Mohon tunggu...
Hasna Zahratil Fuadah
Hasna Zahratil Fuadah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

studying Political Science at Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Streaming, Voting, dan Kapitalisme Afektif: Fandom Kpop sebagai Tenaga Kerja Tak Dibayar

16 Juni 2023   21:02 Diperbarui: 16 Juni 2023   21:05 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bentuk kontribusi lain yang dilakukan sebagai dukungan adalah menciptakan fan account yang memberikan berita terbaru dan konten-konten dari idola yang bersangkutan juga menjadi penerjemah sukarela. Hampir setiap fandom K-Pop memiliki penerjemah yang datang dari kalangan fans. Misalnya @haru_haru_w_bts untuk BTS, @translatingtxt untuk Tomorrow x Together, dan @svttranslations untuk grup Seventeen. Semua aktivitas tersebut dilakukan tanpa perhitungan material alias tidak dibayar sama sekali. Kontribusi yang dilakukan oleh penggemar murni berangkat dari keinginan untuk memberikan dukungan dan menguatkan fandom sebagai satu komunitas.

Abigail De Kosnik (2012) berargumen bahwa kontribusi yang dilakukan penggemar---dalam bentuk fanart, fanfiction, voting, streaming dan lain sebagainya---dapat dilihat sebagai bentuk "kerja" karena aktivitas tersebut dapat meningkatkan nilai dari suatu produk. "Kerja" yang dilakukan oleh penggemar dapat menjadi bentuk baru dari publikasi dan pemasaran bagi idola yang bersangkutan. Pola dukungan penggemar K-Pop kurang lebih juga menunjukkan tujuan yang sama. Angka streaming yang tinggi akan menempatkan musik idola ke ranking tangga lagu yang tinggi pula sehingga lebih banyak orang yang akan terpapar dengan musik idola mereka. Kemenangan yang diraih melalui proses voting juga kana memberikan keuntungan untuk idola misalnya dalam bentuk iklan gratis atau trofi acara musik mingguan. Pencapaian demi pencapaian akan membawa nama idola ke tangga yang lebih tinggi dan popularitas yang semakin besar.

Meski aktivitas "fan labor" dalam fandom K-Pop dilakukan secara sukarela, bukan berarti tidak terdapat tekanan. Tekanan dan dorongan ini biasanya datang dari fandom yang sama yang berusaha memberikan dukungan terbaiknya untuk idola yang bersangkutan. Narasi yang umumnya berkembang di antara penggemar berasal dari lemahnya posisi tawar idola terhadap agensi yang menaunginya. Bayangan pembubaran grup apabila idola yang bersangkutan tidak dinilai menghasilkan menjadi salah satu argumen mengapa penggemar harus melakukan bentuk-bentuk fan labor seperti voting dan streaming. Dengan melakukan voting dan streaming, agensi akan melihat potensi nilai ekonomi melalui angka tontonan dari musik video, angka streaming di platform musik daring, dan juga nilai popularitas melalui kemenangan dari voting yang menunjukkan besarnya dukungan komunitas terhadap idola yang bersangkutan. Dengan demikian, karir idola akan bertahan lebih lama di dalam industri musik K-Pop dan global yang berjalan begitu cepat.

Di sisi lain, mendedikasikan waktu dan tenaga untuk terus melakukan streaming dan voting secara konsisten bukan menjadi prioritas bagi setiap orang. Para penggemar yang berada di luar arus ini lantas menciptakan segregasi di dalam komunitas Kpop itu sendiri. Muncul tagar dan diskursus dari kalangan penggemar mengenai #SayNoToStreaming yang mengkritik kultur fandom yang menekan kerja atau fan labor yang intens sebagai satu-satunya bentuk dukungan (Yang, 2023). Argumen yang mendasari gerakan ini salah satunya juga dipicu mengenai aktivitas fangirling/fanboying yang seharusnya hadir sebagai hobi yang menyenangkan, tetapi tuntutan untuk melakukan voting dan streaming menjadikan kegiatan ini menjadi beban. 

 Hal ini lantas berimplikasi pada munculnya dikotomi yang menyekat batas-batas "fans yang sesungguhnya" dengan mereka yang menjadi pendengar kasual. Akun twitter @translatingtxt, sebagai salah satu translator sukarela, mendapatkan tekanan dari penggemar ketika tidak dapat memberikan terjemah secara real-time atau terdapat kesalahan dalam penerjemahan, pemilik fan-account dengan jumlah pengikut besar akan mendapatkan kritik apabila tidak mendorong pengikutnya untuk melakukan voting/streaming, dan apabila terdapat penggemar yang enggan untuk berpartisipasi, maka mereka dikatakan tidak "pantas" untuk ikut bangga atas pencapaian dari idola dan diberi label sebagai self-proclaimed fans atau pendengar kasual yang mengaku-aku sebagai penggemar (Sun, 2020).

Kapitalisme Afektif dan Fan-labor

Adanya transformasi model kapitalisme Fordist yang dicirikan dengan produksi barang fisik (tangible goods) menuju barang tak benda (intangible goods) seperti komunikasi dan pengetahuan, memunculkan model kapitalisme yang baru. Hardt (1999) menjelaskan mengenai konsep "kerja afektif" yang menitikberatkan pada produksi kerja immaterial berbentuk "afeksi" yang menciptakan perasaan senang, bahagia, maupun ketenangan. Salah satu produk yang dihasilkan dari kerja afeksi ini adalah biopower yang datang dalam bentuk komunitas atau jejaring.

Konsep ini kemudian dapat menjelaskan bagaimana skema kerja yang terjadi di antara idola dengan penggemar dalam industri K-Pop. Hubungan parasosial yang dibangun antara penggemar dengan idola melalui kerja-kerja afektif membentuk "biopower" dalam bentuk komunitas penggemar (fandom) yang terikat secara emosional. Berbagai bentuk dukungan penggemar terhadap idolanya dikapitalisasi dalam sebuah sistem industri yang berbasis emosi atau afeksi antara penggemar dengan idola. Dukungan dapat ditunjukkan secara konkret melalui partisipasi penggemar dalam fan labor seperti streaming, voting, dan purchasing. 

Akan tetapi, alih-alih mampu membentuk arah industri menjadi lebih sehat, Hardt (1991) berargumen bahwa penggemar yang berada dalam skema "kapitalisme afektif" ini justru rentan untuk dieksploitasi. Penggemar melakukan fan labor sebagai bentuk dukungan emosional, afeksi, dan komunal sehingga jarang atau sangat sedikit yang meminta kompensasi untuk hal tersebut. Akan tetapi, kerja dari penggemar ini sering kali dimanfaatkan oleh agensi sebagai bentuk "pemasaran" yang ditujukan untuk meningkatkan nilai ekonomi dari idola yang bersangkutan. De Kosnik (2013) juga menyatakan bahwa hubungan penggemar dengan perusahaan dapat dikatakan eksploitatif karena terjadi distribusi tidak merata antara keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan dengan kerja yang dilakukan oleh penggemar. Kesenangan penggemar dalam kultur fandom yang partisipatoris bekerja secara simultan dengan eksploitasi yang ada dalam industri (Stanfill & Condis, 2014). Sangat disayangkan apabila kekuatan kolektif ini pada akhirnya diperas melalui skema kapitalisme afektif yang eksploitatif---tidak hanya kepada idola, tetapi juga penggemar. Alih-alih menjadi daya tawar baru yang datang dari kekuatan konsumen (top down), keterikatan emosional penggemar dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas industri melalui implementasi dari kapitalisme afektif yang tersistematis.

REFERENSI

De Kosnik, Abigail. 2012. "Fandom as Free Labor." In Digital Labor: The Internet as Playground and Factory. New York: Routledge. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun