Aura, menurut Walter Benjamin dalam karyanya yang berjudul Work of Art, merupakan sebuah fenomena tentang nilai yang kita temukan dari sebuah karya seni. Hal ini terjadi apabila audience bertatap langsung dengan objek atau karya seni dan pengalaman ini tidak bisa di ulang kembali.Â
Menurut saya aura merupakan sebuah perasaan yang tercipta terhadap sebuah objek karya seni ketika kita melihatnya secara langsung, seperti impresi pertama kita tentang sebuah lukisan atau sebuah bangunan. Pengalaman ini hanya terjadi secara one time experience dan harus terjadi kontak langsung antara subjek (audience) dengan objek asli.Â
Bila kita melihat objek karya seni yang tidak secara langsung, misal lewat media sosial atau internet, akan sulit menangkap aura karya seni tersebut seperti kita melihat karya itu secara langsung. Biasanya untuk menemukan aura dari objek melalui media sosial, kita membutuhkan informasi pendukung seperti ulasan atau komentar-komentar agar aura yang disampaikan oleh pembuat dapat tersampaikan.
Berbeda halnya apabila kita ingin merasakan aura sebuah bangunan seperti Museum Fatahillah di Kota Tua, Jakarta. Kita bisa mendatangi langsung Museum Fatahillah tersebut. Museum Fatahillah merupakan bangunan salah satu warisan budaya kolonial Belanda yang pernah menduduki Indonesia selama kurang lebih tiga abad. Pendudukan Belanda di Indonesia dalam waktu yang tidak singkat ini mendesak pemerintah Belanda agar memiliki sebuah pusat pemerintahan di Kota Batavia pada masa itu. Salah satu dari sekian banyak gedung pemerintahan kolonial Belanda yang tersisa hingga saat ini adalah Gedung Fatahillah yang kini disebut sebagai Museum Fatahillah.
Diperlukan jarak untuk menangkap keutuhan seluruh bangunan sehingga kita bisa mendefinisikan aura bangunan itu as a whole. Ada beberapa kasus seperti Museum Fatahillah dimana aura bangunan ini bisa berubah-ubah dikarenakan adanya distansi waktu.Â
Perkembangan sejarah Jakarta dan Indonesia selama berabad-abad membuat aura bangunan ini berubah pula, kebanyakan akibat dari peralihan fumgsi bangunan.
Salah satu ciri khas Belanda dalam membangun gedung pemerintahan di Batavia adalah kesan monumental dan berkuasa. Gedung Fatahillah didirikan bukan sekedar menjadi tempat pemerintahan, namun juga menjadi sebuah statement kepada kaum Indonesia saat itu tentang siapa yang memegang kendali di Kota Batavia. Dari segi kultur pun, bangunan Belanda dan bangunan rakyat Indonesia pada masa itu juga berbeda sehingga menimbulkan perasaan "asing" kepada rakyat Indonesia.
Dilihat dari lingkungan Museum Fatahillah pada masa colonial dan masa kini, terdapat hal-hal yang membuat aura Gedung Fatahillah berbeda. Pada zaman colonial, kawasan yang kini disebut sebagai Kota Tua merupakan kawasan yang diisi oleh gedung-gedung pemerintahan. Ukuran gedung-gedung di sekeliling Gedung Fatahillah juga massive dan monumental, namun tidak sebesar Gedung Fatahillah yang notabenenya menjadi pusat pemerintahan.Â
Sekarang, di sekeliling Gedung Fatahillah terdapat bangunan-bangunan kecil yang menghilangkan konteks "besar dan memerintah" sehingga aura yang diciptakan pun dari konteks ini juga berbeda.
Seiring dengan berjalannya waktu, setelah Bangsa Indonesia mencapai puncak kemerdekaan, khususnya pada era Orde Lama. Diserukanlah gerakan "anti-kolonialisme" oleh Presiden Soekarno dengan penghapusan-penghapusan jejak kolonial dan penjajahan, seperti Taman Wilhelmina (sekarang Masjid Istiqlal). Dengan masih bereuforia pasca kemerdekaan dan masih memiliki rasa 'kemenangan dan kebebasan' dari penjajah, bisa saja pada saat ini, masyarakat memandang Gedung Fatahillah sebagai kenangan buruk yang terbengkalai. Sehingga pada masa anti kolonialisme ini, Gedung Fatahillah dibiarkan begitu saja, hanya sebagai gedung cagar budaya sehingga aura yang dimiliki gedung ini pada awal masa pemerintahan Belanda jadi hilang. Gedung ini baru diresmikan menjadi museum pada tahun 1974.
Dengan adanya perubahan fungsi dan waktu, aura Gedung Fatahillah pun juga berubah. Pandangan masyarakat terhadap Gedung Fatahillah juga berubah, mengikuti konteks dan peristiwa yang terjadi di Indonesia. Saat ini, masyarakat sudah sampai pada pandangan di mana masyarakat melihat bangunan ini sebagai sebuah warisan cagar budaya yang harus dilestarikan. Muncul sebuah stereotype di masyarakat, seperti --- kalau ke Jakarta harus main ke Kota Tua.
Ketika melihat Gedung Fatahillah, aura yang di pancarkan gedung ini bukan lagi aura "berkuasa dan memerintah" yang membuat masyarakat tunduk, namun lebih memunuculkan aura yang mengundang keingintahuan masyarakat untuk menelisik lebih jauh tentang apa saja yang sudah dilalui oleh Batavia sehingga bisa menjadi Kota Jakarta yang kita huni saat ini.
Menurut saya, perlu diadakan kembali aura yang mengandung unsur kemegahan dan kebesaran pemerintah Belanda pada masa colonial sehingga dapat mengembalikan keaslian bangunan. Mungkin tidak dengan cara yang esktrim, namun cukup untuk mengembalikan orisinalitas bangunan ini sehingga aura yang dipancarkan -- sebagai tempat pemerintahan -- dapat tersampaikan dengan baik. Tidak ada maksud untuk mengembalikan unsur-unsur penjajahan, namun hanya sekedar melestarikan keotentikan sebuah aura yang sudah lama pudar selama bertahun-tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H