Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Marah (2)

26 Mei 2010   14:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:57 1125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap manusia mempunyai benih sifat pemarah. Namun ada “marah karena Allah” (ghodhobullah), dan “marah karena setan” (ghodhobus-syaitan). Apa batasan kriterianya? GADHAB (baca: ghodhob) secara harfiah memang berarti “marah” atau “pemarah”. Maka, marah dalam pengertian ghodhob bersifat negatif. Tentu saja, sifat pemarah seperti itu dapat membakar jiwa dan menghanguskan akal. Itulah sifat pemarah yang dilarang Allah dan Rasul-Nya. Tentang hal ini Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata: Si Fulan marah kepada si Fulanah berilah saya wasiat. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu marah, (kemudian) orang itu mengulangi perkataannya beberapa kali. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu marah”. (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah).

Marah Negatif & Marah Positif

Dalam kaitan hadis di atas, berarti: “si Fulan tidak sayang kepada si Fulanah”? Tidak. Dalam konteks ini kita harus memahami motif di balik kemarahan itu. Dengan demikian kita akan tahu pasti sifat marah si Fulan kepada si Fulanah. Apakah kemarahannya masuk kategori positif atau negatif. Sejarah menunjukkan, para utusan Allah pun pernah marah. Mereka marah saat menyaksikan umatnya tidak mengikuti norma-norma hukum syari’at yang telah ditetapkan Allah. Begitu pun para guru; mereka akan marah kepada murid-muridnya yang tidak patuh. Juga para orang tua, mereka akan marah kepada anak-anaknya yang tidak berbakti dan tidak hormat kepadanya, dst. Itulah sifat marah positif yang diperbolehkan Allah dan RasulNya. Beda dengan amarah negatif yang bersumber dari nafsu lawwamah. Itu marah negatif. Sifat semacam itu dilarang oleh Allah dan RasulNya. Jadi, marah positif adalah marah karena Allah (ghodhobullah). Sedang marah negatif adalah marah karena syaitan (ghodhobus syaitan). Marah Karena Allah

Marah karena Allah (ghodhobullah) berarti bahwa “tidak seseorang marah kecuali bila ia melihat kekufuran, kemaksiatan dan berbagai kejahatan lahir dan bathin. Baik muncul dari diri sendiri maupun orang lain (masyarakat)”. Sebab, bila orang marah karena melihat perbuatan keji dan munkar, maka tidak lain yang marah ialah Allah. Contoh Marah Karena Allah: 1. Marahnya Nabi Hud kepada pembangkangan kaum ‘Aad. 2. Marahnya Nabi Sholeh kepada pembangkangan kaum Tsamud.

Marah Karena Setan

Apa pula yang dimaksud ghodhobus-syaitan (marah karena setan)? Ialah: “Tidak seorang marah melainkan terdorong oleh kebutuhan syahwat duniawi”. Maksudnya ialah marah yang diselimuti kemaksiatan atas dasar hembusan nafsu lawwamah bersifat ghodhob.Sifat ghodhob itu senantiasa meliputti jiwa orang-orang yang cenderung ingin menguasai sarana kehidupan dunia. Itulah suatu kemaksiatan batin. Sebentuk aniaya bagi dirinya. Dan disebut marah karena setan sebab marahnya tidak berlandaskan norma-norma ajaran Islam.

Setan itu dari bangsa jin. Ada pula yang dari bangsa manusia. Maka jika ada orang marah-marah karena tidak tercukupi urusan syahwatnya, itulah setan dari bangsa manusia yang sedang marah-marah! Marah sebagai hembusan ghodhob atau sifat nafsu lawwamah tentu merupakan marah negatif. Si pemarah atas dasar nafsu tersebut layak disebut setan. “Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan itu dijadikan dari api”, demikian Hadis Nabi. (HR. Ahmad, Abu dawud).

Contoh marah karena setan adalah: 1. Amarah Qabil yang membunuh adiknya, 2. Amarah Fir’aun kepada Nabi Musa 3. Amarah Namrud kepada nabi Ibrahim 4. Amarah Abu Lahab kepada Nabi Muhammad Si Pelopor Sifat Ghodob

Sifat ghodhob merupakan benih kejahatan dalam diri manusia. Sifat tersebut tentu amat berbahaya. Bencana akan terjadi di muka bumi jika jiwa didominasi sifat ghodhob. Bahkan dampaknya akan berjejak sampai kehidupan di akhirat.Sifat pemarah adalah penyakit jiwa. Manusia mendapat warisan sifat itu dari setan, dan setan mendapat warisan dari Iblis -- pelopor sifat ghodhob.

Iblis pernah bersengketa dengan Allah. Pangkal masalahnya: Iblis disuruh bersujud sebagai tanda hormat pada Adam as. Namun Iblis menolak. Bahkan marah-marah di hadapan Allah. Alasannya, dirinya lebih mulia dibanding Adam. Adam dicipta Allah dari tanah, sedang ia dari api. Amarah Iblis memuncak setelah ia mendapat murka Allah. Iblis pun berjanji akan menyesatkan Adam as dan anak cucunya sampai hari kiamat. Tentu, ajakan sesat Iblis dan pasukannya takkan mempan bagi manusia yang beramal saleh dan ikhlas karena Allah.

“Bukanlah orang yang kuat itu kuat bergulat, (tetapi) sesungguhnya orang yang kuat itu ialah orang yang dapat (mampu) menguasai nafsunya tatkala marah“. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra.)

Jihadul Akbar

Jelaslah, sifat ghodhob amat berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia. Terutama bagi akidah. Sebab sifat itu dapat menumbuhkan kemunafikan, kefasikan, dan perbuatan jahat lainnya. Akibatnya, timbullah bencana yang akan merugikan. Bukan saja bagi orang-orang lain, tapi terutama bagi diri sendiri. Maka, tidak ada satu obat penawar untuk penyakit ghodhob kecuali dengan mandi air ma’fu. Dengan kata lain, jika ada orang dirasa merangsang amarah, segeralah istighfar dan maafkan dia. Dengan memaafkan maka lenyaplah benih amarah dalam diri kita. Itulah kemenangan yang sebenarnya. Yakni kemenangan dalam memerangi hawa nafsu (Jihadul Akbar). Rasulullah Sang Pemaaf

Sejarah menunjukkan, Rasulullah saw adalah Nabi yang dikenal amat pemaaf. Sifat itu tercermin antara lain ketika budak Habtsi membunuh paman beliau, Rasulullah saw tetap memaafkan si budak. Bahkan, tidak sedikit peristiwa yang menimpa Nabi, namun beliau tetap tidak menutup pintu maaf. Ada peristiwa lain yang sangat mengharukan. Syahdan, suatu hari Rasulullah saw pernah dilempari batu oleh seorang pemuda musyrikin. Akibatnya, mulut beliau berdarah. Bahkan beberapa gigi beliau rontok. Bagaimana sikap beliau? Dengan sabar, beliau tetap saja memaafkan.

Melihat peristiwa itu, keruan para sahabat cemas. Ada juga yang geram. Tak ayal, salah seorang sahabat berkata: ”Ya Rasulullah, engkau adalah Habibullah (kekasih Allah). Jika kau doakan celaka orang itu, maka akan celakah orang itu.” Apa jawaban Rasulullah? ”Aku dibangkitkan ke dunia ini bukan untuk mencelakakan orang lain,” sabda beliau. Bahkan, dengan penuh kesabaran kemudian beliau berdoa: “Allahummaghfir liqaumi fainnahum laa ta’lamun.” (“Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak tahu siapa aku.”)

Obat Mujarab: Memaafkan

Sulit memang menghitung kalimat maaf yang telah terlontar dari mulut Nabi saw yang shiddiq. Sifat tersebut tentu juga tak lepas dari bimbingan dan petunjukNya. Sebagaimana firman Allah: “Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang (Yunus) yang berada dalam (perut) ikan ketika berdoa, sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya)”. (QS. 68 : 48 )

Maka, sebagai umat Islam, selayaknyalah kita bertauladan pada Rasulullah saw. Kita harus berani memaafkan siapa pun yang berlaku aniaya pada diri kita. Maka, jika ada amarah terpendam dalam jiwa, hendaknya segera dibersihkan dengan maaf. Jika tidak, amarah itu akan menjadi gumpalan dendam yang berkarat. Jika hati berkarat oleh dendam, maka akan merusak jiwa. Bahkan akan tumbuh menjadi kemunafikan.

Marah adalah dosa yang mengotori jiwa. Agar jiwa selalu suci dan bersih dari noda dan dosa, maka maafkanlah segera orang yang memicu kemarahan kita.Tentang hal ini Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa (mampu) menahan marahnya (tatkala timbul marah), Allah akan menahan siksaNya.” Itu berarti, obat paling mujarab untuk menyembuhkan sifat ghodhob (marah) tidak lain ialah: memaafkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun