wow, Indonesia memang sudah menggurita yang namanya itu “kasus rekayasa”. Preman menggurita di negeri ini; ada preman hutan, preman politik, preman berjubah, preman kerah putih, preman benaran. Bagaimana ?
- Percuma, ada pendidikan Anti Korupsi di sekolah, bila para orang tua (baca:pejabat) masih menghalalkan korupsi. Tambah beringas “premanisme” saja di negeri ini, bila anak didik sudah faham korupsi, tapi orang tuanya (baca:panutan) tidak sadar-sadar juga. Bagaimana
- Indonesia tidak butuh himbauan, tapi butuh activity positif yang tentu bermoral (nurani), bukan wacana (retorika belaka). Wahai Orang tuaku (Pak SBY dan Budiono) serta saudaraku yang duduk di Senayan (DPR),para menteri KIB II, abaikan (break) dulu sejenak akan kepentingan pribadi (politik) Anda itu.Mari kita buka mata, telinga, dan rasa kita, negeri ini menangis, merintih, merontah, sangat ingin lepas dari derita ini. Sandiwara atau dramatis memang kadang diperlukan, tapi bukan sekarang sobatku. Teguran Allah Swt, sangat jelas dan transfaran terhadap kita yang amburadul mengurus dan mencermati kehidupan ini.
Postingan ini untuk saling mengingatkan, pula sekaligus doa kepada Allah Swt. Kami mohon kepada-Mu ya Allah, bila kami sebagai “penerima amanah” masih belum bertoleransi terhadap sesama serta toleransi terhadap lingkungan dan terkhusus belum mengindahkan periingatan-Mu, maka pantaslah kami diberi peringatan (berupa bencana,dll), agar kami bertobat selanjutnya kami beriman kepada-Mu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H