[caption id="attachment_191358" align="alignleft" width="215" caption="dok;asrulhoeseinbrother"][/caption]
Pesimisme dan keluhan adalah kewajaran pada hari ini. Begitu Indonesia menjadi topic pembicaraan, maka lebih sering Indonesia dipandang dari sisi negative. Indonesia penuh dengan kegagalan, deretan kesemrawutan masalah dan kasus, serta kekurangan yang tanpa habis.
Mengapa kita lebih suka menfokuskan pada kegagalan sambil mengabaikan kemajuan ? bangsa kita memiliki stok kasus (masalah) yang luar biasa banyaknya. Apa saja yang kita bicarakan pasti disana ditemukan masalah, pasti ada kekurangan.
Berbicara kesejahteraan, maka kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan pada 2010 diperkirakan 32,7 juta. Berbicara pendidikan, maka kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa hampir80% siswa Indonesia yang diukur dengan test of international match and science memiliki skor sangat rendah dan dibawah minimal. Berbicara tentang kesehatan, maka standar pelayanan kesehatan kita sangatlah rendah, Berbicara tentang lingkungan hidup, maka situasi kita sangat memprihatinkan. Ironis bukan…!!!!!
Tidak adakah keberhasilan di republic ini? Ada banyak, tapi ita tidak membicarakan disini. Saat republic ini didirikan, lebih dari 95% penduduknya buta huruf. Bayangkan puluhan juta manusia Indonesia sanggup memanggul senjata, sanggup mendorong revolusi, tapi tidak bisa menulis nama sendiri. Kita buta huruf secara kolosal. Namun hari ini rakyat Indonesia yang buta huruf tinggal 8%, itupun mayoritas adalah penduduk lanjut usia. Bangsa mana di dunia, yang rakyatnya sebesar dan setersebar ini, yang bisa memutarbalikkan buta huruf total menjadi melek huruf total ?. Itu adalah pencapaian luar biasa. Itu adalah prestasi kolektif seluruh anak bangsa, bukan prestasi satu-dua pemerintahan.
Melek huruf adalah awal keberhasilan. Akses pada pendidikan berkualitas untuk setiap warga Negara Indonesia adalah janji berikutnya yang harus dilunasi.Saya membayangkan suatu saat nanti jika kita ditanya tentang apa kekayaan Indonesia, dan jawabannya bukan lagi melimpahnya minyak, gas, tambang, hutan, dan kekayaan lain. Tapi jawabnya adalah “manusia atau SDM Indonesia”, pada saat itu menandai bahwa republic ini, baru mulai masuk era kemajuan.
Ironisnya, di dalam negeri kita berkeluh kesah, sementara di luar negeri kita dipandang dengan penuh decak kagum. Indonesia di nilai dunia sebagai negeri yang stabil, memilik pertumbuhan ekonomi positif, dan mampu bangkit kembali setelah dihantam krisis keuangan 1997-1998. Prestasi ekonomi Indonesia inilah yang mengundang sebagian ekonom menempatkan Indonesia dalamkelompok kekuatan baru dunia: BRIIC (Brazil, Rusia, India, Indonesia, dan China).
Sesungguhnya kita harus melihat fenomena di Indonesia secara positif. Sudut pandang positifbisa membulatkan hati kita bahwa kemajuan itu senyatanya terjadi di republic ini. Dengan kata lain, menilai situasi Indonesia harus juga menilai membandingkan antara Indonesia sekarang dan Indonesia dulu. Tidak hanya membandingkan realitas sekarang dengan kondisi ideal, atau dengan Negara lain.
Kita perlu memperhatikan kemajuan dan keberhasilan. Melihat yang sudah dicapai, tidak hanya memperhatikan yang belum dicapai. Keseimbangan dan objektivitas bisa mendorong kita untuk memiliki optimisme. Apalagi bila kita secara cerdas membedakan antara sikap optimism dan sikap mendukung pemerintah, serta membedakan sikap kritis dengan sikap pesimistis. Optimis terhadap bangsa tidaklah mendukung pemerintah. Sikap kritis justru harus dipertahankan, tapi sikap pesimistis harus dihapus dan jangan takut untuk optimistis.
Optimisme tersebut hanya “modal awal”. Sikap ini mesti diikuti dengan semangat melakukan perubahan, pembaruan, dari semua jenjang (level) dan disegala sector masyarakat. Pandangan positif dan optimis digandakan menjadi pandangan kolektif seluruh bangsa. Kombinasi antara integritas tinggi para pemimpin dan optimism kuat menjadi pendorong kemajuan republik ini.
Kita sadar bahwa, benarlah republik ini dirudung pesimisme. Republik ini mengalami defisit optimisme, karena ulah sebagian anak bangsa yang sesungguhnya tidak cinta republiknya. Namun mari kita (harus) rombak semua itu. Pesimisme yang meruyak dimana-mana harus kita putar balikkan.
Bersediakah kita berkaca dan menilai diri sendiri; Apakah kita sudah bersikap positif dan optimistis? Jika belum, mari kita mulai membangun kembali nuansa positif dan optimistis untuk Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H