[caption id="attachment_197912" align="alignleft" width="250" caption="Sumber Gambar: Google Image_@Asrul"][/caption]
Dalam menjaga tegaknya hukum di Indonesia, peran penegak hukumsangat dibutuhkan, termasuk diharapkan masyarakattetap kritis namun tetap berada dalam koridor (konstruktif). Dalam menegakkan keadilan, tiga komponen penting yang harus direformasi secara serius adalah undang-undang, penegak hukum serta lembaganya (Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan dan KPK).Dalam postingan ini terkhusus saya akan stressing kepada penegak hukumnya itu sendiri (saya pikir ini yang memegang peranan penting, tanpa menyepelekan regulasi dan institusinya, karena ini adalah “manusia” sebagai penggeraknya).
Penegak hukum berada di garda terdepan menjaga terwujudnya tertib hukum dalam kehidupan masyarakat, melalui kegiatan pencegahan pelanggaran hukum, penertiban, penjagaan,sampai pada tindakan (proses) penyelesaian hukum yang terjadi (ditengarai di Indonesia ini banyak masalah yang di”laci”kan, awalnya terangkat, namun tidak punya ending, sering penulis katakan “membuka tapi tidak menutup” alias tidak “berpuasa” atau “sahur namun tidak buka puasa” atau pulang ke rumah seakan-akan berpuasa di tengah keluarga (bohongi diri sendiri), artinya di siang hari mereka makan “konspirasi” atau terjadi perselingkuhandengan “setan” atau setidaknya “barter” perkara).
Kembali ke penegakan hukum di Indonesia, disamping tugas mulia penegak hukum tersebut, para penegak hukum tidak hanya dituntut berdiri di garda terdepan penegakan hukum, tapi juga berada di garda depan “keteladanan hukum dan moral”. Alangkah naifnya jika penegak hukum sendiri tidak menjadi teladan penegakan hukum dan moral. Sudah pasti dengan demikian, hokum tidak bisa ditegakkan sebagaimana mestinya (kisruh…kisruh lagi….dan lagi….) dan pula kalau demikian masyarakat juga tidak akan menghormati penegak hukum, celakalah kita, celakalah Indonesia, sebagai Negara hukum.
Badut Pentasnya adalah “oknum” Penegak Hukum.
Hal ini penting kita tegaskan dan angkat kepermukaan sebagai bahan diskusi untuk mencari solusi terbaik untuk masyarakat, bangsa dan Negara yang kita cintai bersama ini. Sehubungan dengan kejadian akhir-akhir ini di mana oknum penegak hukum sendiri melakukan pelanggaran hokum dan moral secara terang-terangan dan sengaja. Seperti kejadian polisi melakukan pelecehan seksual terhadap orang yang dianggap perlu ditertibkan, Satpol PP yang melakukan penertiban dengan cara kekerasan, oknum hakim menerima suap, Kasus Komjen Polisi Sunoduadji, Kriminalisasi KPK, Keterlibatan oknum jaksa pada Kasus “Gayus” Mafia Pajak, Tudingan Yusril Ihza Mahendra kepada Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung Ilegal, dan banyaklah kasus pemerasan, suap kolusi, korupsi yang melibatkan oknum penegak hukum yang menjadi berita buruk dan memalukan dan tidak bisa diidentifikasi satu persatu (mulai dari pusat sampai pelosok desa), kekerasan/penganiayaan aktivis ICW, Tama SL. sertaterakhir yang dihebohkan oleh “Majalah Tempo” adalah Rekening Gendut Perwira Polisi, ini semua merupakan potret keprihatinan masyarakat Indonesia. Ini pantaslah dikatakan bahwa “Apa Kata Dunia”, pinjam istilah promosi “iklan” pajak.
Jika kemudian akhirnya timbul protes dalam bentuk demo, tawuran, dari masyarakat, lembaga social masyarakat dan mahasiswa termasuk buruh pabrik/industri, maka itu adalah akibat logis yang harus dimaklumi dan disikapi dengan bijak. Bahwa dalam melakukan protes tersebut, para pemrotes melakukan tindakan-tindakan yang juga melanggar hukum atas nama upaya menegakkan hukum. Sungguh ironis dan memalukan dalam dunia hukum kita.
Satu hal yang amat penting disadari oleh semua pihak, penegak hukum dan masyarakat termasuk oknum pemerintah dan parlemen, yaitu pentingnya moralitas menyertai hukum, pesan khusus juga kepada ahli hukum atau pakar hukum termasuk para pengacara/advokat, janganlah memberi keterangan atau penjelasan serta pandangan hukum (ber”muat”an) yang bisa menyesatkan masyarakat. Kasian masyarakat, merintih sekarang ini.
Penegak hukum tidak cukup hanya berbekal peraturan perundang-undangan saja untuk menegakkan hukum, tapi melupakan moralitas, dalam penegakan hokum itu sendiri. Sebab bagaimanapun, hukum ingin ditegakkan dalam kehidupan masyarakat yang menuntut perlakuan-perlakuan yang manusiawi, yang tidak melanggar hak dan martabat manusia.
Kenyataan-kenyataan tersebut diatas seharusnya menyadarkan para pemimpin negeri ini, khususnya para pemimpin tertinggi lembaga-lembaga penegakan hukum, tentang betapa pentingnya terus melakukan (reformasi brokrasi) pembinaan moral para aparat penegak hukum di lingkungannya. Betapa tidak, sebab dengan moralitas yang rapuh, para penegak hokum justru akan menjadikan aturan hukum sebagaialat untuk melanggar hukum dan moral itu sendiri.
Marilah kita sadar, kembalikan Indonesia ke”habitat”nya sebagai bangsa bermoral dan beragama.
Damai Indonesia, sejahtera RAKYAT…. Stop syahwat materi dan kekuasaan.
Postingan terkait :
Century Gate! Perlukah Forum “bersama”, klik di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H